Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia, Fahri Hamzah, gerah dengan kehadiran Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto sebagai calon presiden (capres) 2024 lebih awal. Sebab, cenderung diutamakan daripada pemilihan legislatif (pileg).
"Sekarang ini, saya kira, kita lompat pada munculnya 3 calon ini. Betul-betul kacau! Itu tidak ada prosedurnya, tidak ada mekanismenya," katanya dalam diskusi daring, Jumat (23/6).
Menurut Fahri, hal tersebut berbahaya karena mengabaikan konstetasi partai politik (parpol) dan para calon legislatif (caleg). Sebab, tahapan pemilihan umum (pemilu) berjalan tanpa mekanisme yang berangkai.
Baginya, tahapan pemilu mestinya diawali dengan pengenalan parpol tentang perbedaan dan persamaannya dengan lainnya melalui sebuah forum. Perbedaan dan persamaan ini dapat menjadi fondasi dalam membentuk koalisi dengan partai lainnya.
"Seharusnya dikasih forum yang cukup agar parpol menyampaikan dulu perbedaan dan persamaan sebagai fondasi bagi koalisi untuk bergabung atau tidak, yaitu di parpol dulu," ujarnya.
Fahri menyampaikan, hal itu sangat penting karena masih banyak masyarakat yang kebingungan dengan berbagai tingkah parpol. Kadang kala bersatu, tetapi tidak lama kemudian keluar dari koalisi. Akhirnya, memunculkan pertanyaan publik dan membongkar alasan para politisi terjun ke dunia politik atau berkoalisi.
Dicontohkannya dengan adanya asumsi bahwa koalisi parpol yang terbentuk cenderung didasarkan pada kemarahan atau kekecewaan segelintir elite. Bahkan, berinvestasi atau membeli parpol agar memengaruhi kebijakan publik. "Itu tidak jelas, langsung saja terjadi," ucapnya.
Alhasil, sambung Fahri, pandangan masyarakat terhadap para caleg kabur. Publik pun terkesan tidak peduli terhadap siapa saja yang bakal terpilih di legislatif.
Eks politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini berpendapat, capres seharusnya muncul setelah tahapan pengenalan parpol dan caleg. "Sehingga, tidak ada dinamika lebih mengandalkan logistik, bukan ide."