Kinerja pemerintah dalam kasus gagal ginjal akut disorot. Pangkalnya, negara melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) saling lempar tanggung jawab.
"Kemenkes dan BPOM justru tampak hanya bekerja mencari 'kambing hitam' tanpa sedikit pun bersedia menanggung tanggung jawab, baik secara keperdataan maupun pidana," kata Tegar Putuhena, perwakilan tim advokat kelompok keluarga korban gagal ginjal akut dalam keterangan pers di Tebet, Jakarta Selatan, pada Jumat (18/11).
Berdasarkan catatan tim advokasi, pernah terjadi kasus keracunan zat etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) di berbagai negara pada 1990, seperti Nigeria, Bangladesh, Argentina, hingga Panama. Ironisnya, Kemenkes dan BPOM tampak gagap dalam menghadapi kejadian serupa menyusul adanya lonjakan kasus pada 2022.
"Bahkan, dalam sebuah kesempatan, BPOM justru mencoba lari dari tanggung jawab dan menyatakan ketidaksiapan menghadapi kejadian ini dikarenakan tidak ada standar internasional mengenai pembatasan zat EG-DEG," tuturnya.
Padahal, terang Tegar, pemerintah melalui BPOM memiliki kebijakan dan sistem dalam menjamin proses pembuatan obat oleh industri farmasi berjalan sesuai standar. Selain itu, berwenang melakukan pengamanan atas masuknya zat berbahaya oleh industri farmasi.
"Seharusnya sistem ini mampu mencegah sejak awal mengingat kasus yang sama sudah terjadi sejak puluhan tahun sebelum kasus di Indonesia," ucap Tegar.
Di sisi lain, tim advokasi menyoroti sikap perusahaan farmasi yang seharusnya mengikuti pedoman cara pembuatan obat yang baik (CPOB) dalam memproduksi obat-obatan. Faktanya, justru menggunakan senyawa EG dan DEG dengan kandungan melebihi ambang batas aman.
Menurut tim advokasi, banyak pasien gagal ginjal akut meninggal dunia akibat obat yang diedarkan secara resmi. Ini mengindikasikan adanya masalah serius dalam tata kelola industri farmasi di Indonesia.
"Demi keuntungan bisnis, keselamatan warga terabaikan. Negara dan perusahaan wajib bertanggung jawab atas masalah ini demi terpenuhinya keadilan bagi korban," terang Tegar.
Atas kejadian ini, tim advokasi pun mengajukan gugatan perwakilan kelompok (class action) kepada pemerintah dan swasta ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus). Gugatan ini diajukan sebagai upaya hukum guna mengungkap kesalahan pihak-pihak yang bertanggung jawab atas.
Ada beberapa gugatan yang diajukan, seperti tuntutan pelanggaran hukum dan pertanggungjawaban terhadap lembaga pemerintah, perusahaan farmasi, dan pemasok; meminta BPOM memperbaiki pengawasan CPOB; serta meminta Kemenkes menyatakan kasus ini sebagai kejadian luar biasa (KLB).
Selain itu, mentuntut ganti rugi sekitar Rp2 miliar untuk setiap pasien meninggal dunia dan Rp1 miliar atas setiap pasien yang masih dirawat akibat gagal ginjal akut.
"Kita bersepakat untuk bersama-sama maju dan membuat gugatan ini. Tujuannya, yang paling utama, memberi peringatan supaya tidak main-main dengan nyawa manusia, supaya punya awareness, tidak serampangan, jangan hanya karena cuan," tukas Tegar.