Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkritik vonis lima tahun bui untuk bekas Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. Bagi ICW, putusan itu menggambarkan lembaga kekuasaan kehakiman dan penegak hukum tidak lagi bisa diandalkan memperjuangkan keadilan.
"Sebab, baik KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) maupun majelis hakim, sama-sama memiliki keinginan untuk memperingan hukuman koruptor. Sebagaimana diketahui, hukuman lima tahun penjara itu serupa dengan tuntutan jaksa penuntut umum KPK," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana, Jumat (16/7).
Vonis lima tahun untuk Edhy dinilai keliru oleh ICW. Sebab, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta membenarkan Edhy menerima suap US$77.000 dan Rp24,6 miliar, tetapi vonisnya justru ringan. Padahal, Edhy terbukti melanggar Pasal 12 huruf a Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Pasal 12 huruf a Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan jerat pidana penjara minimal kepada koruptor adalah empat tahun penjara. Maka dari itu, vonis Edhy hanya satu tahun di atas minimal hukuman berdasarkan ketentuan tersebut," ucapnya.
Kurnia mengatakan, seharusnya Edhy dijatuhi hukuman 20 tahun bui sebagaimana pidana penjara paling lama Pasal 12 UU Tipikor. Bagi ICW, vonis 20 tahun penjara untuk Edhy pantas karena saat korupsi berstatus menteri, sehingga berdasarkan Pasal 52 KUHP seharusnya dikenakan pemberatan hukuman. Di sisi lain, praktik lancung yang dilakukan terjadi saat pandemi Covid-19.
"Jadi bagi ICW, Edhy sangat pantas untuk diganjar vonis maksimal, setidaknya 20 tahun penjara. Pencabutan hak politik itu pun terasa amat ringan, mestinya pidana tambahan itu dapat diperberat hingga lima tahun lamanya," katanya. Diketahui, majelis hakim mencabut hak untuk dipilih dalam jabatan publik terhadap Edhy selama tiga tahun.
Sebelumnya, Edhy dijatuhi hukuman penjara selama lima tahun dan denda Rp400 juta subsider enam bulan kurungan karena terbukti bersalah dalam kasus suap izin ekspor benih lobster. Majelis hakim juga menjatuhi pidana membayar uang pengganti kepada Edhy Rp9.687.447.219 dan US$77.000, serta pencabutan hak dipilih dalam jabatan publik selama tiga tahun terhitung sejak terdakwa selesai menjalani pidana pokok.
Edhy terbukti terima suap US$77.000 dari Direktur PT Dua Putra Perkasa Pratama (DPPP), Suharjito, terkait izin ekspor benur. Edhy juga terbukti menerima Rp24.625.587.250. Uang Rp24,6 miliar itu disebut sebagai bagian keuntungan yang tidak sah dari PT Aero Citra Kargo (ACK) terkait biaya pengiriman jasa kargo benur dari perusahaan eksportir.