Indonesia kembali mencatatkan kasus baru gagal ginjal akut progresif atipikal (GGAPA) pada awal Februari 2023. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menerima laporan dua kasus baru gagal ginjal akut dari Dinas Kesehatan di DKI Jakarta.
Dari dua kasus yang dilaporkan, satu pasien dikonfirmasi mengidap gagal ginjal akut. Pasien tersebut merupakan seorang anak berusia 1 tahun, yang dinyatakan meninggal dunia meski sempat mendapatkan perawatan intensif dan terapi fomepizole di RSCM Jakarta.
Menanggapi hal ini, ahli kesehatan masyarakat Hermawan Saputra, menilai kasus gagal ginjal akut kembali terulang akibat belum tuntasnya penyelidikan dan evaluasi pada kasus sebelumnya. Sebelum temuan baru ini, tercatat ada total 324 kasus gagal ginjal akut hingga periode November 2022. Dari jumlah tersebut, 199 pasien di antaranya meninggal dunia.
"Kenapa kasus ini bisa terjadi lagi, jawaban dari kami ya karena belum tuntas penyelidikan dan evaluasi sebelumnya," kata Hermawan dalam agenda diskusi terkait kasus gagal ginjal akut di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (9/2).
Selain itu, Hermawan yang juga merupakan Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) tersebut memandang, setidaknya ada dua permasalahan lain terkait munculnya kasus baru gagal ginjal akut.
Persoalan pertama, kata dia, yakni terkait akuntabilitas lembaga yang berkaitan langsung dengan kasus gagal ginjal akut. Lembaga dimaksud yakni Kementerian Kesehatan serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Namun, Hermawan lebih menyoroti akuntabilitas BPOM. Dalam hal ini, ia menilai BPOM cenderung lemah dalam memberikan keterbukaan akses terhadap informasi kepada publik.
"Jadi problem akuntabilitas itu adalah komunikasi publik yang lemah sekali. Tidak ada yang mewakili kelembagaan untuk menjamin akuntabilitas ini," ujar dia.
Padahal, imbuh Hermawan, BPOM merupakan satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan obat dan makanan, serta kontrol atas produksi hingga distribusi.
Dalam hal ini, BPOM memiliki peran penting dalam rangka pengawasan obat terkait kasus gagal ginjal akut. Terlebih, satu pasien konfirmasi yang dinyatakan meninggal diketahui sempat mengonsumsi obat sirop penurun demam bermerek Praxion.
Kemudian, persoalan kedua yakni terkait regulasi. Hermawan memandang, perlu adanya regulasi yang mengatur terkait keracunan obat-obatan. Pasalnya, ujar Hermawan, pemerintah pernah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) terkait kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan, yakni Permenkes Nomor 2 Tahun 2013.
"Definisi KLB disitu untuk keracunan pangan. Itu hanya beda makna pangan dengan obat, bisakah ada Permenkes tentang keracunan obat, misalnya. Kan tadi obat dengan racun beda-beda tipis, padahal ini juga wilayah yang menjadi tugas pengawasan dan fungsi dari BPOM. Tetapi kan regulasi wilayah Kemenkes dan parlemen, ini harus diperkuat dan dievaluasi di situ," papar Hermawan.
Hermawan berharap kejadian gagal ginjal akut maupun peristiwa serupa lainya tidak kembali terulang. Oleh karenanya, ia mendorong agar pihak-pihak yang berkepentingan segera menuntaskan penyelidikan terkait kasus ini. Setelahnya, kata Hermawan, kesimpulan dari penyebab kasus gagal ginjal akut perlu dibuka dan dikomunikasikan secara luas kepada publik.
"Hak informasi adalah hak publik, dan ini yang harus kita sampaikan dan butuhkan pada lembaga yang berwenang, demi kesehatan dan kesejahteraan anak bangsa," tutur dia.