Budayawan senior Eros Djarot mengatakan pimpinan dan segenap bangsa Indonesia harus mengakui bahwa tidak satu pun dari mereka memahami Pancasila sebagai falsafah dasar negara.
Pasalnya, menurut Eros, tidak satu pun landasan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah selama ini mengacu kepada falsafah dasar yang dirumuskan oleh Presiden pertama Indonesia tersebut, yaitu Presiden Soekarno.
"Kalau dibilang kita ini negara Pancasila. Makanya saya pertanyakan, Pancasila yang mana?" katanya dalam dalam diskusi online Menjaga Identitas Bangsa di Era Globalisasi, Senin (1/6).
Dia pun mengungkapkan, persoalan pemahaman Pancasila sebagai falsafah negara bukan hanya tidak hinggap di kepala generasi milenial, tetapi juga tidak dipahami oleh generasi pendahulunya.
Oleh karena itu, menurut dia, setiap elemen bangsa harus kembali membaca dan mencerna makna dari lahirnya Pancasila dalam naskah pidato Presiden Soekarno pada 1 Juni 1945 dan dalam pembukaan Undang-Undang dasar 1945, untuk kembali menginternalisasi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dalam kehidupan bermasyarakat.
"Semua jelas diuraikan dengan baik dalam Pancasila. Menurut saya semua ini harus direnungkan kembali. Kita harus jujur, jangankan milenial, orang-orang tua saja tidak mengerti kok," ujarnya.
Menurut Eros, ketidakpahaman tersebut membuat kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah jauh dari semangat pancasilais. Konsep nawacita yang pernah didengungkan Presiden Joko Widodo saat kampanye pun menurut Eros tak pernah berhasil diterapkan.
Hal ini disebabkan, tidak kuatnya para pengambil kebijakan di tatanan pemerintahan dalam menginternalisasi nilai-nilai Pancasila sehingga sulit masuk pada konsep yang lebih teknis dan praksis.
"Jokowi berjuang dengan kuat, tapi perlu juga orang-orang di sekitarnya yang bacaannya sama. Makanya ramai di publik adanya pembisik-pembisik. Akan tetapi Itu normal karena itu politik," ucapnya.
Untuk itu, dia mengatakan tak akan berhenti untuk terus menyuarakan tentang pentingnya kembali kepada falsafah dasar negara agar Indonesia dapat menjadi bangsa yang berkepribadian kuat dan berdikari.
"Kalau dibilang pemikiran saya ekstrim atau bagaimana, tidak apa-apa. Kalau untuk nilai dasar (negara) itu harus ekstrim dan tidak ada komprominya," ujarnya.
Pencipta lagu Badai Pasti Berlalu ini pun menekankan, Pancasila adalah konsep dasar yang paling pas bagi negara kepulauan seperti Indonesia dengan berbagai budaya dan identitas yang terkandung di dalamnya. Menurutnya, sudah saatnya Indonesia belajar dari dirinya sendiri.
"Kita anti barat, tapi pro timur tengah dan budayanya. Di mana ada kelompok orang tertentu seolah-olah mewakili surga dan agama serta mewakili kenabian dan seterusnya. Menurut saya apa yang mau dicapai harus dipraktikkan," katanya.
"Jadi enggak usah sok-sokan paling tahu Indonesia. Sudahlah saya sampai sekarang masih yakin Pancasila itu yang paling baik kok buat negara kepulauan ini. Pancasila itu enggak pernah diterapkan di sini. Pancasila ini akan menjadi pemecah masalah. Saatnya kita bersatu. Jangan ada lagi ego kelompok," tambahnya.
Sementara itu, Staf Khusus Presiden Fadjroel Rachman mengatakan jika Pancasila dipercayai sebagai falsafah dasar negara, maka harus diadopsi sebagai perilaku dalam kehidupan berbangsa.
Hanya saja, menurutnya, yang terjadi saat ini Pancasila baru berada di tataran konsep dan belum terinternalisasi di dalam kehidupan masyarakat, sehingga nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat dipraktikkan.
"Apabila Pancasila dipercayai sebagai keyakinan, maka harus menjadi bagian dari kehidupan sebagai perilaku. Sekarang hanya menjadi sikap, belum menjadi nilai atau perilaku. Itu tantangannya," ujar Fadjroel.
Pancasila sebagai keyakinan artinya telah diyakini dan masuk dalam kehidupan sebagai kebiasaan (behavior). Lalu, perilaku akan bertransformasi menjadi habitus Pancasila.
"Jadi apabila believe, behaviours, dan perilaku bersatu, ini yang akan menjadi habitus Pancasila. Tapi kita tidak lari dari cita-cita dalam pidato Soekarno yang tercantum dalam lima sila," tukasnya.