Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai tuntutan pidana atas pendapat I Gede Ari Astina alias Jerinx penuh masalah. Diketahui, Drummer band Supermen Is Dad (SID) itu dilaporkan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) terkait unggahan ‘Kacung WHO’ di akun Instagram-nya.
Direktur Eksekutif ICJR Erasmus A.T Napitupulu menyebut, penggunaan pasal pidana Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) untuk menjerat Jerinx tidak tepat. Penahanan dan penuntutan penjara terhadap Jerinx dinilai kemunduran bagi negara demokratis.
Menurut Erasmus, jika pernyataan Jerinx terkait penanganan Covid-19 dinilai kontraproduktif, maka sebaiknya menghadirkan diskursus publik daripada melakukan kriminalisasi.
“Jika Jerinx atas kritiknya bisa dipenjara, maka bukan hal yang tidak mungkin kritik-kritik lain yang merupakan ekspresi sah bisa dipidana,” ujar Erasmus dalam keterangan tertulis, Rabu (11/4).
Dalam perkara ini, ICJR menemukan empat masalah dalam tuntutan terhadap Jerinx. Pertama, jaksa penuntut umum (JPU) melakukan kesalahan dalam membuktikan unsur kesengajaan.
Dalam dakwaan JPU menggunakan Pasal 28 ayat 2 jo Pasal 45A ayat 2 UU ITE jo Pasal 64 ayat 1 ke-1 KUHP, dengan unsur senjaga tanpa hak. Namun, jelas dia, pada penjelasan berikutnya, JPU justru mengaitkan unsur dengan sengaja dan tanpa hak tersebut dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE dan Pasal 45 ayat (3) UU ITE tentang penghinaan dan atau pencemaran nama baik.
“Ini adalah kesalahan mendasar dalam suatu tuntutan, karena unsur kesengajaan justru tidak dikaitkan dengan perbuatan yang dituntut. Catatan penting, unsur kesengajaan adalah unsur yang krusial dalam pembuktian kasus ujaran kebencian,” tutur Erasmus.
Kedua, JPU dinilai tidak mampu membedakan antara penghinaan atau pencemaran nama baik dengan menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian.
JPU, lanjut Erasmus, sama sekali tidak menjelaskan unsur yang saling mengecualikan antara Pasal 27 ayat (3) UU ITE dengan Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Padahal, dua pasal memiliki tujuan pengaturan dan rumusan yang berbeda.
Dia menerangkan, Pasal 27 ayat (3) UU ITE menyasar perbuatan penghinaan secara individu melalui tuduhan untuk diketahui umum, sebagaimana harus merujuk pasal 310/311 KUHP. Delik aduannya absolut, sehingga korban harus disebutkan namanya secara tegas dan jelas untuk memastikan adanya kesengajaan dengan tujuan merendahkan martabat orang.
Sementara Pasal 28 ayat (2) UU ITE tidak harus bersifat tuduhan, melainkan informasi terkait penghasutan untuk menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan, merujuk pada suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), bukan individu.
“Sedangkan uraian yang dibuat oleh JPU dalam tuntutan tidak sama sekali jelas menguraikan perbedaan ini, malah fakta persidangan dicampuradukan,” ucapnya.
Ketiga, JPU dinilai melakukan kesalahan, seolah IDI adalah pihak yang dilindungi oleh pasal ujaran kebencian. Pasal 28 ayat (2) UU ITE semestinya tidak untuk mengkriminalisasi orang yang mengkritik suatu institusi.
“Dalam kacamata negara demokratis, negara tidak seharusnya melarang kritik pada institusi. IDI bukan kelompok yang tidak bisa dikritik. Pernyataan Jerinx harus dipisahkan dengan narasi ‘kehormatan dokter’ ‘ketersinggungan dokter’ karena pernyataan Jerinx berkaitan dengan kebijakan, yang mengandung aspek kepentingan umum, hal tersebut tidak berkaitan dengan perasaan dokter secara individual,” tutur Erasmus.
Keempat, lanjut Erasmus, JPU dalam tuntutan tidak menguraikan secara komprehensif, apakah pernyataan Jerinx benar ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan, merujuk pada SARA.
Untuk mengetahui apakah sebuah ekspresi masuk kualifikasi sebagai penyebaran ujaran kebencian harus melewati enam bagian.
"Yaitu, konteks di dalam ekspresi; Posisi dan status individu yang menyampaikan ekspresi tersebut; Niat dari penyampaian ekspresi untuk mengadvokasikan kebencian dan menghasut; Kekuatan muatan dari ekspresi; Jangkauan dan dampak dari ekspresi terhadap audiens; serta kemungkinan dan potensi bahaya yang mengancam atas disampaikan ekspresi," pungkasnya.