close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi vaksin. Alinea.id/Oky Diaz
icon caption
Ilustrasi vaksin. Alinea.id/Oky Diaz
Nasional
Rabu, 28 Oktober 2020 17:53

Gaduh AstraZeneca dan "gagap" vaksinasi RI

Pemerintah Indonesia masih mempertimbangkan vaksin AstraZeneca meskipun salah satu relawannya meninggal dalam uji klinis.
swipe

Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto kembali hadir dalam diskusi mingguan yang digelar di Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jakarta, Selasa (27/10). Dipandu Dubes RI untuk Singapura Suryo Pratomo, diskusi umumnya membahas perkembangan tema khusus soal keamanan vaksin Covid-19. 

Dalam diskusi itu, Airlangga hadir bersama Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset Nasional Bambang Brodjonegoro dan Kepala BNPB Doni Monardo. Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah muncul tak lama setelah acara diskusi berlangsung.

Di salah satu sesi, Airlangga memaparkan soal perkembangan uji klinis vaksin di Indonesia. Ia menyebut semua vaksin yang bakal disuntikkan wajib mengantongi izin Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Untuk evaluasi, Airlangga menyebut BPOM juga bakal mendapat laporan uji klinis vaksin dari berbagai negara. 

"Termasuk (uji klinis) di Brasil. Dan BPOM juga akan melakukan kunjungan. Sebagian sudah ke China dikirim tim, kemudian juga G-42 dan juga berangkat kemarin ke UK. Jadi, beberapa lokasi sudah dilihat," kata Airlangga dalam diskusi yang disiarkan di akun YouTube BPNB itu. 

Secara khusus, Airlangga menyinggung Brasil. Negara-negara lain yang juga menggelar uji klinis tak disebut. Kenapa Brasil? Di negara gila sepakbola itu, uji klinis vaksin AstraZeneca memakan korban. Seorang relawan uji klinis dilaporkan meninggal setelah disuntik vaksin yang diproduksi perusahaan farmasi asal Inggris itu. 

September lalu, uji klinis vaksin AstraZeneca di Inggris juga sempat dihentikan setelah salah satu relawannya melaporkan mengalami peradangan syaraf pada sumsum tulang belakang atau myelitis transversal.

Sebagaimana Brasil, Indonesia juga mengincar vaksin AstraZeneca. Pada 15 Oktober lalu, Menlu Retno Marsudi dan Menteri BUMN bahkan terbang ke London untuk bertemu dengan para petinggi AstraZeneca. Usai pertemuan, Retno mengklaim sukses mengamankan 100 juta dosis vaksin untuk Indonesia.  

Relasi antara Brasil, AstraZeneca, perkembangan pengadaan vaksin untuk RI kembali mencuat dalam sesi tanya jawab di diskusi itu. Merespons pertanyaan pewarta, Airlangga menegaskan belum ada keputusan soal pembatalan pembelian vaksin AstraZeneca. 

"Sesuai arahan Bapak Presiden, terhadap vaksin seperti AstraZeneca dan lainnya itu tetap dikaji dan tentunya nanti dilihat sesuai kebutuhan. Dilihat juga kerja samanya seperti apa," kata Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) tersebut. 

Wacana batalnya pembelian vaksin AstraZeneca sebelumnya terlontar dari mulut eks juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19 Ahmad Yurianto dalam wawancara dengan IDNTimes, pekan lalu.  

Yuri, sapaan akrab Yurianto, mengatakan, Indonesia batal membeli vaksin AstraZeneca karena perusahaan farmasi asal Inggris itu tak mau bertanggung jawab jika terjadi kegagalan produksi. Pemerintah juga belum membayar uang muka sebesar US$250 juta atau sekitar Rp3,67 triliun yang jatuh tempo pada 20 Oktober. 

Yuri juga sempat menyebut RI tidak jadi memesan vaksin dari perusahaan farmasi Sinopharm dan CanSino karena beragam pertimbangan. Dengan begitu, pemerintah saat itu baru hanya mengamankan kedatangan 3 juta vaksin dari Sinovac. 

Airlangga membenarkan rencana vaksin Sinovac bakal mendarat di Indonesia pada Desember mendatang. "Akan masuk secara bertahap dan ada yang bahan baku (vaksin Sinovac) yang akan diproduksi di Biofarma sebanyak 15 juta," kata dia. 

Tak lama setelah pernyataannya soal vaksin AstraZeneca, Yuri dicopot dari jabatannya sebagai Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan. Ia kini dirotasi menjadi staf ahli Menkes bidang Teknologi dan Globalisasi. 

Menkes Terawan Agus Putranto menyebut rotasi Yuri hal biasa. Yuri mengamini pernyataan Terawan. "Itu (digeser karena pernyataan soal vaksin) kan persepsi media. Semuanya adalah demi organisasi dan dinamika tugas yang sangat cepat," kata Yuri kepada Alinea.id, Rabu (28/10).  

Anggota Komisi IX DPR Rahmad Handoyo turut angkat suara soal kematian relawan yang ikut uji klinis vaksin AstraZeneca. Menurut dia, kematian relawan itu harus jadi lecutan bagi PT Bio Farma untuk menghasilkan vaksin yang aman.

"Seluruh proses pembuatan vaksin sudah sesuai prosedural dan azas kehati-hatian. Terkait kasus (relawan) yang meninggal itu tentu kita telah evaluasi dan dicari penyebabnya," kata politikus PDI-Perjuangan tersebut.

Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19 Achmad Yurianto menyampaikan keterangan pers di Graha BNPB, Jakarta, Jumat (27/3). Foto Antara/Nova Wahyudi/nz

Maju-mundur vaksinasi 

Belakangan, vaksin dan vaksinasi jadi isu yang sensitif diperdebatkan di ruang publik. Setelah sebelumnya sempat gembar-gembor bakal mempercepat vaksinasi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahkan kini menginstruksikan agar vaksinasi tidak tergesa-tergesa dan harus seizin BPOM. 

"Jangan sampai kita tergesa-gesa ingin vaksinasi sehingga kaidah-kaidah saintifik, data-data sains, standar kesehatan ini dinomorduakan. Jangan timbul persepsi bahwa pemerintah tergesa-gesa tanpa mengikuti koridor ilmiah," kata Jokowi saat membuka rapat terbatas di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (26/10).

Sebelumnya, Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan sempat mengungkapkan rencana vaksinasi tahap awal bakal digelar pada akhir November. Ia mengklaim bakal ada 6,5 juta dosis vaksin yang siap disuntikkan. Selain Sinovac, kandidat vaksin juga berasal dari Cansino dan Sinopharm.

Namun demikian, Luhut merevisi pernyataannya itu setelah ditelepon Jokowi, pekan lalu. Menurut Luhut, vaksinasi juga batal karena BPOM belum mengeluarkan izin penggunaan dalam keadaan darurat atau emergency use authorization (EUA). 

"Barangnya (vaksin) sudah siap. Akan tetapi, ada emergency use authorization itu yang belum bisa dikeluarkan BPOM karena ada aturan-aturan atau step-step yang harus dipatuhi," ujar Luhut seperti dilansir Antara

Head Of Corporate Communication PT Bio Farma Iwan Setiawan mengatakan vaksinasi memang mustahil dilakukan pada November jika menggunakan vaksin Sinovac hasil uji klinis di Indonesia. Pasalnya, EUA baru bakal didaftarkan ke BPOM pada Januari 2021. Tanpa EUA, vaksinasi tidak boleh dilakukan. 

"Karena ada tahapan-tahapan, ada fase yang tidak bisa ditawar-menawar. Jadi, (uji klinis) harus selesai untuk memastikan safety (keamanan) dan efficacy (khasiat)," katanya saat dihubungi Alinea.id, Senin (26/10) lalu.

Saat ini, Biofarma tengah menggelar uji klinis vaksin Sinovac tahap tiga terhadap 1.620 relawan di Bandung, Jawa Barat. Pada tahap ini, sekitar 1.300 relawan kembali mendapat suntikan vaksin yang kedua. Reaksi vaksin akan dipantau hingga Januari 2021. 

"Sampai hari ini terus dimonitoring relawan. Tidak ditemukan efek samping yang berarti atau kejadian ikutan pascaimunisasi (KIPI) yang siginifikan. Boleh dikatakan berhasil, tidak ada efek samping," kata dia. 

Direktur Registrasi Obat BPOM Lucia Rizka Andalusi memaparkan EUA tidak bisa sembarangan dikeluarkan. EUA yang dikeluarkan BPOM harus berdasarkan evaluasi terhadap data mutu dari vaksin dan sesuai standar yang ditetapkan World Health Organization (WHO).

"Dalam evaluasi, Badan POM bekerja sama dengan Komite Nasional Penilai Obat Jadi dan tim ahli dalam bidang vaksin," ujar Lucia dalam sebuah diskusi virtual yang disiarkan di akun YouTube Kemenkominfo, beberapa waktu lalu. 

Lucia merinci syarat-syarat EUA. Pertama, penetapan kondisi darurat oleh pemerintah. Kedua, vaksin telah memiliki data mutu sesuai standar yang berlaku untuk diproduksi di sarana yang memenuhi pedoman cara pembuatan obat yang baik (CPOB). 

Ketiga, vaksin memiliki kemanfaatan yang lebih besar daripada risiko berdasarkan kajian data klinis dan nonklinis. Terakhir, belum ada alternatif pengobatan yang memadai dan disetujui untuk pengobatan penyakit dalam kondisi kedaruratan.

"Saat ini belum ada vaksin yang disetujui untuk Covid-19. Jadi, vaksin Covid-19 (yang sedang dalam proses uji klinis) dapat kita masukkan ke dalam kriteria mendapatkan EUA. Tetapi, EUA bukanlah izin edar," terang Lucia. 

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menghadiri simulasi penyuntikan vaksin di Puskesmas Tapos, Depok, Jawa Barat, Oktober 2020. Foto Instagram @ridwankamil

Kelola polemik vaksinasi

Pakar kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah mengatakan kesimpangsiuaran jadwal vaksinasi kembali menunjukkan pola komunikasi pemerintah yang amburadul. Dia menyebut, pemerintah kadung menggembar-gemborkan vaksinasi saat vaksin sama sekali belum tersedia.

"Di kita sendiri, (Sinovac) baru tahap tiga uji klinis. Vaksinnya sendiri belum ada. Karena belum ada, yang muncul adalah membingungkan publik. Kenapa pemerintah berkoar-koar ngomongin vaksin?" ujar saat dihubungi Alinea.id melalui sambungan telepon, Senin (26/10).

Selain menunggu hasil uji klinis, Trubus menyarankan agar pemerintah mengelola polemik yang muncul terkait vaksinasi di tengah masyarakat semisal soal biaya, aspek keamanan vaksin, dan alur gugatan jika suatu saat hasil vaksin bermasalah.

"Saran saya jangan terburu-buru. Ingat, Pak Presiden (Joko Widodo) sudah mengatakan jangan sampai nasib vaskinasi ini seperti Omnibus Law (Cipta Kerja), demo berjilid-jilid. Karena ini menyangkut nyawa. Jangan sampai nanti vaksin menyebabkan penyakit baru atau kematian," ujar dia. 

Infografik Alinea.id/Dwi Setiawan

Informasi yang simpang siur terkait vaksin sedikit banyak memang memengaruhi persepsi publik. Itu setidaknya tergambar dalam hasil survei yang di digelar Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bersama WHO dan Unicef pada September lalu. 

Dalam survei itu, sebanyak 7,6% responden menolak vaksinasi. Mereka umumnya tidak yakin dengan keamanan (59%) dan khasiat vaksin (43%). Dari total responden, sebanyak 64,81% menjawab setuju divaksinasi dan sebanyak 27,60% belum menentukan pilihan. 

Epidemiolog Universitas Indonesia (UI) Syahrizal Syarif memaklumi munculnya kekhawatiran sebagian kalangan terhadap aspek keamanan vaksin. Namun demikian, menurut dia, sampai saat ini belum ada laporan mengenai efek samping berbahaya dari vaksin yang diuji coba ke manusia. 

"Sampai saat ini, saya belum mendengar side effect (efek samping) dari berbagai uji klinis delapan vaksin yang dilaporkan ke WHO. Jadi, dari aspek keamanan pada dasarnya tidak ada masalah," kata dia kepada Alinea.id. 

Syahrizal sepakat vaksinasi harus digelar seusai uji klinis dan mengantongi izin dari BPOM. "Uji klinis tahap tiga itu (untuk) melaporkan terkait efektivitas vaksin. Udah bagus menunda sampai dapat hasil uji klinis," ujar dia. 

img
Marselinus Gual
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan