Duka lara para pencari suaka
Tak bisa disembunyikan, raut wajah Mohammad Ali (25 tahun), salah seorang pencari suaka asal Afganistan tampak murung sekembalinya dari kantor kelurahan. Di sana, ia dan beberapa orang perwakilan negara pengungsi dan pencari suaka bersua perwakilan United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) dan International Organization for Migration (IOM) Indonesia, membicarakan masa depan mereka.
"Kami tak tahu lagi harus bagaimana. Mereka bilang, tidak bisa memberi bantuan apa pun lagi kepada kami, dan menawarkan untuk kembali ke negara asal saja," ujar Ali saat ditemui Alinea.id di tempat penampungan sementara, gedung bekas Kodim, Kalideres, Jakarta Barat, Kamis (18/7).
Kenikmatan sehabis menyantap makan siang hari itu seolah sirna mendapatkan sebuah kabar buruk. Dalam pertemuan itu, pihak UNHCR menjelaskan, sebagai penanggung jawab para pencari suaka, organisasi ini baru menerima dana bantuan sebesar 29% dari kebutuhan semua pencari suaka di Indonesia.
Hal ini kemudian membuat UNHCR tak mampu menjamin bantuan logistik lebih lama. UNHCR hanya mampu memberikan dana untuk kepulangan para pencari suaka yang mau kembali ke negeri asalnya.
Sudah seminggu mereka hidup di gedung bekas Kodim, Kalideres, Jakarta Barat. Terdapat beberapa tenda besar berwarna biru dari Kementerian Sosial, dan tenda-tenda kecil tempat mereka melepas lelah karena terlunta-lunta hidup di negara orang.
Sebelumnya, mereka hidup “menggelandang” di trotoar Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, persis di depan Kantor UNHCR. Kemudian, Pemprov DKI Jakarta berinisiatif memindahkan mereka ke tempat ini.
"Kalau kami balik ke sana (Afganistan), kami semua akan dibunuh," katanya, diiringi hela napas panjang.
Ketakutan Ali bukan tanpa alasan. Ancaman pembunuhan sudah menghantui seluruh etnis Hazara di Afganistan. Hazara merupakan salah satu etnis minoritas yang mengalami persekusi paling biadab di dunia. Di Afganistan, etnis Hazara hanya menyisakan sekitar 20% populasi. Sebagian besar etnis ini meninggalkan tanah air mereka dan berpencar ke beberapa negara.
Populasi Hazara juga bisa ditemui di Iran, Pakistan, Skandinavia, Australia, dan Selandia Baru. Hazara diyakini punya garis keturunan dari Mongolia.
Konflik berdarah di Afganistan itu lantaran Hazara menganut Islam Syiah. Mulai dari etnis mayoritas Pasthun, kelompok Taliban, hingga simpatisan ISIS, sama-sama menyerang mereka.
"Bapak saya juga menjadi korban dan meninggal, sebelum saya berpindah ke Indonesia, sedangkan Ibu saya meninggal karena penyakit kanker," ucap Ali.
Sebatang kara, pada 2013 Ali memutuskan meminta bantuan seorang penyelundup untuk bisa angkat kaki dari Afganistan. Ia mengaku menghabiskan uang US$6.000 setara Rp83,7 juta untuk membayar jasa penyelundup dan segala akomodasi demi berhasil kabur dari negaranya.
"Saya saat itu benar-benar tidak punya negara tujuan, yang penting keluar dari Afghanistan dan bisa hidup dengan aman," katanya.
Ali tak berharap ke Australia, negeri dambaan pencari suaka. Ia hanya ingin hidup aman di negara manapun.
Nilofar Jamal (17 tahun), pencari suaka lainnya asal Afganistan sedikit lebih beruntung. Ia ke Indonesia bersama ayah dan ibunya. Nilofar tiba di Indonesia pada 2016 dan menetap di Cisarua, Bogor. Setelah itu, mereka hidup nomaden, hingga tiba di Jakarta.
"Di sana (Cisarua) kami ngontrak, tapi saya tidak bisa melanjutkan sekolah, dan orang tua juga tidak bisa bekerja. Jadi kami pindah ke sini karena kehabisan uang untuk makan dan bertahan hidup," ujar Nilofar.
Indonesia ada di antara negara-negara penerima pencari suaka dan pengungsi, seperti Malaysia, Thailand, dan Australia. Oleh karena itu, Indonesia kerap terkena dampak masalah pengungsi dan pencari suaka, yang sekadar transit.
Dikutip dari situs UNHCR Indonesia, Indonesia belum menjadi negara dan pihak yang meratifikasi Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi dan Protokol 1967. Artinya, Indonesia belum punya sistem penentuan status pengungsi dan pencari suaka. Dengan status ini, Indonesia memberikan kewenangan penuh kepada UNHCR dalam menjalankan mandat perlindungan dan permasalahan pengungsi.
Pada 2017, Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Presiden tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri. Di dalamnya mengatur soal deteksi, penampungan, dan perlindungan para pencari suaka dan pengungsi.
Di Indonesia, para pengungsi dan pencari suaka tidak diperbolehkan bekerja dan memperoleh pendidikan. Keinginan Nilofar untuk melanjutkan pendidikan dan orang tuanya bisa bekerja tentu saja sirna. Namun, ia masih berharap.
"Kalau saja kami diberikan kewarganegaraan (Indonesia), kami akan bekerja apa saja demi bertahan hidup," ucap Nilofar.
Warga protes
Merujuk data UNHCR Indonesia, per Mei 2019, jumlah pengungsi dan pencari suaka di Indonesia sebanyak 13.997 orang. Mereka datang dari 43 negara. Mayoritas pengungsi dan pencari suaka di Indonesia berasal dari Afganistan, Somalia, dan Myanmar. Selain di Jakarta, mereka berpencar di Medan, Tanjung Pinang, Pekanbaru, Makassar, dan Kupang.
Kepala bidang Perlindungan Sosial Dinas Sosial DKI Jakarta Tarmijo Damanik mengatakan, merujuk data Dinas Sosial, sejauh ini ada 1.200 hingga 1.400 pengungsi dan pencari suaka yang ada di penampungan sementara di Kalideres, Jakarta Barat.
“Kemungkinan bertambah iya, kemungkinan berkurang juga iya. Jadi memang di kisaran itu,” kata Tarmijo saat dihubungi, Kamis (18/7).
Tarmijo mengatakan, Pemprov DKI Jakarta belum bisa memutuskan masalah tenggat waktu para pencari suaka ada di penampungan. Ia mengaku, masih menunggu arahan dari Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, yang masih berada di luar negeri.
Selain itu, Tarmijo menjelaskan, pihaknya juga menunggu keputusan dari pemerintah pusat dan UNHCR. Sebab, kata dia, masalah pengungsi dan pencari suaka adalah tanggung jawab UNHCR.
“Nah, penanganan yang dilakukan Pemprov DKI ini dalam rangka kemanusiaan karena mereka kemarin ada di trotoar,” ujar Tarmijo.
Akan tetapi, pemindahan para pengungsi dan pencari suaka dari Kebon Sirih ke Kalideres menimbulkan masalah baru. Persis di luar gedung bekas Kodim, yang menjadi penampungan sementara para imigran, berderet spanduk protes.
“Kami warga komplek Daan Mogot Baru menolak tempat penampungan imigran di komplek kami.” Begitu tulisan salah satu dari 10 spanduk yang terpampang.
Bowo, salah seorang warga justru merasa malu dengan keberadaan sejumlah spanduk itu.
"Harusnya dengan budaya ketimuran kita ini, tidak perlu lah pasang-pasang seperti itu. Kita sama-sama tahu bagaimana susahnya para pengungsi ini di negara asalnya," ujar Bowo.
Sebaliknya, Stephany, warga kompleks Daan Mogot Baru menolak keberadaan para pencari suaka di lingkungannya.
"Saya dan warga kompleks lainnya merasa terganggu karena mereka suka keluar-keluar gedung saat jam pulang sekolah anak, lalu mengetuk-ngetuk kaca mobil. Itu membuat khawatir kami," ujar Stephany.
Tempat penampungan sementara memang berada tepat di sebelah SD Dian Harapan Daan Mogot, dan berseberangan dengan ruko-ruko tempat aktivitas warga. Stephany mengungkapkan, saat malam hari, warga juga kerap kali melihat mereka berkeliaran. Anak-anak mereka pun bermain di tengah jalan.
"Itu kan bikin waswas, kalau warga sini tanpa sengaja menabrak mereka bagaimana? Bukannya itu bikin tambah kerjaan saja," katanya.
Ketua RT setempat, Jantoni, mengatakan bahwa warganya bakal membuat petisi penolakan terhadap para imigran. Sekitar 30% warga kompleks sudah menyepakati petisi itu.
"Nantinya petisi itu bakal diserahkan langsung ke pemerintah, semoga setelah itu bisa memberi rasa aman dan nyaman bagi kedua belah pihak," ujar Jantoni.
Dihubungi terpisah, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) DKI Jakarta Taufan Bakri menuturkan, warga yang menolak keberadaan pengungsi dan pencari suaka belum paham mengenai Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri.
“Bahwa pemerintah harus membantu para pencari suaka ini,” kata Taufan saat dihubungi, Kamis (18/7).
Taufan mengatakan, pihaknya sudah mencoba menjelaskan kepada warga. Menurut Taufan, yang perlu diketahui, dunia sedang menyorot masalah pencari suaka ini.
“Dengan bantuan seperti ini, ketika kita dilanda bencana misalnya, maka akan mudah juga Indonesia mendapat perhatian dan bantuan dari internasional,” ucap Taufan.
Untuk mengatasi rasa khawatir warga soal keamanan lingkungan, Taufan berjanji bersama UNHCR dan pihak Imigrasi akan membuat tata tertib. Misalnya, menghemat penggunaan air dan melarang pencari suaka untuk berpergian di atas pukul 22.00 WIB.
Menanti tanggung jawab
Pelaksana tugas juru bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah mengatakan, apa yang sudah dilakukan Indonesia, dalam konteks kemanusiaan, sudah lebih dari apa yang biasa diberikan negara-negara transit pencari suaka.
“Apa yang kita lakukan, baik melalui pemda atau yang selama ini dilakukan Kementerian Luar Negeri untuk memfasilitasi komunikasi merupakan konteks kemanusiaan saja,” kata Faizasyah di Kantor Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Kamis (18/7).
Menurut Faizasyah, pihaknya mendapatkan laporan secara berkala dari UNHCR terkait pengungsi dan pencari suaka. Pihaknya pun memberikan pesan-pesan dan rutin melihat kondisi para pencari suaka di tempat penampungan sementara.
“Dengan demikian, kalau ada hal-hal yang perlu dikomunikasikan dengan pemerintah dalam konteks luar negeri, tentu kementerian senantiasa siap,” ujarnya.
Jika dilihat dari sisi jumlah, Faizasyah menuturkan, pengungsi asing di Indonesia relatif kecil ketimbang para pengungsi di negara-negara terdekat dengan wilayah konflik, seperti Thailand dan Malaysia. Belum lagi, kata dia, bila melihat jumlah pengungsi asal Suriah di Turki yang jumlahnya jutaan.
“Fenomena sekarang adalah terjadinya kantong-kantong pengungsi yang sangat besar di berbagai kawasan dunia,” tuturnya.
Sementara itu, Direktur HAM dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri Achsanul Habib mengatakan, ada faktor yang mempersulit pencarian negara ketiga bagi para pencari suaka.
Menurut Achsanul, ada perubahan kebijakan di negara-negara yang menjadi tujuan pengungsi dan pencari suaka, seperti Amerika Serikat, negara di Eropa Barat, dan Australia.
“Di negara-negara tersebut, kebijakan yang proteksionis dan antimigran semakin meningkat. Dapat dilihat dalam contoh kebijakan Presiden Trump mengenai migran,” kata Achsanul saat dihubungi, Kamis (18/7).
Akibatnya, kata Achsanul, negara-negara ini mengurangi komitmen penerimaan terhadap para pencari suaka.
Di sisi lain, Teuku Faizasyah mengingatkan tanggung jawab negara-negara penerima pencari suaka. Sebagai negara penandatangan Konvensi 1951, kata dia, sudah seharusnya bertanggung jawab memenuhi komitmen. Termasuk menyerap para pengungsi dan pencari suaka yang berada di negara-negara transit, seperti Indonesia.
“Jadi saya tidak bisa single out satu negara, tapi yang ingin saya garis bawahi, dalam komunikasi pemerintah Indonesia dengan negara-negara pihak yang mengambil bagian dalam konvensi, kita selalu menyampaikan kondisi pengungsi di Indonesia,” ujarnya.
Periset: Fultri Sri Ratu Handayani.