Fasisme dan genosida Yahudi yang gagal
Antara Juni atau Juli 1861, seorang pengelana dan penulis Yahudi Jacob Saphir singgah di Batavia, menumpang sebuah kapal dari Singapura. Ia bersua orang-orang Yahudi yang sudah tinggal lama di sana. Namun, di hadapan etnis lain, komunitas itu ogah menyebut diri mereka sebagai bangsa Yahudi.
“Kedatangan Jacob Saphir di Batavia nyatanya menginformasikan kepada kita apa yang tidak tercatat dalam arsip-arsip resmi kolonial. Hanya pada tahun inilah kita beroleh kesaksian pertama mengenai keberadaan orang-orang Yahudi di Batavia abad ke-19,” tulis peneliti sejarah Yahudi, Romi Zarman dalam bukunya, Di Bawah Kuasa Antisemitisme: Orang Yahudi di Hindia Belanda (1861-1942) (2018).
Kesaksian Saphir, yang dicatat Romi menyebutkan, kala itu ada 20 keluarga Yahudi Jerman dan Belanda yang tinggal di Batavia. Mereka berasal dari Hannover, Amsterdam, Den Haag, dan Frankfurt.
Akan tetapi, jejak Yahudi di Nusantara sesungguhnya sudah lebih lama dari informasi yang diungkap Saphir. Menurut Romi, pada awal abad ke-10, ada seorang saudagar Yahudi dari Muskat, Oman, bernama Ishaq Yahuda yang berlayar ke China, namun singgah dahulu di Sriwijaya.
Di Sriwijaya, ia diminta 20.000 dinar oleh raja setempat agar bisa melanjutkan perjalanan ke Khanfu—sebutan untuk Guangzhou. Ishaq menolak permintaan itu. Raja pun memerintahkan orang untuk membunuhnya dan menyita kapal beserta semua miliknya.
Pada abad ke-19, kaum Yahudi tersebar di beberapa kota di Hindia Belanda. Pada 1930, menurut Romi, Pemerintah Hindia Belanda melakukan sensus penduduk. Hasilnya, ada 1.095 orang Yahudi Eropa di Hindia Belanda, sebagian besar bermukim di Jawa Barat, yakni 403 jiwa.
Fasisme bertumbuh di Hindia Belanda
M. Faisal Sakrie dalam buku Melacak Yahudi Indonesia: Dari Maskapai Dagang VOC sampai Jejak Fisik dan Pemikiran (2008) menulis, orang-orang Yahudi menjadi pedagang yang sukses pada masa kolonial. Mereka menjual permata, arloji, hingga kacamata.
Beberapa orang Yahudi di Batavia, tulis Faisal, membuka toko di Jalan Noordwijk (sekarang Jalan Juanda) dan Jalan Rijswijk (sekarang Jalan Veteran).
“Nama toko-toko orang Yahudi, antara lain Olislaeger, Goldenberg, Jacobson van den Berg, Ezekiel & Sons, dan Goodworth Company,” tulis Faisal.
Selain pedagang, profesi mereka adalah serdadu Belanda, pegawai pemerintah kolonial, dan pensiunan.
Pada 1930-an, di belahan dunia Eropa sana, Adolf Hitler muncul sebagai seorang tokoh yang diperhitungkan. Pemimpin Partai National-Sozialistische Deutshe Arbeiterpartei (NSDAP) atau Nazi itu menjadi Kanselir Jerman pada 1933. Mengusung ideologi fasisme, Hitler bercita-cita membangun hegemoni Jerman Nazi yang absolut di Eropa.
Melalui pidato-pidatonya yang karismatik dan berapi-api, ia menekankan pan-Jermanisme, antikomunisme, dan antisemitisme. Hitler menganggap bangsa Yahudi sebagai musabab keterpurukan ekonomi Jerman. Kekerasan terhadap Yahudi pun dimulai.
Pengaruh fasisme lantas menyebar hingga ke Hindia Belanda. Wilson dalam buku Orang dan Partai Nazi di Indonesia: Kaum Pergerakan Menyambut Fasisme (2008) menulis, kemenangan fasisme di Jerman dan Italia—yang dipimpin Benito Mussolini—memberikan pegangan politik baru bagi kaum Indo-Eropa dan Eropa totok di negeri jajahan.
Menurut Wilson, stratifikasi sosial di Hindia Belanda yang rasialis, mengakibatkan ide-ide fasisme yang juga rasial, bisa diterima warga negara kelas satu di Hindia Belanda.
Sementara itu, Romi menulis, pada 1932 cabang Partai NSDAP Jerman berdiri di Batavia. NSDAP di Hindia Belanda ini dipercayakan Hitler kepada karibnya, Walther Hewel.
Pada 1931 berdiri Partai Nationaal-Sozialistisch Beweging (NSB) di Utrecht, Belanda. Tiga tahun kemudian, cabangnya berdiri di Batavia dan punya ranting-ranting di Bandung, Surabaya, dan Semarang. Menurut Romi, NSB adalah partai fasis Belanda yang berkiblat ke Nazi Jerman.
“Prinsip antisemitik diadopsi oleh partai ini. Dalam pandangan NSB, orang-orang Yahudi mesti dibersihkan dari Belanda,” tulis Romi.
Wilson mencatat, pada 1935 anggota NSB di Jawa sebanyak 2.500 orang. Pada Mei 1937, jumlahnya bertambah, mencapai 4.365 orang.
Bukan cuma bangsa Eropa dan Indo yang bersimpati kepada fasisme. Tokoh bumiputra pun ada yang mengadopsinya. Misalnya, Notonindito, bekas anggota Partai Nasional Indonesia (PNI) Sukarno. Menurut Wilson, ia mendirikan Partai Fascist Indonesia (PFI) di Bandung pada Juli 1933.
Namun, meski mengusung fasisme, pada praktiknya partai yang dibentuk Notonindito ini berbeda sekali dengan pembentukan Partai Nazi di Jerman.
“Ide-idenya tidak bersumber pada Nazi, melainkan pada kebudayaan Jawa,” tulis Wilson.
PFI bercita-cita membangkitkan kembali kerajaan-kerajaan di Jawa, seperti Majapahit dan Mataram. Kesatuan di antara kerajaan-kerajaan itu akan dihimpun melalui federasi.
Tak seperti di Eropa, keberadaan segala organisasi fasis ini tak terlalu mengancam eksistensi orang-orang Yahudi di Hindia Belanda. Mereka tak memiliki tentara, layaknya Nazi Jerman. Mereka juga selalu diawasi Politieke Inlichtingen Dienst (PID) atau Dinas Intelijen Politik pemerintah kolonial.
Ketika Jerman menduduki Belanda pada Mei 1940, menurut Romi, anggota NSDAP Hindia Belanda banyak yang ditangkap pemerintah kolonial.
Hari kelam di bawah fasisme Jepang
Antara akhir 1930-an hingga awal 1940-an, terjadi gelombang pengungsian Yahudi dari Eropa, terutama dari negara yang diduduki Nazi Jerman ke Hindia Belanda. Mereka menghindari kekerasan Jerman.
Romi memperkirakan, saat itu terdapat sekitar 1.000 pengungsi Yahudi di Hindia Belanda. Mereka tersebar di tempat yang banyak ditinggali saudara sebangsa, seperti Kutaraja (Jawa Barat), Padang, Medan, Batavia, Surabaya, Semarang, dan Bandung.
“Selain itu, ada faktor ketidaksengajaan dari mereka yang hendak menuju Shanghai (China) atau Australia, namun malah ‘tersangkut’ di Hindia Belanda,” tulis Romi.
Nahas segera menimpa mereka saat bala tentara Jepang menduduki Indonesia pada 1942. Bermaksud menghindar dari Jerman, malah terkurung dalam kekuasaan sekutunya yang tak kalah kejam.
Menurut Romi, pada April 1942 orang-orang Yahudi tak ada yang ditahan. Namun, mereka yang nonpengungsi dan sudah menetap lama di Hindia Belanda, diperintahkan diam di rumah. Jam malam pun diberlakukan, tetapi hanya untuk Yahudi Eropa.
Orang-orang Yahudi dari Asia masih dibebaskan beraktivitas. Jepang masih menganggap Yahudi dari Asia sebagai kawan, bukan lawan. Sesuai cita-cita mereka menyatukan seluruh bangsa Asia di bawah kekuasaan Jepang.
“Kaum Yahudi Eropa diwajibkan mendaftarkan diri di kantor bala tentara Dai Nippon,” tutur Romi.
Nino Oktorino dalam bukunya Nazi di Indonesia: Sebuah Sejarah yang Terlupakan (2015) menulis, Jepang pun masih menganggap komunitas Yahudi sebagai kaum yang tak punya negara. Jepang hanya memerangi negara musuh, seperti Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat, bukan ras.
Segalanya berubah ketika beberapa perwira penghubung Jerman tiba di Surabaya pada 1943. Mereka memerintahkan agar orang-orang Yahudi ditangkap. Lalu, mereka ditawan di beberapa kamp interniran. Salah satunya di Tangerang. Tempat orang-orang Yahudi itu ditawan pun ditandai khusus.
“Di atas temboknya, dikibarkan bendera bertuliskan ‘Banksa Jehudi’,” tulis Nino.
Tokoh Yahudi terkemuka, yang pernah memimpin organisasi teosofi Yahudi Theosofische Vereeniging, yakni A.J.H. Van Leeuwen dan P. Fournier termasuk yang masuk kamp tawanan Jepang.
“Fournier jatuh sakit dan meninggal dalam tahanan, Leeuwen keluar setelah Jepang kalah perang dan pulang ke Belanda pada 1945,” tulis Ridwan Saidi dan Rizki Ridyasmara dalam buku Fakta dan Data Yahudi di Indonesia (2006).
Jepang pun mengobarkan kebencian terhadap bangsa Yahudi dengan mengadopsi propaganda antisemitisme Nazi. Misalnya, didengungkan lewat pidato radio Wakil Kepala Kempeitai, Murase Mitsuo, pada 2 April 1943.
Di samping itu, tulis Nino, ada pula tudingan dalam Jawa Shinbun edisi 10, 11, dan 12 Agustus 1943 yang menyatakan Pemerintah Hindia Belanda dikuasai orang Yahudi. Beberapa tokoh Indonesia, seperti Tjokroaminoto, Umar Said, dan Sam Ratulangie juga mengeluarkan pernyataan anti-Yahudi yang mendukung kebijakan Jepang di surat kabar.
Bahkan, menurut Nino, ada informasi jika Nazi berniat membasmi habis orang-orang Yahudi yang bermukim di Indonesia. Perwira Gestapo, yakni Joseph Albert Meisinger yang berjuluk “Tukang jagal dari Warsawa” rencananya akan dikirim ke Jepang untuk berkoordinasi dengan Kempeitai.
“Namun, penyerahan Jerman pada awal Mei 1945 membuat orang-orang Yahudi di Indonesia luput dari suatu holocaust,” tutur Nino.
Perlahan, berakhirnya Perang Dunia II membuat banyak perubahan. Menyerahnya Jepang terhadap Sekutu pada medio Agustus 1945, disambung dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia, membuat sebagian besar orang Yahudi pulang ke Belanda, atau pindah ke Israel, Australia, dan Amerika Serikat.
Pada 22 Maret 1953, menurut Nino Oktorino dalam buku Jejak Hitler di Nusantara: Petualangan, Intrik, dan Konspirasi Nazi di Indonesia (2020), sebuah organisasi zionis dibentuk sebagai pengganti perkumpulan kaum Yahudi. Lalu, delapan orang Yahudi yang mewakili komunitasnya di Indonesia sempat mengirim surat kepada kabinet Sukarno, menawarkan jasa mengabdi sebagai penasihat tidak resmi masalah Yahudi bagi Indonesia.
Faisal menulis, pada 1956 Pemda DKI Jakarta mencatat masih banyak kelaurga Yahudi di Jakarta. Dua belas di antaranya memegang paspor Israel, 56 paspor Cekoslowakia, 22 paspor Polandia, dan 38 paspor Rusia.
“Pada 1957 ada sekitar 450 Yahudi di Indonesia, sebagian besar di Jakarta dan Surabaya,” tulis Faisal.
Selepas itu, usai terbit maklumat kebijakan nasionalisasi Sukarno pada 1957, jumlah orang Yahudi di Indonesia menurun drastis. Sekelompok kecil orang Yahudi Irak—karena perawakan, bahasa, dan tampangnya yang mirip orang Arab—kata Nino, masih menetap di Surabaya.
Namun, pada 1960-an, sebut Nino, orang Yahudi Irak mulai menghilang dari Indonesia. Mereka ketakutan ada pembalasan imbas perang Arab-Israel di Timur Tengah, lantas banyak yang pindah ke Israel, Australia, dan Amerika Serikat. Warisan mereka adalah sinagog kecil di Surabaya, yang kemudian ditutup pada 2009 akibat desakan kelompok Islam.