Eks asisten pribadi Imam Nahrawi, Miftahul Ulum, didakwa turut menerima gratifikasi berupa uang senilai Rp8,6 miliar. Uang itu diterima Ulum saat Imam menjabat sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga pada rentang waktu 2014 hingga 2019.
"Telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri, sehingga merupakan beberapa kejahatan yaitu telah menerima gratifikasi berupa uang sejumlah Rp8,648,435,682," kata Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi atau JPU KPK Ronald Worotikan saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (30/1).
Uang tersebut diterima Ulum untuk diserahkan kepada Imam Nahrawi. Setidaknya, tersapat lima sumber dana yang diterima Ulum untuk diserahkan kepada Imam. Adapun sumber penerimaan dana tersebut berasal dari sejumlah pejabat Kemenpora dan pejabat Komite Olahraga Nasional Indonesia alias KONI.
Pertama, Ulum menerima Rp300 juta dari Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy. Uang itu merupakan biaya tambahan operasional Imam Nahrawi saat berkegiatan dalam acara Muktamar NU di Jombang, Jawa Timur.
Kedua, Ulum menerima Rp4,9 miliar dari Lina Nurhasanah selaku Bendahara Pengeluaran Pembantu Program Indonesia Emas Kemenpora periode 2015-2016. Uang itu, diperuntukan sebagai dana operasional tambahan perjalanan dinas Imam Nahrawi.
Uang tersebut, diterima Ulum secara bertahap dengan 38 kali pemberian dalam rentang waktu 2015 hingga 2016.
Ketiga, Ulum menerima Rp2 miliar dari Lina Nurhasanah. Kali ini, uang diperuntukan sebagai pelunasan pembayaran jasa desain pada konsultan arsitek, untuk pemugaran kediaman Imam dan usaha butik serta kafe istri Imam Nahrawi.
Uang itu diberikan Lina kepada Ulum dari dana akomodasi atlit pada anggaran Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas atau Satlak Prima.
Keempat, Ulum menerima uang sebesar Rp1 miliar dari Edward Taudan Pandjaitan alias Ucok selaku Pejabat Pembuat Komitmen pada program Satlak Prima Kemenpora, tahun anggaran 2016 – 2017.
Kelima, Ulum menerima Rp400 juta dari Supriyono selaku BPP Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional periode 2017-2018. Transaksi uang itu dilakukan di area parkir Kantor Kemenpora pada 2018, sebagai honor untuk kegiatan Satlak Prima. Padahal, program tersebut telah resmi dibubarkan pada Oktober 2017.
Atas perbutannya, Ulum dianggap melanggar Pasal 12B ayat (1), juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Sebelumnya, Ulum juga didakwa telah menerima uang suap sebesar Rp11,5 untuk mempercepat proses persetujuan dan pencairan bantuan dana hibah KONI. Setidaknya, terdapat dua proposal kegiatan KONI yang menjadi sumber suap Ulum.
Pertama, terkait proposal bantuan dana hibah Kemenpora dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan dan pendampingan program peningkatan prestasi olahraga nasional, pada multi event 18th Asian Games 2018 dan 3rd Asian Para Games 2018. Kedua, proposal terkait dukungan KONI pusat dalam rangka pengawasan dan pendampingan seleksi calon atlet dan pelatih atlet berprestasi tahun kegiatan 2018.
Ulum didakwa melanggar Pasal 12 huruf a, juncto Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Selain itu, dia juga didakwa telah melanggar Pasal 11 juncto Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.