close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi pengeras suara di masjid. Alinea.id/Firgie Saputra.
icon caption
Ilustrasi pengeras suara di masjid. Alinea.id/Firgie Saputra.
Nasional
Rabu, 02 Maret 2022 13:03

Gaduh berulang pengeras suara dari rumah Tuhan

Aturan pengeras suara di masjid dan musala sudah ada pada 1978, muncul karena polemik.
swipe

Mengawali tulisannya “Tentang Suara yang Keras Itu” di majalah Tempo edisi 22 Desember 1990 soal pengeras suara dari masjid, penerjemah dan sastrawan Ali Audah mengaku banyak orang yang marah kepadanya kala menulis hal serupa di harian Kami pada 1960-an.

Belakangan, kritik keras menimpa Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas. Selain lantaran pernyataannya yang kurang pas—membandingkan pengeras suara dengan gonggongan anjing tetangga—Yaqut pun dikritik karena menerbitkan Surat Edaran Nomor 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara Masjid dan Musala.

Ali Audah adalah salah seorang tokoh yang menolak penggunaan pengeras suara, yang ramai pro-kontra pada akhir 1960-an dan 1970-an. Ia beralasan, pengeras suara yang berlebihan bisa mengganggu orang yang tengah terbaring sakit.

“Harus tahu waktu dan tempat,” ujar Ali kepada Ekspres, 22 Agustus 1970.

Kontroversi

Seorang penasihat pemerintah Hindia Belanda sekaligus ahli agama Islam, Guillaume Frédéric Pijper, sudah melihat menara masjid yang dipasang pengeras suara untuk mengumandangkan azan pada 1930-an.

“Pijper menyaksikannya. Masjid Agung Surakarta adalah masjid pertama yang dilengkapi pengeras suara,” tulis Kees van Dijk dalam “Perubahan Kontur Masjid” di buku Masa Lalu dalam Masa Kini Arsitektur di Indonesia (2009), yang disunting Peter J.M. Naas.

van Dijk mengatakan, beberapa orang Barat pada masa kolonial tak suka mendengar suara keras azan. Pengeras suara juga dinilai mengganggu estetika sebuah masjid.

Seiring waktu, pengeras suara itu kemudian menjadi bagian penting sebuah masjid. Namun, barangkali pada masa kolonial hanya dipasang di masjid-masjid tertentu. Mayoritas hanya suara muazin, tanpa alat pengeras suara.

Nederlandsch-Indische Radio Omroep Maatschappij (NIROM)—stasiun radio pemerintah kolonial—juga mulai menyiarkan azan magrib pada 1936. Namun, kumandang azan magrib yang diputar lewat piringan hitam itu pun memicu kontroversi karena disiarkan pada waktu yang kurang tepat.

Menara pengeras suara di Masjid Raya Al-Mashun atau Masjid Raya Medan di Jalan Sisingamangaraja, Kota Medan, Sumatera Utara, Minggu (19/12/2021). Alinea.id/Fandy Hutari.

“Pendengar mengeluh, azan disiarkan pada waktu yang salah. Di Jawa Tengah matahari terbenam terjadi lebih lambat daripada di Jawa Timur, dan lebih awal daripada di Bandung,” tulis Philip Bradford Yampolsky dalam disertasinya di University of Washington berjudul Music and Media in the Dutch East Indies: Gramophone Records and Radio in the Late Colonial Era, 1903-1942 (2013).

Pada 1960-an dan 1970-an, pengeras suara banyak digunakan di masjid dan musala. Penggunaan pengeras suara di rumah Tuhan itu tak bisa dilepaskan dari alat pengeras suara merek TOA—produksi TOA Corporation, perusahaan produsen perangkat teknologi komunikasi berpusat di Kobe, Jepang, didirikan pada 1949.

Seorang pengusaha peralatan komunikasi keturunan Tionghoa asal Bangka, Uripto Widjaja, memperkenalkan pengeras suara TOA di Indonesia. Ia punya perusahaan Galva—awalnya bergerak di bidang jasa reparasi barang elektronik. Pada 1960-an, Uripto melirik usaha pemasaran produk perangkat pengeras suara merek TOA, sebagai agen distribusi.

“Pada 1975, Galva membangun pabrik sound system dengan menggandeng TOA,” tulis Jackie Ambadar, Miranty Abidin, dan Yanty Isa dalam buku Usaha yang Cocok untuk Anda (2008).

Jadilah TOA sebagai merek pengeras suara paling banyak dipakai di masjid-masjid Indonesia. Merek itu menempel di benak orang-orang, hingga kerap menyebut pengeras suara dengan TOA masjid.

Penyair dan dramawan WS Rendra ikut-ikutan pula mengomentari suara dari corong masjid.

“Azan sekarang sifatnya sudah duniawi, pakai pengeras suara sehingga tidak merasuk ke sini (hati),” kata Rendra kepada Ekspres, 5 Juli 1970.

Rendra mengatakan, sewaktu berjalan-jalan di perkampungan orang Arab di New York, Amerika Serikat ia tak menyaksikan azan yang disiarkan melalui pengeras suara. Muazin cuma menggemakan azan lewat menara-menara.

“Terasa benar indahnya,” ujar dia.

Wartawan Ekspres pernah mewawancarai beberapa orang tentang seberapa mengganggunya suara-suara dari peralatan elektronik yang dipakai rumah ibadah, dalam artikel “Rumah Tuhan dan Suara Keras” di Ekspres edisi 22 Agustus 1970.

Seorang dokter bernama Sadono yang tinggal di seberang Gereja Katedral, Jakarta, misalnya merasa tak terganggu dengan suara lonceng gereja.

“Kalau suara lebih keras, azan dari (masjid) Istiqlal,” katanya kepada Ekspres.

Beberapa orang mempersoalkan pengeras suara dari masjid. Misalnya, seorang pendeta bernama Manting.

“Bagaimana kalau ada orang yang sakit di sekitar masjid dan meninggal karena suara azan yang terlalu keras,” kata Manting.

Seorang pejabat di Departemen Agama yang menjadi staf bimbingan masyarakat Buddha, Oke Diputhera juga merasa terganggu dengan pengeras suara masjid yang terlampau nyaring. Namun, katanya, hal itu tak hanya terjadi dari masjid.

“Masyarakat Katolik di Mangga Besar pernah mengajukan protes kepada pengurus vihara Buddha di sana karena mereka merasa terganggu oleh suara gembrengan (alat dari logam yang dipukul beramai-ramai) yang dibunyikan dalam vihara,” kata Oke.

Aturan tetap dilanggar

Di Jakarta, pernah ada rumah yang jatuh harganya diduga karena pengurus masjid dekat rumah itu menggunakan pengeras suara sekencang-kencangnya. Hal itu diungkapkan Ketua Koordinator Dakwah Islam DKI Jakarta HAM Fatwa, ketika membuka penataran pengurus masjid se-Jakarta di Balai Kota pada 11 Januari 1977.

“Sebuah masjid di Kebon Jeruk malah mengharamkan penggunaan alat elektronik. Karena tidak ada pada zaman nabi,” katanya, dikutip dari Kompas edisi 12 Januari 1977.

Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, tulis Kompas, pernah pula mengatakan, protes penggunaan pengeras suara berlebihan bukan datang dari penganut agama lain. Namun, dari beberapa duta besar negara Arab.

Pengeras suara di sebuah masjid di Jakarta. Foto Haidar Assegaf/Unsplash.com.

“Di negara mereka, penggunaan pengeras suara hanya untuk azan dan salat saja,” ujar Ali.

“Di Jakarta pengeras suara masjid menyiarkan pembacaan ayat suci bukan langsung dari suara orang, melainkan suara kaset.”

Sebelumnya, Ali pernah menyerukan kepada semua pengurus masjid, musala, dan langgar di Jakarta supaya menggunakan alat pengeras suara tak berlebihan.

“Gubernur menyerukan pula agar para pengurus itu dalam melakukan syiar Islam, seperti ibadat, doa, dan zikir jangan sampai menimbulkan rasa antipati warga sekitarnya dengan alat pengeras suara yang berlebihan,” tulis Kompas, 28 Oktober 1976.

Ia mengingatkan rapatnya antara rumah dengan tempat ibadah, yang menimbulkan warga rentan terganggu. Sebab, menurut Ali, warga memerlukan istirahat yang tenang di rumah mereka.

Setelah terjadi banyak perdebatan terkait pengeras suara dari masjid dan musala, akhirnya Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama mengeluarkan aturan pada 1978, berkepala “Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid & Mushala”. Inilah aturan perdana perihal pengeras suara di masjid dan musala.

Aturan itu ditelurkan usai lokakarya Pembinaan Pengamalan Agama (P2A) Pusat Ditjen Bimas Islam Departemen Agama, yang diadakan pada 28-29 Mei 1978.

Dalam tuntunan itu disebutkan, pemasangan pengeras suara diatur sedemikian rupa, sehingga corong yang ke luar bisa dipisahkan dengan corong ke dalam. Lalu, ada corong yang hanya ditujukan ke dalam ruangan masjid, langgar, dan musala.

Kemudian, corong yang ditujukan ke luar tak terdengar keras ke dalam. Sebaliknya, corong ke dalam tak terdengar ke luar sehingga tak mengganggu orang yang sedang istirahat.

Aturan itu pun menyebut, pemakaian pengeras suara ke luar masjid hanya untuk azan. Sedangkan untuk kegiatan salat dan doa hanya menggunakan pengeras suara ke dalam. Sementara zikir tak perlu pengeras suara karena ibadah yang bersifat individu.

Nyatanya, aturan itu seperti angin lalu. Polemik terus berlanjut.

“Anehnya, dibandingkan dengan waktu itu (tahun 1960-an dan 1970-an), penggunaan suara keras sekarang malah makin menjadi-jadi,” tulis Ali Audah di Tempo, 22 Desember 1990.

Audah menulis, pesawat pengeras suara ke luar dipasang untuk mengumandangkan azan, salat, membaca Al-Qur’an, berzikir, selawat, tarhim, dan ceramah. Menurut Audah, selain lingkungan terganggu, suara itu cukup jauh jangkauannya hingga masuk ke rumah, hotel, dan kantor.

“Yang patut disayangkan lagi, selama ini sering terjadi perlombaan antarmasjid, sekalipun dalam jarak yang berdekatan, sehingga terjadi semacam perang suara di angkasa,” tulis Audah.

Departemen Agama memang sudah membuat petunjuk terkait penggunaan pengeras suara pada 1978. Akan tetapi, menurut Audah, tak ada pengawasan dari aturan itu.

“Akibatnya keadaannya sekarang makin parah,” tulis Audah.

“Sering terjadi ketegangan antara pihak masjid dan masyarakat sekitar. Mereka tidak banyak yang berani menyatakan dengan terus terang.”

Infografik pengeras suara. Alinea.id/Firgie Saputra.

Tulisan Audah itu memancing perdebatan lagi. Salah satunya datang dari Muhammad Hidayat Nur Wahid—yang sembilan tahun kemudian menjadi Presiden PKS (2000-2004). Dalam surat pembaca di Tempo, 2 Februari 1991, Hidayat menganggap tulisan Audah mengesankan suara keras azan merupakan persoalan amat serius.

“Bak miniatur krisis Teluk saja,” tulisnya.

“Barangkali ada yang merasa terganggu dengan suara keras itu, seperti hati nurani calon manipulator, calon pemasang SDSB, atau mungkin juga para pelajar muslim yang bersekoah swasta nonmuslim.”

Pada 2018, Kementerian Agama (Kemenag) menerbitkan Surat Edaran Nomor B.3940/DJ.III/Hk.00.7/08/2018 tentang Pelaksanaan Instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor: KEP/D/101/1978. Kemenag merasa perlu menerbitkan surat edaran tersebut untuk menyosialisasikan kembali aturan pengeras suara di masjid dan musala yang pernah terbit pada 1978.

“Sehubungan banyaknya pertanyaan masyarakat mengenai penggunaan pengeras suara di masjid dan musala,” tulis Dirjen Bimas Islam Kemenag, Muhammadiyah Amin dalam surat edaran tersebut.

Kini, ada yang menilai Surat Edaran Kemenag Nomor 05 Tahun 2022 sebagai usaha membatasi azan. Padahal, jika dicermati yang diatur adalah penggunaan pengeras suara selain untuk azan. Maka, barangkali tepat apa yang diungkapkan putri Abdurrahman Wahid, Alissa Wahid dalam akun Twitter-nya pada Sabtu (26/2) merespons hal itu.

“Indonesia darurat logika bener, nih,” kata Alissa.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan