close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Mantan Komisioner KPK, Bambang Widjojanto. Foto Antara/Irsan Mulyadi
icon caption
Mantan Komisioner KPK, Bambang Widjojanto. Foto Antara/Irsan Mulyadi
Nasional
Senin, 05 April 2021 09:18

Eks komisioner: SP3 BLBI bukti negatif revisi UU KPK

KPK menerbitkan SP3 kasus BLBI dengan alasan syarat unsur perbuatan penyelenggara negara tidak terpenuhi.
swipe

Eks pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bambang Widjojanto, berpendapat, penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) menjadi bukti negatif revisi Undang-Undang (UU) KPK. Secara tidak langsung, SP3 memunculkan sinyalemen tertentu terkait perkara itu.

"SP3 ini bisa muncul sinyalemen, apakah revisi UU KPK salah satu tujuan utamanya adalah untuk 'menutup' kasus BLBI sehingga dapat 'membebaskan' pelaku yang harusnya bertanggung jawab?" ujarnya dalam keterangan yang diterima, Minggu (4/4).

Terbitnya SP3 membuat Sjamsul Nursalim (SN) dan istrinya, Itjih Sjamsul Nursalim (ISN), tak lagi berstatus tersangka. Keputusan itu seiring tidak ada penyelenggara negara yang terlibat setelah Mahkamah Agung (MA) menyatakan perbuatan eks Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional, Syarifuddin Arsyad Temenggung (SAT), merupakan perdata atau administrasi dan bukan pidana.

Menurut BW, sapaan akrab Bambang, SP3 juga memunculkan pertanyaan dan perdebatan apakah tanggung jawab hukum KPK di bidang penindakan menjadi berhenti jika penyelenggara negara dalam kasus BLBI dinyatakan lepas dari MA. Padahal, perkara itu merugikan negara sekitar Rp4,5 triliun.

"Akibat tindàkan Sjamsul Nursalim, tapi KPK belum lakukan the best thing yang seharusnya dilakukan bahkan terkesan to do nothing dengan kerugian sebesar itu," ucapnya.

BW menambahkan, janji pimpinan lembaga antirasuah terdahulu untuk melakukan upaya hukum biasa hingga luar biasa dalam kasus BLBI seolah digadaikan komisioner KPK saat ini. Dia pun mengingatkan, Syarifuddin bebas karena perbedaan tafsir hukum hakim kasasi MA kala itu.

"Padahal Syarifuddin dinyatakan bersalah di PN (pengadilan negeri) dan PT (pengadilan tinggi), tapi dilepas karena adanya perbedaan tafsir hukum di antara para hakim agung kasus dimaksud," katanya.

Syafruddin divonis selama 13 tahun penjara di tingkat PN Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta dan naik di tingkat banding menjadi 15 tahun bui. Namun, di tingkat kasasi, ia divonis bebas majelis kasasi MA dengan alasan perbuatannya dinilai bukan pidana, tetapi perdata.

Kata Pelaksana Tugas (Plt.) Juru bicara Bidang Penindakan KPK, Ali Fikri, lembaga antisuap telah berupaya maksimal menghadapi putusan tersebut. Namun, upaya hukum luar biasa peninjauan kembali (PK) yang diajukan ditolak MA.

"Oleh karena syarat unsur adanya perbuatan penyelenggara negara tidak terpenuhi, sedangkan SN dan ISN sebagai orang yang turut serta melakukan perbuatan bersama-sama dengan SAT selaku penyelenggara negara, maka demi kepastian hukum, KPK menghentikan penyidikan perkara dimaksud," paparnya.

img
Akbar Ridwan
Reporter
img
Fatah Hidayat Sidiq
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan