close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Polisi melakukan kekerasan kepada mahasiswa (almamater biru) yang sedang melakukan aksi di depan kantor DPRD Sulsel, Kota Makassar, pada Selasa (24/9/2019). Foto Antara/Abriawan Abhe
icon caption
Polisi melakukan kekerasan kepada mahasiswa (almamater biru) yang sedang melakukan aksi di depan kantor DPRD Sulsel, Kota Makassar, pada Selasa (24/9/2019). Foto Antara/Abriawan Abhe
Nasional
Jumat, 12 Agustus 2022 21:46

YLBHI beberkan faktor-faktor maraknya rekayasa kasus, termasuk pembunuhan Brigadir J

Terjadi 102 kasus kekerasan dan penyiksaan terhadap 1.088 korban di 17 wilayah sepanjang 2019-2021. 
swipe

Kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nopryansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J di rumah dinas bekas Kadiv Propam Polri, Irjen Ferdy Sambo, akhirnya terkuak. Padahal, awalnya diklaim berawal tembak-menembak antara korban dengan seorang tersangka, Bharada Richard Eliezer atau Bharada E.

Mulanya, rekayasa tembak-menembak itu disebut dimotori pelecehaan seksual kepada istri Sambo, Putri Candrawathi. Rekayasa digenapi dengan upaya pembersihan barang bukti di tempat kejadian perkara (TKP) dibersihkan oleh puluhan personel, yang membuat pengusutan menjadi tak profesional.

Namun, hal itu akhirnya terbantahkan seiring bersuaranya Bharada E. Bahkan, Polri telah menyetop pengusutan laporan dugaan pelecehan tersebut.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyatakan, pola-pola rekayasa kasus seperti ini bukan pertama kalinya terjadi. Umumnya, menurutnya, pola rekayasa kasus dilatarbelakangi adanya serangkaian tindakan kekerasan, penyiksaan, hingga pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killing). 

Padahal, terang YLBHI, Indonesia memiliki Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Antipenyiksaan. Sayangnya, alas hukum tersebut belum menjadi rujukan atas terjadinya tindakan penyiksaan.

"Sudah 24 tahun berlakunya UU ini, namun peristiwa penyiksaan terus berulang dan belum ada mekanisme pencegahan yang efektif," kata YLBHI dalam keterangan tertulisnya, Jumat (12/8).

Berdasarkan catatan LBH dan YLBHI, terjadi 102 kasus kekerasan dan penyiksaan dengan jumlah korban mencapai 1.088 orang di 17 wilayah sepanjang 2019-2021. Sebagian besar kasus-kasus tersebut ditangani langsung oleh LBH-YLBHI.

"Dari kasus-kasus tersebut terungkap, bahwa penyiksaan dilakukan oleh anggota kepolisian pada saat proses BAP (berita acara pemeriksaan), penyelidikan dan penyidikan, dalam tahanan, dan sebagian di antaranya menjadi korban salah tangkap bahkan berujung pada kematian atau pembunuhan di luar proses hukum serta sebagian lainnya diduga menjadi korban penjebakan kasus kepemilikan narkotik," tuturnya.

"Lingkaran setan" ini diperparah dengan sikap atasan yang kerap membenarkan perilaku tersebut dengan dalih memiliki diskresi, yang bersandar pada penilaian sendiri, dalam bertindak demi kepentingan umum. Akibatnya, terjadi pengondisian mengaburkan fakta-fakta suatu peristiwa.

"Sementara itu, 'arogansi institusi' dan 'solidaritas angkatan' di tubuh Polri, di mana sesama anggota Polri terdapat kecenderungan untuk saling menutup-nutupi kesalahan bahkan melindungi sehingga sangat sedikit kasus-kasus kekerasan aparat kepolisian yang dapat dituntaskan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku," paparnya.

YLBHI berpendapat, maraknya kasus extrajudicial killing oleh personel kepolisian ini juga menunjukkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sudah tidak lagi efektif untuk melindungi hak-hak warga negara dalam proses penegakkan hukum.

Di sisi lain, YLBHI menilai, serangkaian kasus-kasus penyiksaan hingga pembunuhan di luar hukum yang dilakukan kepolisian membuktikan Polri belum sungguh-sungguh melakukan reformasi.

"Polri belum mampu menghilangkan kultur kekerasan internal Polri serta lemahnya fungsi pengawasan terhadap anggota Polri. Apalagi, pelaku dalam kasus pembunuhan Brigadir J justru Kadiv Propam, yang seharusnya menjalankan fungsi pengawasan kode etik Polri," tegasnya.

Berdasarkan fakta-fakta tersebut, YLBHI menuntut beberapa hal. Pertama, mengusut kasus pembunuhan Brigadir J secara tuntas, profesional, transparan, dan akuntabel serta diminta merujuk UU 5/1998 dalam menangani kasus ini.

Kemudian, Polri diminta serius melakukan reformasi kepolisian, termasuk pengawasan internal. Selain itu, mendorong pemerintah dan DPR mempercepat proses revisi KUHAP dalam rangka menjalankan reformasi peradilan dan pengawasan eksternal kepolisian serta membuat mekanisme yang efektif untuk mencegah berulangnya peristiwa penyiksaan.

img
Fatah Hidayat Sidiq
Reporter
img
Fatah Hidayat Sidiq
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan