Ketua Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Marsudi Syuhud, menyatakan, sikap moderat sangat penting dalam membentuk ummatan wasathan atau umat Islam yang berada "di tengah". Pun urgen di era digital yang berciri-cirikan penggunaan media sosial (medsos) seperti sekarang.
Dirinya menerangkan, jagad medsos akan dipenuhi konten-konten berisi kebohongan atau hoaks, kebencian dan hasutan jika tanpa dilandasi sikap moderat. Kesemua itu juga merusak ummatan wasathan.
"Yang dituntut ketika era medsos ini adalah tawasutiyah atau moderat karena konten-konten omongan itu jangan sampai di-share ke jagad medsos apabila belum tahu kebenarannya," katanya dalam Webinar Moya Institute bertajuk “Umat Islam Indonesia: Ummatan Wasathan", Jumat (15/10).
Marsudi melanjutkan, masyarakat, terutama umat Islam, harus ditanamkan sikap tidak menebarkan kabar bohong ataupun ujaran kebencian dalam menghadapi penyebaran konten yang merusak ummatan wasathan di medsos. Pemerintah pun telah mengeluarkan aturan terkait, yang tertuang dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Karenanya, dia berpendapat, anggota atau kelompok masyarakat yang membagikan konten yang tidak sesuai fakta telah melanggar ajaran agama.
"Kalau mau berdialog, diskusi mengangkat suatu topik, maka harus berdasarkan data dan fakta. Kalau tidak, ya, itu hanya hoaks. Hoaks itu bohong, dan bohong itu dilarang Tuhan," tuturnya.
Pada kesempatan sama, mantan Rektor Universitas Islam Indonesia Internasional (UII), Komaruddin Hidayat, menyatakan, Rasulullah saw sudah memiliki kualitas kemanusiaan yang sempurna sebelum menjadi nabi.
Nabi Muhammad, menurtnya, diberi gelar Al-Amin yang artinya manusia yang bisa dipercaya. Itu karena beliau menunjukkan sikap wasathiyah atau moderat.
Ini mirip dengan beberapa masyarakat atau peradaban di dunia yang belum mengenal Islam atau agama, tetapi peradabannya sudah bagus. Mereka antikorupsi, mencinta ilmu, dan melindungi kemanusiaan.
"Sebaliknya, ada masyarakat yang sangat bersemangat bicara soal agama, tapi kualitas peradaban dan kemanusiaannya masih kurang, jadi tak nyambung antara retorika agamanya dengan kualitas peradabannya," paparnya.
"Yang bagus adalah ketika kualitas peradaban dan kemanusiaannya sudah bagus ditambah dengan wahyu Islam. Inilah yang makin mendekati ummatan wasathan," ujar Komarudin.
Sementara itu, Imam Besar di Islamic Center of New York, Muhammad Shamsi Ali, menyatakan studi tentang Islam di dunia Barat kebanyakan dikemas dengan bungkus "studi Timur Tengah". Menurutnya, hal tersebut harus diluruskan.
"Indonesia sebagai negeri muslim terbesar di dunia harus bisa menunjukkan pada dunia, khususnya dunia Barat, bahwa Islam itu bukan Timur Tengah semata. Islam itu universal," tegasnya
"Bahkan, saya membayangkan suatu saat bila orang di dunia ini mendengar nama Islam, maka pikiran mereka akan tertuju pada Indonesia. Di sinilah pentingnya perwujudan ummatan wasathan dalam masyarakat Indonesia," tambahnya.
Adapun Direktur Eksekutif Moya Institute, Hery Sucipto, berpandangan, umat Islam Indonesia sejatinya memiliki banyak ciri-ciri yang menunjukkan ummatan wasathan. Namun, harus lebih masif dipraktikkan.
"Ke depannya, tantangan bagi umat Islam Indonesia untuk dapat mengejawantahkan prinsip-prinsip ummatan wasathan itu dalam menghadapi tantangan zaman, khususnya di masa pandemi yang belum berakhir ini," pungkasnya.