Deputi Bidang Penelitian Fundamental Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Herawati Sudoyo, menyatakan, zonasi penyebaran coronavirus baru (Covid-19) di Indonesia relatif belum akurat. Alasannya, mobilitas penduduk memengaruhi risiko penularan.
"Zona hijau tidak menjamin risiko infeksi Covid-19 rendah ditambah jumlah tes sangat rendah. Tanpa tes, tidak ada data. Sama seperti kita tidak pernah melakukan apa-apa," katanya dalam webinar, Kamis (3/9).
Sejak Juni 2020, pemerintah melalui Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mengelompokkan persebaran kasus sebagai indikator risiko dalam empat kriteria, zona hijau (tidak terdampak), zona kuning (risiko rendah), zona oranye (risiko sedang), dan zona merah (risiko tinggi). Penentuan zona diklaim berdasarkan pengumpulan data, kajian, dan analisis tim pakar Gugus Tugas terhadap 15 indikator utama.
Kian rendah risiko suatu daerah, pelonggaran aktivitas mulai diperkenankan. Kegiatan belajar mengajar (KBM) secara tatap muka, misalnya. Peta zonasi bersifat dinamis. Diperbarui setiap dua pekan.
Pendiri KawalCovid-19, Ainun Najib, menambahkan, pandemi Covid-19 di Tanah Air masih tahap awal lantaran penyebaran dan penularan SARS-CoV-2 belum surut.
"Data kasus aktif Covid-19 seolah tampak sudah melandai kasus aktifnya, tapi ini lebih disebabkan karena pada Juni 2020, Indonesia akhirnya mengadopsi standar WHO untuk discharge pasien," jelasnya pada kesempatan sama.
Belum surutnya pagebluk, ungkap dia, tecermin dari tingkat kasus positif (positive rate) tes Covid-19 yang mengalami meningkatan. Berdasarkan catatan KawalCovid-19, positive rate pada Juni sebesar 11,79%, naik menjadi 13,36% pada Juli dan Agustus 15,42%. "Ini mengkhawatirkan."
Naiknya positive rate, sambung Ainun, menunjukkan dua hal. Pertama, wabah terus menyebar di masyarakat. Kedua, kapasitas tes belum menyamai kecepatan peningkatan penyebaran. "Harusnya rate ini bisa dijaga stabil pada angka serendah mungkin," katanya.
Sementara itu, Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan (P2P Kemenkes), Achmad Yurianto, menolak penanganan pandemi di Indonesia terburuk. Kilahnya, ada sejumlah tantangan seperti pelaksanaan penyelidikan epidemologi kasus dan penelusuran kontak (contact tracing) belum maksimal serta kapasitas laboratorium dan rumah sakit (RS) tidak merata.
"Pemeriksaan laboratorium yang digunakan sebagai standar real time PCR tidak seperti pemeriksaan gula darah yang di mal saja bisa. Mesti ada SDM (sumber daya manusia) laboratorium yang mesti disiapkan," ujarnya.
Dia melanjutkan, pemerintah terus bekerja mengendalikan penyebaran Covid-19 melalui empat strategi. Tes (test), pelacakan (trace), isolasi (isolate), dan pengobatan/penanganan (treat).
"Adaptasi kebiasaan baru atau new normal tidak hanya pada perubahan perilaku, tetapi secara sistem kita juga harus melakukan peningkatan kewaspadaan dan kesadaran diri terhadap protokol kesehatan. Prediksi apa pun tak berguna jika tidak diikuti dengan upaya komprehensif dari sistem surveilans dan dari kapasitas sistem kesehatan kita," tandasnya.