Saut Situmorang: Dewas bisa jadi bencana buat KPK
Bersama sepuluh nama lainnya, tiga pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatatkan diri mereka sebagai pemohon dalam permohonan uji formil Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU KPK ke Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan uji formil itu resmi didaftarkan ke MK, pekan lalu.
Ketiga pimpinan KPK yang tercatat sebagai pemohon dalam uji formil itu, yakni Ketua KPK Agus Rahardjo, Wakil Ketua KPK Laode M Syarief dan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang. Ketiganya bakal ditemani 39 advokat saat berlaga di Gedung MK, nanti.
Dalam wawancara khusus bersama Alinea.id di Gedung KPK, Kuningan Persada, Jakarta, Jumat (24/11) lalu, Saut mengungkapkan alasan mereka menggugat UU tersebut. Menurut Saut, gugatan tersebut merupakan perwujudan nyata keberatan ia dan rekan-rekannya terhadap berlakunya UU KPK yang baru.
"Ada 26 poin (potensi pelemahan KPK dalam UU yang baru) waktu itu kita keluarkan bahwa ada ancaman terhadap masa depan pemberantasan korupsi, mulai dari sifatnya pencegahan, struktur, munculnya Dewan Pengawas," kata Saut.
Tak hanya berbicara soal permohonan uji formil, Saut juga mengungkapkan bahaya berlakunya UU yang baru terhadap kelembagaan KPK. Salah satunya ialah ihwal bahaya yang mungkin muncul dengan keberadaan Dewan Pengawas.
Berikut petikan wawancara Alinea.id dengan Saut Situmorang:
Kemarin tiga pimpinan KPK menjadi bagian dari kelompok masyarakat sipil yang mengajukan uji materi. Sebetulnya apa alasannya?
Ya, jadi ketika undang-undang (UU) itu secara formal berlaku, sebelumnya kita pimpinan sudah mengeluarkan kesimpulan dari draf yang kita peroleh. Walaupun draf itu kita dapat dengan susah payah… Enggak tahu tuh (juru bicara KPK) Mas Febri (Diansyah) dapat dari mana? Sampai berlaku (UU) itu resmi, baru kita dapat.
Jadi, ada 26 poin waktu itu kita keluarkan bahwa ada ancaman terhadap masa depan pemberantasan korupsi, mulai dari sifatnya pencegahan, struktur, munculnya Dewan Pengawas (Dewas), kemudian pekerjaan Dewas campur aduk ikut di dalam proses KUHAP dan operasional yang kita lakukan. Pada bagian lain, kita juga dengar bahwa itu nanti akan Perppu. Perppu-nya itu kita dapat tetapi konsepnya push audit. Jadi, rencana dia (Dewas) bukan di depan, hanya mengaudit saja. Macam-macam gitu.
Tetapi, 26 (poin) itu kita sudah luncurkan. Kemudian itu sudah mulai berlaku beberapa pasal yang menimbulkan keraguan terhadap kita, di antaranya Pasal 69 D dengan 70 C itu. Tetapi, kita pakai yang 69 D itu, bahwa sebelum ada Dewas kami masih bisa melakukan proses penindakan sebagaimana kami melaksanakan UU sebelumnya.
Nah, proses itu berjalan. Ketika masyarakat sipil berkunjung ke KPK untuk mengawasi masa depan pemberantasan korupsi dari UU yang dibuat itu, ya, kita ada diskusi-diskusi. Sebenarnya pimpinan berlima ini merasa sebagai individu perlu enggak sih untuk datang melakukan JR. Gitu, ya.
Dari awal kita diskusi itu dan saya pikir kita sebagai individu, ya, sebenarnya kan setiap rakyat Indonesia punya legal standing untuk punya posisi masa depan pemberantasan korupsi itu seperti apa. Apakah UU itu bertentangan dengan UUD 45. Gitu kan?
Nah, muncul lagi perdebatan, ‘Apakah kita formilnya atau materilnya?’ Nah, kemarin kita fokus pada formilnya. Walaupun itu nanti akan diperdebatkan orang juga, ‘Lho kan yang terkait langsung materilnya? Ya, enggak juga. Karena kita paham UU Nomor 12 Tahun 2011 itu kan jelas bagaimana urutan-urutan. Ada 12 tahapan untuk membentuk UU.
Atau semacam ada pembagian dari pengajuan JR? KPK uji formil, yang lain uji materil.
Ada beberapa di antaranya begitu. Artinya, di beberapa kelompok itu koordinasi. Kami juga dari 39 lawyer dan 13 pemohon, sebelum kita berangkat, sebenarnya sudah ada diskusi atau pertemuan sesama kelompok-kelompok yang mengajukan JR.
Tetapi kemarin kenapa hanya bertiga, bukan berempat atau bahkan berlima pimpinan KPK ikut?
Kita tetap dari awal tuh kolektif kolegialnya jalan. Bahkan, sebelum kita berangkat kita ajak juga Bu Basaria (Pandjaitan) dan Pak Alex (Alexander Marwata). Secara prinsip, mereka menyetujui penguatan. Tetapi, mereka tidak ikut dan tidak ikut memberikan formal KTP sebagai pemohon. Enggak apa-apa. Di diskusi-diskusi kita, saat bertemu di rapat-rapat, (suka ngobrol soal) Dewas. Yang begini Pak Alex nanti gimana itu? Dia senyum-senyum aja gitu. He-he-he.
Jadi tiga ini semacam perwakilan gitu ya?
Iya, iya.
Atau karena Pak Alexander Marwata statusnya pertahana?
Ya, itu tidak terucap, ya, seperti itu. Tetapi, yang bisa saya nilai kan prinsipnya mereka. Gini, saya bilang tuh kehadiran enggak penting, yang penting keberadaan. Ha-ha-ha.
Terus kenapa yang diuji formilnya? Sejak MK berdiri hingga kini kan gugatan formil yang maju itu enggak pernah dikabulkan?
Ada memang sebutan kayak gitu. Tetapi, kita harus masuk dari situ dulu. Coba aja contoh, Ada perdebatan naskah akademik, tapi apakah semua klausul per klausul dimasukan ke naskah akademik? Coba lihat deh naskah akademik yang mereka buat itu. Ada enggak di situ bicara Dewas. Ada enggak tiba-tiba Ketua KPK itu (hilang status) penyelidik dan penyidiknya. Kan harus jelas di naskah akdemik itu.
Naskah akademik itu kan bagian yang diminta dari UU Nomor 12 Tahun 2011 (Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). Bahwa (harus ada) 12 tahapan itu. Sehingga, kalaupun itu (uji formil ditolak MK) terjadi, nanti kan masih ada teman-teman yang fokus di (uji) materilnya. Jadi, (JR) ini ingin memakai pendekatan yang berbeda.
Setelah sekian hari UU berjalan, apa sebetulnya yang dirasakan paling berbeda sebelum UU ini ada dengan UU yang lama?
Ya, jadi kalau sampai hari ini sejak berlaku, karena kita pakai Pasal 69 D, ya, kita masih melakukan semua sebagaimana biasanya.
Artinya belum ada perubahan?
Belum ada perubahan. Kemarin kan teman-teman juga nanya nih, ‘Kok OTT-nya enggak ada Pak Saut?’ Ya, kita kan juga pernah dua bulan enggak ada OTT. Artinya proses masih berjalan, dan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan demikian juga pencegahan, dan demikian (juga) satgas-satgas yang ada masih bekerja. Terus kasus sebelum UU ini (berlaku) juga berlanjut. Demikian juga (kasus) yang baru. Kita juga enggak bisa paksakan penyidikan baru. Tetapi, penyelidikan baru ada beberapa. Itu jalan semua. Dan saya pikir, kalau itu di-challenge di praperadilan, ya, kita jelas di Pasal 69 D tadi.
Jadi, belum ada yang terganggu. Cuma ada beberapa orang…saya merasakan, mereka (berpikir), 'Ya, sudahlah enggak usah kerja di sini lagi. Nanti jadi begini ya.' Ada merasa seperti itu. Tetapi, belum terbukti. Ada rasa gitu, ya. Tapi, tiba-tiba orang pengin pergi semua. Itu belum ada.
Tetapi mengganggu irama kerja enggak?
So far? Enggak. Karena mereka tiap akhir tahun itu dievaluasi key performance indicator (KPI) orang per orang. KPI setiap orang tuh, (semisal) dia harus lakukan apa? Mereka sudah punya, baik itu di penindakan dan pencegahan. Targetnya ada.
Misalnya, tahun ini harus selesaikan dua ratus kasus. Nah, kamu harus selesaikan beberapa penyelidikan, penyidikan, penuntutan itu semua. Jadi, mereka masih strike di situ. Kalau enggak mereka akhir tahun enggak dapet bonus kan. Dan memang dasarnya ada. Bukan hanya KPI semata, tetapi organisasi masih berjalan sesuai dengan UU itu sendiri. Jadi dasar hukumnya ada. Sehingga sampai hari ini belum (ada pengaruh).
Tetapi kalau nanti tiba-tiba Dewas sudah terbentuk, saya kurang bisa memahami seperti apa nanti karena ada bussiness process yang berbeda. Jadi, nanti pimpinan yang kolektif kolegialnya seperti apa dan itu nanti Dewas ini kolektif kolegial juga.
Saya enggak tahu. Saya katakan, secara manajemen, itu sangat inefisien. Padahal, dari awal sejarah UU KPK, di depannya itu selalu bicara memberantas korupsi itu harus efisien dan efektif. Nah, jadi ini kita amati saja, semoga selesai dari sini saya juga amatilah. Punya tanggung jawab moral untuk amatin. Nanti bikin apalah gitu.
Kalau di diskusi lima pimpinan internal KPK, kira-kira kalau nanti ada Dewas bakal seperti apa hubungan dengan pimpinan KPK?
Yang jelas nanti bussiness process-nya akan terganggu karena dia sebagai pengawas, tetapi dia juga sebagai pelaksana. Jadi, dia kan pengawas tuh, tetapi dia juga pelaksana. Terus, yang ngawasin dia siapa? Itu sangat-sangat menjadi banyak perdebatan di situ. Karena teori manajemen itu enggak begitu. Jika Anda bagian dari (yang) diawasi, Anda tidak masuk dalam proses itu seharusnya.
Oleh sebab itu, KPK itu harus di-check and balance supaya bussiness process-nya (terjaga), baik itu organisasinya, baik itu individunya, KPI-nya juga, baik (oleh) DPR, masyarakat. Oleh sebab itu, persoalannya bagaimana Anda check and balance KPK? Itu yang harus kita pertanyakan sehingga kalau kemudian ditanya seperti apa ke depan bussines processnya, kalau UU itu tidak diubah atau tidak keluar Perppu, saya ragu besar tentang efisiensi dan efektivitas pemberantasan korupsi di Indonesia. Kalau manajemen itu kan muaranya efektif dan efisien. Dan, saya pikir pakai KUHAP saja sudah cukup. Jadi, jangan bikin proses lain di luar itu gitu.
Belum tergambar Pak. Kira-kira nanti hubungan Dewas dan pimpinan ini seperti apa?
Kalau saya lihat itu paling dia (pimpinan) hanya disposisi-disposisi saja. Jadi, dari penyelidik terus ke pimpinan, pimpinan ngajuin, terus terserah Dewas, 'Enggak boleh nih. (Yang ini) enggak prioritas. Kamu kerjain yang ini dulu.' Bisa jadi begitu. Padahal, untuk mencari dua alat bukti untuk dimulainya penyidikan itu kan prosesnya panjang. Nah, tiba-tiba kemudian itu tidak jalan. Bisa jadi pimpinannya juga setali tiga uang dengan Dewasnya. Bisa jadi (mengiyakan).
Kalau setali tiga uang pun, katakanlah mereka sama pikirannya, ucapannya sama, tindakannya sama (dengan Dewas), kemudian (penyidik) di sini sudah ada value bahwa penyidik itu harus independen. Nah, di situ saya pikir bencananya muncul. Di situ nanti mulai bencananya.
Kenapa saya katakan bencana? Ya, bencana dong. Ada penyelidikan yang sudah jalan, dua buktinya cukup. Yang dikhawatirkan itu kan potensi. Potensi terjadinya favouritism, taking side, terus tidak menjalankan penegakan (hukum) dengan baik. Kalau itu nanti bisa dijalani, ya, kita tunggu saja dulu. Semoga itu benar dari sisi integrity.Tetapi, dari sisi bussiness process-nya kan sudah sepakat, bahwa (keberadaan Dewas) itu menjadi inefisien. Dari sisi integrity, kita enggak boleh curiga sama orang juga.
Kalau dari proses yang disebutkan tadi, sepertinya ada perubahan kewenangan yang sebelumnya ada di pimpinan KPK, tetapi muara terakhir keputusan itu ada di Dewas?
Yes. Di situ yang saya katakan bencana bisa terjadi. Jadi, pimpinan ini apa dong? Dia sebagai apa? Hanya jadi PO box (alamat kotak surat)? Makanya, jadi PO box dia. Jadi, kalau enggak didisposisi, dia enggak periksa. Itu kan cukup direkturnya. Jadi, negara rugi tuh, bahwa pimpinan lima orang hanya mendisposisi-mendisposisi.
Tugasnya jadi seperti jubir KPK saja dong ya nanti? Hanya bakal bicara kasus saja.
Makanya, perdebatan ini enggak boleh berhenti. Makanya, ketika kami ajukan kemarin JR, harapannya supaya lebih elegan sebenarnya Perppunya dibuat saja. Karena pemberantasan korupsi itu kalau pakai teori organisasi apa pun, ketika Anda bicara integritas bangsa, pegawai, perusahaan itu yang utama itu leaders-nya. Kalau pemberantasan korupsi di Indonesia yang national leadership-nya siapa? Ya, Presidenlah. Siapa lagi? Anda (Presiden) harus pegang sendiri (Perppu) itu. Enggak usah ragu dengan yang lain. Itu akan muncul kepastian. Jadi, makanya jauh dari isu-isu state capture. State capture itu kan kalau menurut World Bank, segala kebijakan itu approach-nya selalu politik kan. Nah, ini kan tecermin kan.
Jadi integrity, indepedensi, kemandirian, keberanian. Kalau di KPK kan kami bicara sembilan nilai, itu ada jujur, peduli, tanggung jawab, berani, sederhana, adil. Apa kita sudah ketemu pemimpin di negara ini? Atau kami di KPK yang memegang sembilan nilai itu? Nah, di situ value yang saya katakan tadi benturannya di situ. Enggak cocok dengan apa yang di kepala kita dengan kepala orang di luar itu enggak cocok.
Sama dengan saya pernah dibilang komandan Taliban kan. Ya, enggak bisa (semudah itu). Karena di KPK itu nilai RI-nya religus, integrity, kepemimpinan, profesional, dan keadilan. 'Wah Pak Saut itu nilai-nilai KPK diada-adain aja?' Enggak. FBI juga gitu, FBI nilainya itu fidelity, pride, integrity. Mereka cari-cari (nilai itu). Ke mana-mana orang FBI pegang itu, fidelity, pride integrity. Kami juga gitu ke mana-mana. Kami orang religius, integrity, pimpinan selalu kolektif kolegial, profesional. Profesional itu (artinya) enggak peduli siapa pun gue penjarain. Kan begitu kan?
Jadi, value itu sebenarnya sudah ada, dan kalau itu sudah terjadi, artinya benturan-benturan karena UU-nya seperti itu, saya khawatir boro-boro tahun 2050 kita sejahtera, (tahun) 2500 kali, ya.
Dari sisi kelembagaan, selain leadership tadi, apa sebetulnya yang paling berat dirasakan KPK dengan berlakunya UU hasil revisi itu?
Ya, pertama sebenarnya yang utama itu bahwa KPK itu sudah pasti enggak akan bisa membersihkan negeri ini. Angka 38 indeks persepsi korupsi (IPK) kita itu kan datang dari banyak variabel. Bagaimana polisi bekerja, TNI bekerja, ASN bekerja, bagaimana (Ditjen) Pajak, (Ditjen Bea) Cukai, guru, dosen dan semua (profesi) yang ada di Indonesia yang menggunakan uang negara itu dilihat satu per satu. Dana desa, BPJS, semua kan dinilai oleh mereka sehingga muncullah angka 38, termasuk politik kita. Yang dilihat, ya, politik demokratis itu.
Politik demokratis itu bahkan detail sejauh apa majority kita, bagaimana elektoralnya, KPU pun dinilai sama dia. Terus bagaimana majority-nya, bagaimana egalitarian partai. Kemudian KPK masuk dalam politik, khusus disebut integritas partai politik. Kami sarankan sejumlah rekomendasi di antaranya parpol harus lakukan rekrutmen yang benar, kaderisasi benar, kode etik dan transparansi dengan anggaran. Ini kan isu yang sarat dengan money politic.
Nah, oleh sebab itu, kalau ditanya seperti apa kepemimpinan itu sendiri? Betul dari sisi sejarah berdirinya KPK dan kemudian kita menjadi menjadi trigger mechanism diminta (UU) waktu itu. Dan, di dalam UU baru ini kata trigger-nya enggak muncul. Bukan berarti dihilangkan karena pasti itu tetap berlaku. Ya, jadi tetap kita lakukan. Tetapi, pada bagian lain yang di UU sebelumnya kemungkinan kita bentuk KPK di daerah. Jangan lupa, hampir semua daerah kena sekarang. Ini kan menunjukan bahwa KPK betul dari sisi penindakan. Kami berada di lini depan. Tetapi, kemudian ketika itu kita bersihkan semua, kami kan tidak 24 jam di daerah. Nah, kemudian UU-nya tidak mendorong kita bentuk (cabang) di daerah.
UU baru enggak memungkinkan membentuk KPK di daerah?
Tidak tegas kalau saya bilang. Artinya, bagaimana kita bisa meyakinkan daerah ini bisa kita ubah dari 9 koordinator wilayah yang ada sekarang ini. Apakah 9 koordinator ini optimal di UU yang baru itu. Semoga mereka punya sense yang sama dengan kami sekarang ini. Tetapi, saya katakan kalau umpama semua proses itu harus melewati beberapa pertimbangan Dewas—karena kan kalau di daerah itu kita lakukan juga supervisi penindakan, jadi kasus-kasus yang mangkrak itu kami pelajari semua, kemudian kalau ini nanti di dalam pengawas itu jadi bagian dari proses-proses penindakan di daerah—ya, kan menjadi terhambat.
Artinya UU baru akan mengganggu kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi?
Jadi, sekali lagi, seperti apa ke depan KPK bisa leading. Karena juga Piagam PBB sudah kita tanda tangani. Jangan lupa piagam PBB, UNCAC (United Nation Convention Against Corruption) itu, bahwa setiap negara harus ada satu lembaga yang permanen yang fokus pada pemberantasan korupsi. Kemudian dari sana muncul lagi yang namanya Jakarta Commitment. Itu kan kesimpulannya di Jakarta.
Jakarta Commitment itu kan menggambarkan bahwa semua lembaga yang bergerak di antikorupsi mereka harus dijamin keamanannya, kesinambungannya, keberlanjutannya. Jadi, ya, praktis dunia internasional akan melihat, Indonesia ini sebenarnya serius enggak sih. Karena kan belum selesaikan juga UU Tipikor kita. Makanya, kita selalu bilang, benahin dulu UU Tipikornya. Sebenarnya fokus di situ dulu. Nah, angka 38 ini baru bisa kita kerek nih bisa naik sedikit menjadi 40. Jadi, kalau memang mau, Prolegnas ke depan sebaiknya (bahas revisi UU Tipikor) itu.