Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menerima aduan dari para orang tua murid yang anaknya tidak naik kelas karena proses pembelajaran jarak jauh (PJJ). Misalnya, aduan dari orang tua murid di SMA Negeri 2 Nganjuk, Jawa Timur.
“Ibu NS memiliki anak yang berinisial RVR, duduk di kelas X (IPS) SMA Negeri 2 Nganjuk, Jawa Timur. Beliau mengadukan perihal anaknya yang tak naik kelas akibat proses pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang dilakukan secara diskriminatif oleh oknum guru dan kepala sekolah,” ujar Wakil Sekertaris Jenderal FSGI Satriwan Salim dalam keterangan tertulis, Jumat (17/7).
RVR tidak diberikan ujian PAT (Penilaian Akhir Tahun) susulan. Imbasnya, siswa malang ini memperoleh nilai 0 (kosong) untuk nilai PAT di lima mata pelajaran (Pendidikan Agama, Pendidikan Jasmani, Seni Budaya, Sejarah Indonesia, dan Informatika). Nilai akhir RVR dalam rapor tidak mencapai KKM (Kriteria Ketuntasan Minimum) sebagai prasyarat naik kelas.
RVR tidak bisa mengikuti ujian PAT daring sesuai dengan jadwal yang telah diatur pihak sekolah karena persoalan laptop yang rusak. Namun, saat meminta ujian susulan, gurunya tidak memberikan dengan alasan yang lebih tak masuk akal. Oknum guru RVR berdalih tak memberikan PAT susulan atas perintah kepala sekolah. Padahal, PP No 74/2008 dan PP No. 19/2017 tentang Guru yang telah ditambahkan dalam Permendikbud No 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian, yang berhak dan berwenang memberikan penilaian kepada peserta didik adalah guru, bukan kepala sekolah.
Bahkan, permintaan PAT susulan juga diajukan orang tua murid, tetapi tetap saja tidak diberikan. Bahkan, orang tua murid turut menghadap kepala sekolah. “Anehnya, kepala sekolah pun tidak mau bertemu dengan Ibu siswa tersebut,” ucapnya.
Satriwan menilai, tindakan oknum guru dan kepala sekolah telah melanggar Pasal 5 huruf a, b, dan c Permendikbud No 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian. “Sangat jelas tertulis jika prinsip penilaian oleh pendidik wajib dilakukan secara sahih, objektif, dan adil. Dalam kejadian ini oknum guru dan kepala sekolah telah berlaku tidak adil, diskriminatif, dan tak objektif,” tutur Satriwan.
Guru dan kepala sekolah semestinya berlaku adil dan objektif terkait PJJ yang telah berlangsung lebih dari tiga bulan. Banyak siswa yang terkendala perangkat gawai dan laptop, seperti faktor kerusakan perangkat, keterbatasan kuota, masalah sinyal, hingga hambatan teknis lainnya. “Mestinya sekolah bersikap bijak, tidak bertindak semaunya. Sebab, sekolah adalah entitas pendidikan bukan perusahaan. Kepala sekolah adalah guru yang seharusnya memberi teladan sebagai pemimpin, bukan pemilik perusahaan,” tutur Satriwan.