FPI rencanakan unjuk rasa di Kedubes China
Front Pembela Islam (FPI) akan menggedor Kedutaan Besar (Kedubes) China untuk Indonesia dalam aksi nasional pada, Jumat (27/12).
Aksi itu, merupakan respons dari tindakan keji yang dianggap dilakukan Pemerintah China kepada umat Islam di Uighur yang dianggap sudah mengkhawatirkan dan tidak bisa ditolerir lagi.
"Berdalih melawan radikalisme, hak asasi manusia (HAM) saudara muslim kita di Uighur dicabik. Hak beribadah, hak ekonomi, hak sosial, hak politik sampai hak budaya dicabut," kata Shabri dalam jumpa pers di Jatinegara, Jakarta Timur, Jumat (20/12).
Dari informasi yang diterimanya, umat Islam Uighur disebut dilarang memiliki dan membaca Alquran. Selain itu, mereka dipaksa mengikuti kamp reedukasi yang sesungguhnya merupakan penahanan semena-mana tanpa proses hukum. Keberadaan kamp reedukasi itu, merupakan laporan lembaga swadaya masyarakat HAM internasional.
Pada aksi yang digelar pekan depan, setidaknya ada dua tuntutan yang dibawa FPI. Pertama, meminta pemerintah Indonesia untuk proaktif dalam membantu dan mengurusi masalah pelanggaran HAM berat yang terjadi di Uighur, China. Kedua, meminta kepada PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) turun tangan untuk menghentikan segala macam bentuk arogan yang terjadi di Uighur Xinjiang, China.
"Dengan adanya pelanggaran HAM seperti itu, sudah seharusnya PBB turun langsung," sambung dia.
Sebelumnya, Duta Besar China untuk Australia Cheng Jingye pada Rabu (18/12) mengatakan, laporan yang menyebutkan bahwa satu juta warga Uighur ditahan di Provinsi Xinjiang merupakan berita palsu.
Front Pembela Islam (FPI) akan menggedor Kedutaan Besar (Kedubes) China untuk Indonesia dalam aksi nasional pada, Jumat (27/12).
Aksi itu, merupakan respons dari tindakan keji yang dianggap dilakukan Pemerintah China kepada umat Islam di Uighur yang dianggap sudah mengkhawatirkan dan tidak bisa ditolerir lagi.
"Berdalih melawan radikalisme, hak asasi manusia (HAM) saudara muslim kita di Uighur dicabik. Hak beribadah, hak ekonomi, hak sosial, hak politik sampai hak budaya dicabut," kata Shabri dalam jumpa pers di Jatinegara, Jakarta Timur, Jumat (20/12).
Dari informasi yang diterimanya, umat Islam Uighur disebut dilarang memiliki dan membaca Alquran. Selain itu, mereka dipaksa mengikuti kamp reedukasi yang sesungguhnya merupakan penahanan semena-mana tanpa proses hukum. Keberadaan kamp reedukasi itu, merupakan laporan lembaga swadaya masyarakat HAM internasional.
Pada aksi yang digelar pekan depan, setidaknya ada dua tuntutan yang dibawa FPI. Pertama, meminta pemerintah Indonesia untuk proaktif dalam membantu dan mengurusi masalah pelanggaran HAM berat yang terjadi di Uighur, China. Kedua, meminta kepada PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) turun tangan untuk menghentikan segala macam bentuk arogan yang terjadi di Uighur Xinjiang, China.
"Dengan adanya pelanggaran HAM seperti itu, sudah seharusnya PBB turun langsung," sambung dia.
Sebelumnya, Duta Besar China untuk Australia Cheng Jingye pada Rabu (18/12) mengatakan, laporan yang menyebutkan bahwa satu juta warga Uighur ditahan di Provinsi Xinjiang merupakan berita palsu.
Respons GUIB Jatim terkait kekerasan di Uighur
Gerakan Umat Islam Bersatu (GUIB) Jawa Timur merespons adanya dugaan kekerasan terhadap muslim Uighur di China. GUIB menilai perlakuan China terhadap penduduk muslim Uighur sudah melewati ambang batas kewajaran karena masuk kategori kekerasan dan kejahatan kemanusiaan,
Sekretaris GUIB Jatim, Mohamad Yunus menegaskan, seharusnya umat Islam sedunia melakukan reaksi terhadap kekerasan yang diduga dilakukan oleh China.
"Sudah semestinya umat islam sedunia melakukan tekanan atas kejahatan negara komunis ini. Kekerasan, indoktrinasi, intimidasi, diskriminasi, penindasan, penyiksaan, pengucilan, penyekapan, dan pelarangan ibadah atas muslim Uighur harus membuka mata dunia," ujar Yunus saat konprensi pers, di kantornya, Jumat (20/12).
GUIB menyayangkan kondisi pemerintah yang memiliki ketergantungan terhadap China sehingga menjadi tak berdaya, takut bereaksi, dan menekan atas kekerasan terhadap penduduk minoritas di negeri Tirai Bambu tersebut. Mengingat secara hegemonik China telah menguasai perekonomian dunia merasa yakin tak akan ada reaksi signifikan terhadap pemerintahannya.
"China telah mampu menciptakan ketergantungan dunia, termasuk dunia Islam," paparnya.
Kondisi psiko-politis ini dimanfaatkan oleh China untuk melakukan kekerasan, intimidasi kepada muslim Uighur. Tindakan tersebut dinilai bertentangan dengan Universal Declaration of Human Rights, karena sudah jelas kebebasan beragama adalah hak azasi manusia yang paling mendasar sebagaimana diatur dalam International Covenant on Social and Political Rights.