Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri mengungkap alasan dirinya menghentikan 36 perkara di tahap penyelidikan. Menurutnya, langkah tersebut dilakukan demi mewujudkan keadilan dan kepastian hukum.
"Tujuan hukum harus terwujud. Kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Tidak boleh digantung-gantung untuk menakut-nakuti pencari kepastian hukum dan keadilan," kata Firli saat dihubungi wartawan di Jakarta, Jumat (21/2).
Di sisi lain, penghentian itu dilakukan untuk meminimalisasi potensi pemerasan yang dilakukan oleh oknum aparat penegak hukum. Untuk itu, Firli lebih memilih untuk menghentikan sejumlah perkara di tahap penyelidikan.
"Kalau bukan tindak pidana, masa iya tidak dihentikan. Justru kalau tidak dihentikan, maka bisa disalahgunakan untuk pemerasan, dan kepentingan lainnya," ucap Firli.
Pelaksana Tugas Juru Bicara Bidang Penindakan KPK Ali Fikri mengatakan, perkara-perkara yang dihentikan berkaitan dengan dugaan korupsi di BUMN, kementerian, hingga anggota DPR RI. Namun tak jelas perkara apa saja yang telah dihentikan penyelidikannya.
Jauh sebelum itu, KPK sebenarya sudah berencana akan mengevaluasi 366 perkara yang ada di tahap penyelidikan. Hal ini pernah disampaikan pimpinan saat melangsungkan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR RI.
Evaluasi tersebut akan menyimpulkan apakah perkara itu dapat ditindaklanjuti atau tidak. Jumlah perkara itu merupakan data dari 2008 sampai 2020.
Peneliti ICW Wana Alamsyah mengatakan, terdapat 162 perkara yang dihentikan KPK sejak 2016. Dengan demikian, jika dirata-rata, KPK di era kepemimpinan Firli telah menghentikan penyelidikan 18 kasus korupsi.
Jumlah ini jauh lebih besar ketimbang penghentian perkara di masa kepemimpinan Agus Rahardjo, yang rata-rata dua kasus per bulan.
"Tetapi sejak pimpinan baru dilantik pada 20 Desember 2019, sudah ada 36 kasus yang dihentikan. Sekitar 18 kasus per bulan," ujar Wana, dalam keterangan resmi yang diterima Alinea.id, di Jakarta, Jumat (21/2).