Gaduh revitalisasi TIM: Isu komersialisasi dan hak seniman
Sabtu malam (7/3) di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat, aktor kelompok Teater Imago dari Medan, Sumatera Utara, Surya Dharma Nasution bermonolog memerankan Arya Kamandanu. Ia tampil necis, dengan kemeja putih dan jas cokelat muda.
Arya Kamandanu adalah tokoh fiktif dalam cerita sandiwara radio legendaris Tutur Tinular—sebuah lakon berlatar belakang sejarah runtuhnya Kerajaan Singhasari hingga berdirinya Majapahit.
Di dalam monolognya itu, Arya Kamandanu digambarkan Surya Dharma sebagai pemimpin yang menyesal akibat menggusur kampung nenek moyangnya untuk dibangun gedung-gedung megah.
“Karena ketidaktahuannya itu, kampung nenek moyangnya tidak dia hargai,” kata Surya ditemui reporter Alinea.id usai pentas monolog di TIM, Jakarta Pusat, Sabtu (7/3).
Monolog itu bertajuk “Pisang Terakhir” karya Rizal Siregar. Rizal seakan ingin menyentil isu aktual revitalisasi TIM, yang saat ini masuk babak moratorium atau penghentian sementara.
“Penggusuran itu sampai sekarang masih ada di mana-mana, bisa penggusuran kantor atau di mana saja,” kata Rizal.
Kepentingan bisnis?
Pentas monolog tersebut merupakan bagian dari rangkaian acara Art Camp yang diadakan Forum Seniman Peduli TIM selama tiga hari, 6-8 Maret 2020. Ada sekitar 60-an seniman yang hadir. Mereka berkumpul didorong keprihatinan nasib pembangunan Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) TIM.
Sejak awal Februari 2020, mereka menggelar sejumlah aksi #SaveTIM. Salah satunya teatrikal diam di Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat, persis di depan kompleks TIM, setiap Jumat. Secara tak langsung, aksi penolakan ini ikut mendorong lahirnya moratorium revitalisasi sejak Rabu (3/3).
Forum Seniman Peduli TIM menolak revitalisasi TIM, dipicu Peraturan Gubernur Nomor 63 Tahun 2019.
Menurut salah seorang pegiat seni di TIM sekaligus Ketua Panitia Pelaksana Musyawarah Masyarakat Kesenian Jakarta (MMKJ) Imam Ma’arif, pergub itu merupakan dasar mandat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan kepada BUMD PT Jakarta Propertindo (Jakpro) untuk menjalankan revitalisasi TIM.
“Pergub itu juga menentukan PT Jakpro melakukan pengelolaan dan perawatan prasarana dan sarana PKJ TIM dalam jangka waktu 28 tahun, sejak 2019,” ujar Imam ditemui di TIM, Jakarta Pusat, Sabtu (7/3).
Imam mengatakan, Anies menginginkan agar pengelolaan program kesenian di TIM tak selalu disubsidi dari gelontoran dana pemerintah daerah. Bila hal itu diterapkan, menurut Imam, biaya sewa gedung pertunjukan akan melambung tinggi.
“Aset fisik kalau dijual mahal, ongkos sewanya akan membuat seniman kesulitan. Maka yang bisa menyewa nantinya hanyalah orang-orang kaya,” ujar Imam.
Hal itu, kata Imam, memberatkan seniman-seniman yang tergabung dalam Forum Seniman Peduli TIM. Kedudukan Jakpro, ujar Imam, berpeluang membuat pengelolaan gedung-gedung yang ada di kompleks TIM menjadi aset komersial.
“Karena penyertaan modal itu kan harus kembali, berarti akan ada upaya balik modal dengan mengembangkan pengelolaan aset bangunan di situ. Jadi, ada mekanisme bisnis di atasnya,” tuturnya.
“Yang ditakutkan adalah TIM menjadi area bisnis.”
Ia memandang, keberadaan PKJ-TIM berbeda dengan lembaga penyelenggara kesenian lainnya. Menurut dia, PKJ-TIM mengembangkan kesenian murni dibandingkan dengan Pasar Seni Ancol atau Ciputra Artpreneur, yang menyajikan kesenian populer dan komersial.
“Atas dasar itulah, para seniman peduli TIM mengajukan tuntutan agar Pergub 63 Tahun 2019 dicabut, menolak keterlibatan Jakpro dalam revitalisasi TIM, dan menolak pembangunan hotel di dalam TIM,” ucapnya.
Salah seorang seniman yang tergabung dalam Forum Seniman Peduli TIM, Ucok Ryan Hutagaol menyebut beberapa nama sastrawan senior yang ikut dalam forum itu, di antaranya Radhar Panca Dahana dan Noorca M. Massardi.
Ia mengatakan, awalnya gerakan menolak revitalisasi TIM hanya dilakukan beberapa orang. Belakangan, menjadi gerakan yang cukup masif.
“Sekarang jadi banyak ‘pahlawan-pahlawan’ kecil. Ternyata dengan begini berhentilah pembangunan TIM,” ucap Ucok di TIM, Jakarta Pusat, Sabtu (7/3).
Ucok, yang sejak 1977 tergabung dalam kelompok Teater Mandiri, mendapat sengatan semangat dari sastrawan dan pendiri Teater Mandiri, Putu Wijaya.
“Saya selalu chattingan dengan Mas Putu. Mas Putu bilang ke saya, ‘lawan, Cok’,” kata Ucok.
Perkara hotel di dalam TIM
Sebagai seorang perwakilan kelompok seniman yang mengundurkan diri dari tim revitalisasi TIM, Arie F. Batubara menolak kawasan komersial di TIM. Menurutnya, bangunan komersial sangat bertentangan dengan hakikat TIM sebagai pusat kesenian yang penting di Jakarta.
“Baik mal, hotel, apartemen, ataupun bioskop di dalam TIM itu bertentangan dengan hakikat TIM sebagai pusat kesenian yang harus tumbuh,” ujarnya saat dihubungi, Minggu (8/3).
Ia juga menyarankan agar revitalisasi TIM mencakup pemetaan kembali ekosistem berkesenian di Jakarta, serta fungsinya sebagai penyokong kesenian di Indonesia. Hal ini, kata dia, membutuhkan peran kelembagaan yang dapat mengelola TIM secara baik melalui orang-orang yang kompeten.
“Dulu, TIM itu bisa menjadi pusat kesenian yang berwibawa karena ada sebuah ekosistem yang mendukungnya, yaitu ada keberpihakan yang jelas dari pemerintah DKI dan Gubernur, juga dukungan pembiayaan kegiatan,” ujarnya.
Pada Juli 2019, Ucok ikut dalam focus group discussion yang diadakan MMKJ. Kegiatan itu diikuti sejumlah seniman. Di dalam forum itu, Ucok ada di kelompok C, yang membahas revitalisasi fisik TIM.
Ia terkejut dan merasa keberatan saat mendengar ada gagasan untuk pembangunan hotel, dalam proyek revitalisasi TIM itu. Ia menuturkan, di dalam desain maket TIM yang dirancang arsitek Andra Matin—pemenang sayembara rancangan revitalisasi TIM pada 2007—tak ada bangunan hotel. Hal ini yang mendasarinya menentang gagasan hotel.
“Dalam bayangan saya, hotel bintang lima itu Hotel Hilton. Lalu seniman seperti saya ada di mana?” kata Ucok.
Menurut penulis Romo RW Martin yang juga tergabung di Forum Seniman Peduli TIM, bangunan hotel ataupun wisma bagi seniman akan cenderung membatasi proses berkesenian dan bertentangan dengan karakter seniman yang sederhana dan bebas.
“Kalau membuat kamar-kamar seperti hotel ataupun wisma yang isinya juga seperti hotel, apakah itu mencitrakan ruang-ruang dengan tradisi Indonesia?” kata dia saat ditemui di TIM, Jakarta Pusat Sabtu (7/3).
“Seniman hanya butuh tempat mereka berkarya, bukan sebuah hunian hotel yang kamarnya bertaraf internasional,” ucap penulis buku kumpulan puisi Wajah-wajah I–IV itu.
Ia menyarankan, sebaiknya ada bangunan bercorak tradisional, seperti rumah adat Papua, Batak, atau Minang di kompleks TIM.
Sementara itu, Pelaksana tugas (Plt) Sekretaris Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Adinda Luthvianti menyanggah keberadaan hotel itu. Ia mengatakan, sejak awal konsep hotel di dalam TIM memang tidak ada.
“Arsitek Andra Matin pun menolak gagasan hotel yang ditawarkan Jakpro kepada Gubernur Anies,” ucap Adinda saat dihubungi, Kamis (5/3).
Konsep layanan umum dan koordinasi antarlembaga
Menanggapi polemik ini, koordinator Masyarakat Advokasi Warisan Budaya (Madya) Jhohanes Marbun menerangkan, memberi kewenangan pengelolaan aset bangunan fisik TIM ke Jakpro rentan menimbulkan masalah.
Alasannya, TIM merupakan layanan publik yang tidak mengutamakan mencari keuntungan. Sedangkan Jakpro mendasarkan aktivitasnya sebagai bisnis. Menurut Jhohanes, sistem yang tepat untuk pengelolaan TIM ialah Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), ketimbang dikelola BUMD.
Jhohanes mengatakan, pengelolaan badan layanan umum dipraktikkan untuk mengelola badan-badan otorita bidang pariwisata dan dana abadi kebudayaan oleh pemerintah pusat.
Konsep BLUD untuk mengelola TIM, kata dia, akan lebih memberikan ruang bagi seniman untuk mengelola kegiatan kesenian. Hal itu, sebut dia, sesuai dengan pedoman atau anggaran dasar DKJ, yang memuat PKJ-TIM sebagai modal awal pengelolaan dan pengembangan kesenian.
Lebih lanjut, ia menjelaskan, ada tiga karakter TIM yang harus dipertahankan dalam pengelolaannya, yakni sebagai etalase, laboratorium, dan oase kesenian.
“Sebagai etalase, TIM menghasilkan karya-karya seni dan seniman terbaik, sedangkan sebagai laboratorium dan oase, TIM adalah tempat menghasilkan karya-karya seni terbaik. Ketiganya menjadi barometer fungsi TIM,” ucapnya saat ditemui di TIM, Jakarta Pusat, Sabtu (7/3).
Jhohanes mengatakan, TIM di masa mendatang mesti juga memerhatikan tiga aspek, yakni kesejarahan, sosiologis-antropologis, dan pendekatan hukum. TIM sebagai pusat kesenian, kata dia, harus dikembalikan pada marwah pengelolaan yang sesuai dengan persetujuan seniman. Hal itu mengacu pada Keputusan Gubernur Nomor Ib.3/2/19/1968 tentang Pembentukan Dewan Kesenian Jakarta.
“Dulunya, dalam menentukan program semua atas dasar persetujuan DKJ. Maka marwah yang dimaksud ialah pengelolaan harus sesuai persetujuan seniman, bukan hanya DKJ,” ucapnya.
Tak hanya itu, dia menekankan, pengelolaan TIM harus mengakomodir pengembangan kreativitas dan independensi para seniman yang menggunakan fasilitas TIM.
Plt. Ketua Komite Teater DKJ Afrizal Malna pun menyindir pembangunan fisik TIM yang berlangsung layaknya tidak didasari gagasan dalam membangun ekosistem kesenian kota. Dia mewanti-wanti, dengan sebuah permisalan.
“Ada seorang suami marah-marah karena mengawini janda, ternyata janda itu masih perawan,” ucap Afrizal saat dihubungi, Senin (9/3).
Dibandingkan dengan negara tetangga Singapura yang kecil, menurut dia, Indonesia kelimpungan atau tak berorientasi jelas dalam merencanakan fungsi seni bagi peradaban negeri.
Hal itu terlihat dari revitalisasi TIM, yang menurut Afrizal lemah dalam koordinasi antarlembaga pengampu kebijakan bidang kebudayaan. Ia berharap, ke depan model pengelolaan TIM harus mencakup kerja-kerja aktif di ranah mekanisme atau sistem kesenian dan organisme, yakni praktik pelaksanaan program kesenian.
“Interdependensi PKJ-TIM dengan lembaga lain, misal Dinas Kebudayaan perlu dikelola lebih baik agar tidak hanya menguntungkan satu golongan,” katanya.
Lebih peduli seniman
Menurut Radhar Panca Dahana, beberapa perwakilan Forum Seniman Peduli TIM sudah bertemu Anies Baswedan pada 3 Maret 2020. Radhar menuturkan, pihaknya sedang menyiapkan tinjauan atas revitalisasi TIM dan usulan konsep yang bisa menjangkau kepentingan para pelaku seni di TIM.
“Kami sedang menunggu apa langkah selanjutnya dari Gubernur,” kata Radhar saat dihubungi, Minggu (8/3).
Sayangnya, Radhar menolak menjelaskan lebih detail apa yang disampaikan kepada Gubernur.
Di sisi lain, Manajer Komunikasi Revitalisasi TIM Yeni Kurnaen mengharapkan dukungan masyarakat luas dalam proses revitalisasi TIM.
“Pembangunan itu penting untuk menghidupkan kembali fungsi TIM sebagai pusat kesenian dan kebudayaan di Jakarta,” kata dia saat dihubungi beberapa waktu lalu.
Sementara itu, Sekretaris Komisi B dari fraksi PDI-P Pandapotan Sinaga mengatakan, Komisi B sudah meminta kepada Jakpro supaya berkomunikasi dan berkoordinasi dengan seluruh seniman yang kompeten terkait revitalisasi.
Akan tetapi, menurut Pandapotan, sejauh ini pihaknya belum menerima laporan dari pihak PT Jakpro. "Minggu depan akan kami panggil PT Jakpro," kata dia saat dihubungi, Senin (9/3).
Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf Macan Effendi mengingatkan agar pihak Pemprov DKI peduli pada seniman, terutama hak seniman mengelola TIM dalam aktivitas kesenian. Ia mengatakan, sebenarnya para seniman yang menyuarakan #SaveTIM tidak menolak revitalisasi TIM.
“Hanya saja ada kegelisahan seniman itu setelah revitalisasi dilakukan,” kata dia saat dihubungi, Senin (9/3).
Ia berharap agar bangunan dan fasilitas lain di TIM tidak menjadi aset yang dikomersialisasi.
“Barangkali kita alpa sejarah, sesuai mandat sejak 1968, TIM dikelola oleh Dewan Kesenian Jakarta. Lalu masih adakah peluang bagi seniman berperan untuk mengelola kegiatan kesenian nanti?” ujarnya.