Eks Kepala Batan: Target emisi bersih tak mungkin tercapai tanpa PLTN
Indonesia kian serius mempertimbangkan penggunaan teknologi nuklir untuk memenuhi kebutuhan energi nasional. Januari lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menunjuk Menteri Koordinator Maritim dan Investasi (Menkomarves) Luhut Binsar Pandjaitan sebagai Ketua Tim Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir.
Tim itu bertanggung jawab menyiapkan dan melaksanakan pembangunan PLTN untuk mendukung tercapainya target transisi energi dan emisi tahun 2060. Pada 2032, Indonesia ditargetkan akan memiliki PLTN berkapasitas 500 megawatt (MW) di Pulau Gelasa, Bangka Belitung.
Eks Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Djarot Sulistio Wisnubroto menyambut baik rencana pemerintah membangun PLTN. Ia berpendapat energi nuklir merupakan keniscayaan bagi Indonesia jika ingin merealisasikan net zero emission (NZE) atau emisi karbon nol pada 2060
"Kalau mengingat target net zero emission pada 2060 dengan kontribusi PLTN antara 35-42 GW (gigawatt), maka memang harus segera diputuskan pembangunannya," kata Djarot dalam wawancara khusus dengan Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.
Djarot menjabat sebagai Kepala BATAN pada periode 2012-2018. Saat ini, BATAN telah dilebur ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Saat menjabat Kepala BATAN, Djarot getol mendorong percepatan pembangunan PTLN, baik ke DPR maupun ke lembaga eksekutif.
Menurut Djarot, pembangunan PLTN selama ini terganjal karena tidak ada komitmen politik kuat dari pemerintah. Padahal, Indonesia sudah memiliki modal "lengkap" untuk membangun PLTN, termasuk di antaranya penguasaan teknologi dan SDM yang mumpuni.
"Selama ini, (persyaratan) sebenarnya sudah dipenuhi oleh Indonesia. Pada 2009, ketika BATAN mengusulkan supaya infrastruktur program energi nuklir Indonesia di-review oleh International Atomic Energy Agency (IAEA), hampir semuanya oke," kata pria yang kini berstatus sebagai peneliti senior tenaga atom di BRIN itu.
Berikut isi perbincangan Alinea.id bersama Djarot Sulistio Wisnubroto:
Bagaimana Anda melihat penunjukan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan sebagai Ketua Tim Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) atau NEPIO. Terkesan tiba-tiba enggak?
Tim persiapan penyusunan tim NEPIO sudah lama dibentuk dengan keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Kalau usulan tim percepatan pembangunan PLTN ini, setahu saya, berasal dari Dewan Energi Nasional (DEN). Mereka ingin cepat pembangunan PLTN segera direalisasikan sehingga diusulkan lah Pak Luhut sebagai ketua. Saya kira logis dan tidak mengagetkan, karena beliau terkenal dekat dengan RI1 (Presiden Jokowi) dan selalu diminta menyelesaikan banyak masalah yang tak cepat terselesaikan.
Ada kesan ini seolah mengebut program pembangunan PLTN. Padahal, isu nuklir merupakan isu yang sensitif di mata publik. Terkesan Jokowi berani menggagas ini karena tahun ini merupakan tahun terakhir ia menjabat sebagai presiden?
Kalau mengingat target net zero emission pada 2060 dengan kontribusi PLTN antara 35-42 GW (gigawatt), maka memang harus segera diputuskan pembangunannya karena diasumsikan pada tahun 2030-an sudah harus ada PLTN. Jadi, keputusannya kalau tidak tahun 2024 ini atau tahun depan, 2025.
Saat menjadi Kepala BATAN, Anda getol melobi agar program pembangunan PLTN dijalankan pemerintah, termasuk di antaranya ke DPR dan bertemu wapres. Ketika itu, apa yang menjadi ganjalan bagi program PLTN untuk bisa dijalankan?
Ganjalan utama adalah kekhawatiran para politisi bahwa keputusan ini tak populer di sebagian masyarakat, dan juga di era tersebut Indonesia belum bergerak secara serius ke net zero emission sehingga cukup dengan batu bara dan energi fosil lainnya.
Apakah kalangan pejabat yang juga pengusaha menolak energi nuklir? Sepengatahuan Anda seperti apa pergulatan politiknya?
Tentu saja ada pengusaha yang anti nuklir dengan berbagai alasan, di antaranya takut ada kompetisi antara PLTU dan PLTN. Padahal, PLTN tidak akan bisa bersaing dengan PLTU dalam 30 tahun ke depan. Penolakan juga datang dari LSM anti nuklir seperti Walhi dan Greenpeace. Tentu saja mereka juga anti. Yang menarik tentu saja pengusaha sekaligus politisi karena ini langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah yang akan selalu menunda pembangunan PLTN.
Terkait persiapan dan pelaksanaan pembangunan PLTN untuk mendukung tercapainya target transisi energi dan emisi tahun 2060, apa saja upaya yang mesti dilakukan untuk memangkas waktu pembuatan PLTN karena waktu konstruksi pembangunan PLTN hingga beroperasi bisa sangat lama?
Sebenarnya BATAN sudah berupaya memangkas waktu pembangunan, yaitu sedari awal melakukan studi lokasi dan studi kelayakan. Dengan cara tersebut mestinya vendor bisa memangkas kegiatan paling tidak 2-3 tahun, karena telah tersedia lokasi di Kalimantan Barat, Bangka, atau bisa juga Jepara Jawa Tengah. Itu salah satu cara yang efektif.
Bagaimana kira-kira skema pembiayaan yang cocok untuk Indonesia untuk melakukan percepatan pembangunan PLTN ?
Skema bisa dipilih misalnya seperti perjanjian Turki-Rusia, yaitu Build Operation and Own (BOO). Jadi, Turki tak mengeluarkan uang sama sekali. Kewajiban pihak Turki adalah membeli listrik dari Rosatom sesuai perjanjian. Atau dengan G to G seperti Bangladesh-Rusia, dimana menggunakan skema pinjaman lunak jangka panjang.
Rosatom, dari Rusia, jadi salah satu perusahaan yang tertarik bekerja sama dengan Indonesia? Anda pernah berkunjung ke Rosatom. Bagaimana kapabilitas perusahaan tersebut? Selain Rosatom siapa yang bisa diajak kerja sama untuk bangun PLTN?
Rosatom adalah vendor yang aktif di dunia. Mereka membangun di Bangladesh, Turki, Mesir, dan Belarusia. Memang menarik, tetapi dari sisi politik, dugaan saya, Indonesia agak menjaga jarak dari Rusia sejak perang di Ukraina. Sehingga Amerika masuk dengan Nuscalenya. Sayangnya Nuscale, membatalkan proyek PLTN di AS sendiri. Hal ini bisa jadi menunda juga proyek di Indonesia. Alternatif lain bisa Korea Selatan, Jepang atau Perancis.
Kasus kebocoran radiasi pada PLTN generasi keempat diklaim rasionya sama dengan kebolehjadian kasus kejatuhan meteor. Apa benar seperti itu?
PLTN adalah teknologi yang paling aman dibanding PLT yang lain. Silakan dicek di statistik. Sering terjadi kecelakaan PLTU, tetapi kenapa masyarakat tidak mempermasalahkan kecelakaan PLTU ini? Setahu saya pembangunan reaktor nuklir sudah melibatkan uji, termasuk kemungkinan adanya serangan pesawat tempur. Menurut NASA jatuhnya meteor seukuran kendaraan, rata-rata 1 meteor tiap 2.000 tahun. Namun, kalau toh ada kekhawatiran tersebut untuk mengurangi risiko, maka PLTN dibangun jauh dari pemukiman penduduk.
Tipe teknologi PLTN apa yang cocok untuk Indonesia? Berapa PLTN yang dibutuhkan untuk mengcover semua kebutuhan listrik masyarakat di semua wilayah di Indonesia?
Hampir semua jenis teknologi PLTN dibutuhkan Indonesia. Karena negara ini sangat luas dan kondisinya sebagai negara kepulauan, menyebabkan kita agak berbeda dengan negara benua. Bayangkan kalau di Pulau Sumatera dibangun PLTN besar, mungkin di pulau-pulau kecil di Indonesia timur mungkin PLTN dengan skala 15-30 MW. Mungkin di Gorontalo bisa dipasang PLTN terapung, dan bisa jadi di Bangka dibangun jenis PLTN skala menengah (100-300 MW).
Kalau melihat target 2060, diproyeksikan kontribusi PLTN sekitar 40 GW, maka minimal diperlukan 40 PLTN daya besar (1 GW). Tetapi, dugaan saya akan jauh lebih banyak lagi karena mungkin akan dibangun pula small modular reactor (100-300 MW), dan micro reactor (10-40 MW).
Proyek PLTN di Indonesia itu sangat panjang. Bila dirunut kerap kali kandas karena kondisi ekonomi dan sebagainya. Sebenarnya prasyarat apa saja yang mesti dipenuhi dan tidak boleh luput? Termasuk, persyaratan teknis yang diwajibkan International Atomic Energy Agency (IAEA) itu apa bisa dipenuhi Indonesia?
Semua bergantung pada Indonesia sendiri. Apakah kita butuh PLTN tidak? Kalau ada alternatif lain, gunakan saja yang lain. Alternatif kita kan tidak banyak. PLTS, PLT Angin, PLTP dan lain sebagainya belum bisa diharapkan menggantikan PLTU fosil. Terus apa solusinya? Silakan dijawab sendiri. Baru kalau kita menyatakan butuh PLTN, maka syarat- syarat tentang keselamatan, keamanan muncul. Tetapi, selama ini sebenarnya sudah dipenuhi oleh Indonesia. Pada 2009 ketika BATAN mengusulkan supaya infrastruktur program energi nuklir Indonesia di-review oleh International Atomic Energy Agency, hampir semuanya oke, kecuali yang berhubungan dengan keputusan politik karena belum ada keputusan dari negara kita tentang nasib PLTN.
Di luar komitmen politik, salah satu ganjalan pembangunan PLTN ialah persepsi publik. Di Jepara, misalnya, pada wacana pembangunan PLTN mendapat penolakan keras dan diprotes warga. BATAN dulu rutin menggelar survei merekam persepsi publik terkait proyek PLTN. Yang Anda ketahui, persepsi publik terhadap energi nuklir saat ini seperti apa? Sudah jauh membaik?
Silakan lihat survei nasional yang diselenggarakan Batan 2010-2016 (survei Batan pada 2016 menunjukkan 77,5% masyarakat mendukung program PLTN). Sebenarnya, secara nasional dukungan PLTN besar. Memang ada penolakan di Bangka Belitung, tapi dukungan di Kalimantan Barat besar. Kalau mau lokasi di mana dukungan terhadap PLTN besar, bisa dipilih Kalimantan Barat karena nyaris tidak ada penolakan di sana.
Apakah Anda optimistis kali ini proyek pembangunan PLTN bisa jalan hingga ke peletakan batu pertama?
Saya tak optimistis atau pesimistis karena belum pernah ada orang yang saya tanya menjawab secara memuaskan. Apakah tanpa PLTN, Indonesia bisa memenuhi kebutuhan energinya di masa depan dan sekaligus memenuhi target NZE?