Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Rasyid Ridha Saragij, menjelaskan beberapa masalah dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) terkait delik pidana agama. Menurutnya, ada enam pasal dalam RKUHP yang membahas soal pidana agama. Aturan tersebut anatara lain tertuang dari pasal 304 sampai 309.
Dari enam pasal tersebut, ada empat yang benar-benar mengatur jenis-jenis pidana. Pertama, tindak pidana penghinaan terhadap agama. Kedua, meniadakan agama. Ketiga adalah membuat gaduh atau membubarkan acara keagamaan. Keempat, perusakan benda keagamaan, rumah ibadah, (atau) alat ibadah.
Menurutnya, baik aliansi nasional dan Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi Kebebasan Beragama menginginkan agar pasal penghinaan agama ditiadakan. Apabila delik tersebut dipertahankan, sama saja negara mengulangi kesalahan sebelumnya, yang mana membuka potensi kelompok agama minoritas dapat dipersekusi atau bahkan dikriminalisasi.
Selain itu, hal tersebut memungkinkan adanya pembungkaman kepada kelompok kepercayaan yang minim pengikut karena memiliki tafsiran berbeda terhadap agama tertentu. Karena itu, kelompok yang minim ini bisa saja dianggap menghina agama oleh kelompok mayoritas.
“Ini menjadi problem karena delik penghinaan (agama) sebenarnya sangat subjektif. Artinya, tidak ada ukuran objektif, tidak ada ukuran yang jelas seberapa jauh seseorang menghina atau tidak menghina terhadap ajaran agama,” kata Rasyid kepada Alinea.id di Jakarta pada Rabu (28/8).
Rasyid mengatakan, Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi Kebebasan Beragama memberikan penawaran jika pasal penghinaan terhadap agama tetap dipakai. Aturan penghinaan agama, kata dia, perlu diperjelas ketentuannya mengenai ujaran kebencian berbasis agama atau keyakinan seseorang.
Sementara berkenaan dengan peniadaan agama, Rasyid mengatakan, delik tersebut berpotensi mengkriminalisasi masyarakat yang memiliki keyakinan berbeda. Misalnya, tak mempercayai adanya tuhan atau agama. Pasal peniadaan agama disebutnya melanggar kebebasan seseorang dalam berkeyakinan.
"Jadi, dalam konteks itu (keyakinan) bisa masuk juga orang-orang yang keyakinan ideologi tertentu, termasuk keyakinan terhadap atheisme. Ini kemungkinan menyasar kelompok atheis untuk delik pidana peniadaan agama," ucapnya.
Lebih lanjut, terkait delik membuat gaduh atau membubarkan kegiatan keagamaan, hal itu tidak menjadi masalah. Akan tetapi, dalam konteks membuat gaduh, pemerintah harus memperjelas seberapa besar kegaduhan sehingga bisa dikriminalkan.
Sementara itu, untuk pidana terhadap benda keagamaan, dia berpendapat, sebenarnya delik itu tidak perlu karena sudah ada aturan lain terkait perusakan barang milik orang lain.
"Bisa dipakai aturan itu (aturan pengrusakan barang orang lain). Jadi tak tumpang tindih. Di satu sisi tak ada ukuran jelas apa yang dimaksud benda suci keagamaan itu apa," katanya.
Di sisi lain, Gin Gin Akil, selaku penghayat Sunda Wiwitan dan mendalami nilai-nilai Pancasila mengatakan bahwa sesungguhnya dalam konteks beragama atau berkeyakinan tidak ada yang namanya minoritas. Menurutnya, legitimasi itu dibuat oleh sekolompok elit yang merasa berasal dari kelompok mayoritas.
Atas dasar itu, dia merasa tidak ada ancaman sebenarnya bagi kelompok yang dianggap minoritas. Menurutnya, persoalan RKUHP dalam konteks yang lebih luas malah mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Karena pada dasarnya mayoritas (kelompok agama) tidak mengancam apa-apa. Yang mengancam elit yang mengatasnamakan mayoritas dengan menggunakan politik identitas,” ujar Gin Gin Akil.
Lebih lanjut, Akil berpendapat, dalam konteks berbangsa dan bernegara semestinya yang perlu diperhatikan adalah status seseorang sebagai warga negara, bukan melihatnya dari aspek agama. “Jadi, semua warga negara dilihat dari bagaimana perilaku dia terhadap warga negara lainnya,” uajr Gin Gin.
Kendati demikian, dia percaya pada pemerintah dan berharap Presiden Jokowi berkenan menggelar musyawarah terkait RKUHP. Menurutnya, musyarawah diperlukan agar kelompok mayoritas maupun minoritas bisa mengedepankan ideologi Pancasila dalam bernegara.
"Saya percaya pada pemerintah bersikap rasional dan tidak mensahkan bila KUHP mengancam kehidupan dan ideologi Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika," kata Gin Gin.