close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
 KPI meminta bantuan pada agama-agama untuk sepakat dan satu suara menentang hal ini./Valerie Dante
icon caption
KPI meminta bantuan pada agama-agama untuk sepakat dan satu suara menentang hal ini./Valerie Dante
Nasional
Minggu, 02 Desember 2018 18:50

Faktor agama pengaruhi keputusan perkawinan usia muda

KPI mendorong adanya kebijakan di tingkat nasional dan menguatkan pemahaman Kementerian Agama mengenai bahaya perkawinan anak. 
swipe

Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) melakukan kajian cepat pada sembilan provinsi di Indonesia pada 2016 hingga 2017. Dari kajian tersebut sebanyak 418 kasus perkawinan anak teridentifikasi, KPI kemudian memilah 117 kasus untuk didalami.

Dari 117 kasus, sebanyak 50 perkawinan anak dengan selisih usia lebih dari lima tahun antara mempelai lelaki dan perempuan. 48 kasus perkawinan tersebut terjadi karena ketakutan akan zina.

"Sangat terlihat agama menentukan. Orang tua khawatir anaknya zina, maka dinikahkan meski di bawah umur," tutur Koordinator Reformasi Kebijakan Publik Sekretariat Nasional KPI Indry Oktaviani di Cikini, Jakarta, Minggu (2/12).

Perdebatan mengenai usia perkawinan anak sudah terjadi sejak tahun 1973. Saat itu, ada perumusan RUU Perkawinan yang mana pemerintah mengusulkan batas usia menikah bagi laki-laki adalah 21 tahun, dan perempuan 18 tahun.

Penetapan batas usia ini, guna menjarangkan usia kehamilan dini, menjaga kesehatan anak yang dilahirkan dan menyukseskan program Keluarga Berencana (KB). 

"Ada perdebatan terutama dari kelompok agama tertentu, mereka menolak usulan usia pemerintah dan meminta penurunan batas usia," jelas Indry.

Pada saat itu, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan mengajukan lima alasan agar pemerintah menurunkan batas usia menikah. Alasan tersebut didominasi pertimbangan agama, empat di antaranya, menghindari dosa berbuat zina. 

Pengaruh agama juga terlihat ketika pada 2014, KPI mengajukan peninjauan kembali UU Perkawinan 1974, MK meminta pandangan tokoh agama terkait dengan peninjauan tersebut. "Maka itu penting melibatkan agama, karena menjadi pertimbangan pernikahan dini," sambungnya.

Pada 22 November lalu, KPI melakukan dialog mengenai kebijakan perkawinan anak dan mengeluarkan beberapa kebijakan. Kebijakan ini diharapkan dapat mendorong pemerintah agar menyadari urgensi perkawinan anak di Indonesia.

"Kami meminta tanggung jawab tokoh-tokoh lintas agama untuk berperan dan melakukan kajian dengan pemerintah mengenai perkawinan anak dari perspektif agama," papar Indry.

Selain itu, KPI juga mendorong adanya kebijakan di tingkat nasional dan menguatkan pemahaman Kementerian Agama mengenai bahaya perkawinan anak. 

Upaya agama mencegah pernikahan dini

Untuk merealisasikan pencegahan perkawinan anak, KPI meminta bantuan pada agama-agama untuk sepakat dan satu suara menentang hal ini.

Mereka mengundang perwakilan dari komunitas agama Konghucu, Islam, Kristen, Katolik, dan Buddha untuk memberi penyuluhan terkait pandangan mereka akan permasalahan ini.

Seluruh perwakilan yang hadir pun menyatakan, agama tidak mendukung perkawinan anak. Bahkan, agama-agama tersebut memberi bimbingan pada calon pengantin untuk melihat kesiapan mereka menjalin rumah tangga.

Begitu pula diterapkan di ajaran agama Konghucu. Menurut Wakil Ketua II Perempuan Konghucu Indonesia Inggi Kartika Dewi, Konghucu mewajibkan mempelai wanita mendapat pendidikan mengenai pernikahan.

Hal serupa dilakukan di Gereja Katolik. Ketua Presidium DPP Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI) Justina Rostiawati. Dia mengatakan, jika ingin menikah secara Katolik, para calon pengantin harus melewati kursus persiapan perkawinan.

"Hal ini agar menjamin kesehatan mental, psikologis, dan fisik guna melihat kesiapan mereka untuk menikah," lanjutnya. 

Pembimbingan ini pun dilakukan oleh agama-agama lain seperti Buddha, Islam, dan Kristen Protestan. Tindakan ini merupakan upaya agama masing-masing untuk membimbing para calon pengantin dan memberi pengarahan pada mereka untuk membangun rumah tangga dengan pondasi yang benar dan disetujui agama

Faktor lainnya yang berperan

Selain agama, kajian KPI menemukan adanya relasi kuasa antara anak dan orang tua yang berpengaruh dalam perkawinan anak. Dari 117 kasus yang ditelaah, sebanyak 69 kasus terjadi karena keputusan orang tua. 

Selain itu, KPI menemukan di beberapa daerah seperti Jawa Timur, adat memengaruhi berlangsungnya pernikahan dini ini.

Terakhir adalah faktor ekonomi. Di beberapa daerah seperti Jawa Barat dan Sulawesi yang memiliki tingkat kemiskinan tinggi, Indry menyatakan angka perkawinan anak pun tinggi.

"Ada kecenderungan menikahkan anak dengan orang yang jauh lebih dewasa. Orang tua berasumsi pasangan lebih tua akan membantu ekonomi keluarga mereka," imbuhnya. 

img
Valerie Dante
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan