Euforia warga dan perilaku norak penumpang MRT
Foto emak-emak yang sedang menyantap nasi bungkus di peron stasiun Moda Raya Terpadu (MRT), layaknya tengah piknik, menjadi perbincangan di media sosial.
Selain itu, ada pula foto seorang perempuan yang bergelantungan di handle dalam MRT yang menjadi santapan perundungan warganet. Foto lainnya, seorang perempuan berdiri di kursi penumpang.
Menanggapi perilaku norak penumpang transportasi massal anyar ini, Corporate Secretary PT MRT Jakarta Muhammad Kamaluddin mengatakan, pihaknya sudah mengambil tindakan untuk menertibkan setiap pelanggaran yang mungkin terjadi.
Kamaluddin menuturkan, hal itu sudah ditegaskan sejak diresmikannya MRT Jakarta sejak 24 Maret 2019.
“Yang kedapatan melanggar aturan kami lagi, kami akan tegas persilakan keluar dari kereta dan atau stasiun MRT,” katanya saat dihubungi reporter Alinea.id, Rabu (27/3).
Pihak PT MRT Jakarta sudah merespons perilaku norak ini melalui rilis pers. “PT MRT Jakarta menyesalkan atas perilaku yang tidak seharusnya dilakukan di stasiun dan kereta, seperti makan dan minum di stasiun dan kereta, berdiri/menginjak kursi kereta, bergelantungan di kereta yang teridentiflkasi dari hasil evaluasi selama 2 hari terakhir (22-23 Maret 2019) di mana ketika pendaftaran dapat dilakukan di stasiun dan tanpa batasan kuota,” tulis rilis pers yang dilayangkan pada 23 Maret 2019.
Kamaluddin menjelaskan, ketertiban penumpang sudah terlihat sejak sehari usai peresmian. Berdasarkan pantauan reporter Alinea.id di Stasiun Haji Nawi dan Stasiun Senayan, memang para penumpang MRT terlihat tertib.
Mereka berdiri di garis batas bercat kuning untuk menunggu kereta tiba. Tak ada perilaku norak, seperti makan bak orang piknik atau bergelantungan bak orang sedang senam atletik.
Kursi-kursi prioritas juga diduduki dan diberikan kepada penumpang yang lebih membutuhkan.
Selain itu, sebagai bagian dari sosialisasi, pengelola MRT Jakarta juga mengeluarkan buku panduan dengan desain menarik dan sarat pesan. Buku ini berisi penjelasan jalur MRT, cara mendapatkan tiket, tata tertib penumpang, fasilitas yang disediakan, dan hal-hal teknis lainnya.
Euforia yang biasa
Dosen Program Studi Sosiologi Universitas Gadjah Mada Derajad Sulistyo Widhyharto memandang, perilaku norak penumpang MRT merupakan bagian dari euforia sesaat. Ia mengatakan, hal ini wajar terjadi. Bahkan terjadi di seluruh dunia, bukan hanya di Indonesia.
Bagi Derajad, hal itu masih bisa diterima. Sebab, moda transportasi baru dan canggih semacam MRT sudah dinanti-nanti sejak lama oleh warga.
“Karena kita memang mendambakan transportasi massal semacam itu. Sekarang agak lebay karena terbantu dengan adanya teknologi, seperti handphone dan gadget sehingga publikasi terhadap MRT itu jadi agak berlebihan,” katanya saat dihubungi, Rabu (27/3).
Derajad mengatakan, euforia serupa pun bisa ditemukan ketika ada inovasi teknologi terbaru. Ia menyamakan euforia warga yang norak dengan pembukaan mal baru.
“Pasti ramai dan orang kelakuannya juga kadang aneh-aneh. Hari pertama ramai, nanti hari keempat dan seterusnya mulai sepi,” tuturnya.
Menurut Derajad, perilaku norak tak ada korelasinya dengan tingkat pendidikan dan kelas sosial. Buktinya, saat Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama) mencoba MRT, perilakunya pun serupa dengan warga yang ramai diperbincangkan warganet.
“Mereka melakukan foto-foto selfie, bergelantungan, dan jumping. Padahal mereka juga para sarjana,” katanya.
Derajad menambahkan, perundungan oleh warganet tak tepat sasaran. Sebab, kata dia, mereka hanya melihat dari satu sisi.
Ia mengatakan, jika pengguna MRT adalah masyarakat kelas menengah ke atas dan pernah mencoba MRT di luar negeri, mungkin akan terkesan biasa.
“Tapi mereka yang belum pernah dan melihat, akan merasa itu seperti fenomena agung bagi mereka. Mereka merasa juga menjadi bagian dari masyarakat yang ikut merasakan inovasi pembangunan,” ujarnya.
Analogi ini, katanya, mirip dengan pandangan masyarakat kelas menengah yang menganggap dangdut itu kampungan.
“Padahal bagi penyuka dangdut, itu adalah kebiasaan mereka dan musik yang mereka gemari, dan biasa saja,” katanya.
Hal senada disampaikan pakar transportasi dan Kepala Lab Transportasi Unika Soegijopranoto Semarang, Djoko Setijowarno. Menurutnya, makan bersama di peron MRT termasuk ke dalam kebudayaan masyarakat Indonesia.
Hanya saja, lanjut dia, tempatnya salah. Sedangkan penumpang yang bergelantungan, ia menyebut, contoh masyarakat yang tak beradab.
“Itu orang yang tidak beradab. Itu kebiasaan di rumah, seperti buang sampah sembarangan. Kalau ini tidak boleh dibiarkan,” ujarnya saat dihubungi, Rabu (27/3).
Sosialisasi terus menerus
Di samping itu, menurut Djoko, sosialisasi bagi penumpang MRT harus terus menerus dilakukan. Tujuannya, agar publik teredukasi dengan baik, mengenai apa yang boleh dan tak boleh dilakukan.
“Karena ini adalah transportasi baru jadi masyarakat juga butuh penyesuaian untuk memahaminya,” katanya.
Sementara menurut Derajad Sulistyo Widhyharto, inovasi pembangunan juga harus dibarengi dengan inovasi sosial. Inovasi, kata dia, seperti melatih penumpang untuk antre, saling menjaga, mendahulukan orang yang lebih tua, memprioritaskan perempuan hamil, dan menghargai sesama penumpang MRT.
”Jadi ini masih pure infrastruktur, sepenuhnya masih pure inovasi pembangunan,” kata Derajad.
Menurut dia, hal itu menjadi tanggung jawab bersama, yang harus dimiliki dan ditumbuhkan dalam setiap diri warga. Derajad mengatakan, hal ini mengacu ke soal nilai, norma, pengetahuan, dan peran. Bukan sosialisasi soal teknis.
“Apakah melakukan ini baik di MRT? Apa risikonya jika dilakukan? Dan dampaknya bagi orang lain apa? Ini yang harus dipkirkan orang ketika akan melakukan sesuatu,” ujarnya.
Lebih lanjut, menurut Derajad, hal ini tak hanya berlaku untuk penumpang MRT saja, tetapi juga pengguna fasilitas publik lainnya, baik di bus, kereta api, pesawat, atau eskalator.
“Revolusi mental itu harusnya begitu. Nah, sekarang kan masih sporadis masih kasus tertentu. Ini yang harusnya dilakukan, dan memang butuh waktu,” tuturnya.
Di sisi lain, melihat fasilitas yang ada di stasiun-stasiun MRT, Djoko Setijowarno menyebut, sudah sebanding dengan negara-negara lain. Hanya saja, ia punya sedikit catatan soal keamanan yang ada di stasiun.
“Kereta bawah tanah di China kalau masuk kita pasti kena sensor X-ray dulu, dan di sana ada pengawalan ketat. Di MRT sini saya tidak lihat. Meski ada X-ray, tapi beberapa tidak dijaga,” katanya.