Mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Emirsyah Satar dituntut hukuman 12 tahun penjara dan denda Rp10 miliar, subsider delapan bulan kurungan oleh jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK.
"Agar majelis hakim pengadilan tipikor memutuskan terdakwa Emirsyah Satar terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi," kata JPU KPK Ariawan Agustiartono saat membacakan surat tuntutan di gedung KPK, Jakarta Selatan, Kamis (23/4).
Selain pidana pokok, Satar juga dituntut pidana tambahan berupa membayar uang pengganti sebesar 2.117.315 dolar Singapura. Uang itu harus dibayar Satar paling lambat satu bulan setelah pengadilan memutus hukuman berkekuatan hukum tetap atau inkracht dari pengadilan. Jika tidak, harta benda Satar dapat disita oleh jaksa dan dilelang guna menutupi uang pengganti tersebut.
"Dalam hal terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka dipidana penjara selama lima tahun," ujar Ariawan.
Satar dinilai terbukti menerima sejumlah uang atas intervensi pengadaan dan perawatan mesin pesawat di maskapai pelat merah yang saat itu dipimpinnya.
Uang tersebut terdiri dari Rp5,8 miliar, 884.000 dolar Amerika Serikat, 1 juta euro, serta 1,1 juta dolar Singapura. Jika dikonversi dan dijumlahkan, nilai seluruhnya mencapai Rp46,1 miliar.
Uang tersebut diperoleh dari bekas Direktur Mugi Reksa Abadi (MRA) Soetikno Soedarjo. Uang itu diberikan untuk meloloskan pengadaan pesawat Airbus A.330 series, pesawat Airbus A320, pesawat ATR 72 serie 600, pesawat Canadian Regional Jet 1.000 NG, serta pembelian dan perawatan mesin pesawat Rolls Royce Trent 700.
Dalam melakukan perbuatannya, Satar dibantu Hadinoto Soedigno selaku Direktur Teknik Pengelolaan Armada PT Garuda Indonesia, dan kapten pilot Agus Wahyudo. Satar dinilai melanggar Pasal 12 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001, juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP, juncto Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Selain itu, Ariawan juga menilai Satar telah melakukan pencucian uang yang didapat dari hasil tindak pidana korupsinya. Hal itu dilakukan dengan cara mentransfer sebagian hasil korupsi tersebut, menggunakan rekening atas nama Woodlake International di UBS Singapura, untuk dikirim ke rekening Mia Badilla Suhodo. Adapun uang yang dikirim Satar senilai 480.000 dolar Singapura.
Selain mentransfer, Satar juga menitipkan uang sejumlah 1,4 juta dolar Amerika Serikat di rekening Soetikno Soedardjo di Standard Chartered Bank. Dia juga mempergunakan uang itu untuk melunaskan utang kredit di UOB Indonesia.
Satar juga mempergunakan uang tersebut untuk merenovasi kediaman mertuanya di kawasan Pondok Pinang, Jakarta Selatan. Untuk merenovasi rumah itu, Satar mentransfer uangnya kepada beberapa pihak.
Tak hanya itu, Satar juga menggunakan uang tersebut untuk membayar satu unit apartemen unit 307 di 05 Kilda Road, Melbourne, Australia, sebesar 805.000 dolar Australia. Dia juga menjaminkan sebuah rumah di kawasan Grogol Utara, Jakarta Selatan, untuk memperoleh kredit dari Bank UOB Indonesia sebesar 804 dolar Amerika Serikat.
Satar juga disebut telah mengalihkan kepemilikan satu unit apartemen yang terletak di 48 Marine Parade Road #09-09 Silversea, Singapore, 449306 kepada Innospace Invesment Holding.
Atas pencucian uang itu, Satar dinilai melanggar Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP.