Gagap pengawasan di tengah kematian anak korban gagal ginjal akut
Soliha tak kuasa menahan duka dan sempat pingsan usai mendapatkan kabar dari tim dokter Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat bahwa nyawa putri bungsunya, Azqiara Anindita Nuha yang berusia tiga tahun delapan bulan tak dapat ditolong lagi. Kabar menyedihkan itu ia peroleh pada Minggu (16/10) pagi.
“Kami dikabarkan bahwa anak kami kritis hebat dan mengalami pendarahan jantung. Jam 08.20 WIB anak kami menghembuskan napas terakhir,” ujar Soliha kepada Alinea.id, Senin (24/10).
Ia tak menyangka anak keempatnya yang tak punya riwayat penyakit dalam berat itu, pergi begitu cepat. Melalui pemeriksaan laboratorium Rumah Sakit Umum (RSU) Bunda Aliyah, Depok, Jawa Barat pada Minggu (9/10), Azqiara baru diketahui menderita gagal ginjal akut stadium tiga.
Berita kehilangan
Kisah berawal ketika Azqiara mengalami demam tinggi hingga 40 derajat disertai pilek pada Kamis (6/10). Lalu, Soliha memberikannya obat sirop penurun demam. Kondisi anaknya sempat membaik dan mulai beraktivitas seperti biasa. Akan tetapi, Sabtu (8/10) dini hari, anaknya muntah-muntah.
“Akhirnya pada pagi harinya, saya dan suami membawa anak kami ke klinik terdekat. Kemudian, dokter memberi obat mual, (penurun) panas, pilek, dan oralit,” ujar warga Depok, Jawa Barat itu.
Dokter di klinik pun menyarankan Soliha untuk memberi makan dan minum anaknya agar tak kekurangan cairan.
“Saya ikuti saran dokter,” tuturnya. “Tapi setelah dikasih obat, meski anak saya makan dan minum banyak, ternyata tidak ada perubahan sama sekali. Malah muntahnya semakin banyak dan lemas.”
Pada Minggu (9/10) malam, Soliha membawa anaknya ke instalasi gawat darurat (IGD) RSU Bunda Aliyah. “Satu kesalahan saya, lupa bilang kalau anak saya itu dari awal muntah-muntah sampai ke IGD tidak buang air kecil,” ujar Soliha.
Vonis gagal ginjal akut dari pemeriksaan laboratorium RSU Bunda Aliyah membuat Soliha lemas. “Saya enggak nyangka, anak saya divonis penyakit yang mengerikan,” ucapnya.
Kondisi sang putri tak kunjung membaik, bahkan malah semakin parah. Tim dokter memberi tahu, gagal ginjal akut Azqiara sudah masuk stadium enam. Ia lantas disarankan membawa anaknya ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
“Hari Selasa (11/10) jam dua siang, anak saya dirujuk ke RSCM, langsung ke ruang PICU (pediatric intensive care unit) anak,” ujarnya.
Sayangnya, Azqiara tak menunjukkan tanda-tanda membaik. Organ dalam tubuhnya mulai rusak dan ingatannya berkurang. Kondisinya bertambah memburuk pada Kamis (13/10). Hingga, Soliha harus menerima kenyataan sang putri pergi selama-lamanya menghadap Yang Kuasa pada Minggu (16/10).
“Saya sampai detik ini tidak tahu sama sekali apa sebabnya (anak saya mengalami gagal ginjal akut),” katanya.
Azqiara hanya satu dari ratusan anak-anak yang harus wafat karena penyakit gagal ginjal akut. Hingga Selasa (25/10), Kementerian Kesehtan (Kemenkes) melaporkan, ada 255 kasus gagal ginjal akut di seluruh Indonesia, dengan jumlah 143 anak meninggal dunia.
Berdasarkan temuan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), kandungan kadar dietilen glikol (DEG) dan etilen glikol (EG) yang melebihi ambang batas pada obat sirop yang dikomsumsi anak-anak diduga biang keladi kasus gagal ginjal akut.
Menurut situs web Alodokter, DEG terdiri dari dua molekul etilen glikol yang melekat satu sama lain. DEG banyak digunakan dalam obat sirop untuk mengganti gliserin. Sedangkan EG berwujud cairan tak berwarna, tak berbau, dan punya rasa manis. Zat ini sering digunakan sebagai zat antibeku pada radiator kendaraan dan pelarut pada industri maupun produk rumah tangga. DEG dan EG bisa menyebabkan keracunan bila dikonsumsi melebihi batas aman.
Dari hasil uji BPOM, ada tiga produk obat yang dinyatakan tak aman lantaran mengandung DEG dan EG di atas ambang, yakni Unibebi Cogh Syrup, Unibebi Demam Drop, dan Unibebi Demam Syrup. Ketiganya produksi Universal Pharmaceutical Industries.
Sebelumnya, untuk meningkatkan kewaspadaan dan pencegahan, Kemenkes meminta tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan sementara tak meresepkan obat-obatan dalam bentuk sirop. Kemenkes pun meminta semua apotek sementara tak menjual obat bebas atau bebas terbatas dalam bentuk sirop kepada masyarakat.
Kebijakan itu tentu membuat warga kebingungan. Nurmalasari contohnya. Ia mendatangi tiga apotek di sekitar tempat tinggalnya di Poris, Tangerang, Banten, mencari obat sirop untuk anaknya yang sudah empat hari batuk berdahak.
“Katanya sementara (obat sirop) ditarik gara-gara ada gagal ginjal akut,” ujar perempuan berusia 37 tahun itu, Senin (24/10). “Kalau enggak (obat sirop), anak saya enggak mau minum obat.”
Menurut Suhail, pemilik salah satu apotek di daerah Semanan, Kalideres, Jakarta Barat, sejak kasus gagal ginjal akut meningkat, banyak obat batuk jenis sirop yang ditarik distributor. “Di-recall (ditarik) sama distributor untuk sementara,” katanya, Senin (24/10).
Ketika dikonfirmasi, Kepala BPOM, Penny Lukito mengatakan, saat ini pihaknya sedang berusaha menyeret produsen obat yang memiliki kandungan DEG dan EG melebihi ambang batas aman.
“Sedang berproses penindakan bersama kepolisian,” ujar Penny, Rabu (26/10). “Kami akan menggunakan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.”
Namun, ia belum berani mengungkap perusahaan yang dimaksud. “Jika sudah waktunya, kami jelaskan pada masyarakat,” ucapnya.
Siapa tanggung jawab?
Sementara itu, anggota Komisi IX DPR, Rahmad Handoyo menilai, belum cukup bukti untuk menyimpulkan penyebab gagal ginjal akut pada anak akibat cemaran DEG dan EG. Maka, tak elok bila gegabah menyeret produsen obat ke ranah pidana.
"Baru diteliti sejauh mana zat-zat yang berbahaya itu menjadi faktor utama gagal ginjal akut pada anak," kata Rahmad, Senin (24/10).
Namun, bila hal itu benar, ia meminta pengusutan siapa yang terlibat dalam cemaran DEG dan EG pada obat ini. Termasuk pihak BPOM hingga produsen.
"Menurut saya, mereka harus bertanggung jawab,” ujarnya. “Apakah itu kelalaian atau kesengajaan. Harus bisa dipertanggungjawabkan.”
Kepala bidang Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Masdalina Pane melihat, ada banyak sebab dari kasus gagal ginjal akut pada anak meningkat dalam tiga bulan terakhir.
“Kalau berdasarkan rilis Kemenkes penyebabnya bukan cuma cemaran DEG dan EG. Bahkan dehidrasi pada anak saja bisa menimbulkan gagal ginjal akut,” ujarnya, Senin (24/10).
“Karena cukup banyak anak yang terkena gagal ginjal akut tidak punya riwayat konsumsi parasetamol sirop.”
Guna mengetahui sebab pasti, ia mendorong Kemenkes dan forensik Polri melakukan investigasi terhadap seluruh kasus gagal ginjal akut pada anak, dengan cara melakukan autopsi ginjal korban. Tak hanya pemeriksaan darah dan urine.
Selain itu, kasus gagal ginjal akut pada anak yang meningkat, kata Masdalina, bisa juga terjadi karena semua daerah serempak melaporkan kasus, seiring dengan dugaan cemaran DEG dan ED pada obat yang dianggap pemicu.
"Ini bisa jadi karena over reported,” kata dia.
“Karena ada SE (surat edaran) dari Kemenkes untuk dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota melaporkan kasus gagal ginjal akut pada anak.”
Terlepas dari itu, Masdalina mengingatkan, zat DEG dan EG tetap harus diawasi agar masih dalam kadar ambang batas aman. Ia pun mempertanyakan peran BPOM yang kebobolan mengawasi obat sirop mengandung DEG dan EG berlebih.
"Artinya pengawasan itu tidak banyak dilakukan. Padahal BPOM (itu kepanjangannya) Badan Pengawas Obat dan Makanan,” tuturnya.
“Jadi bukan cuma memberikan izin. Tapi juga melakukan pengawasan sebagai mitigasi.”
Masdalina menjelaskan, sejak dahulu kandungan DEG dan EG sudah diwanti-wanti kalangan ahli kesehatan untuk tidak menjadi bahan campuran pada obat dan makanan. Karena kandungannya cukup berbahaya.
"Sejak 1930 sebenarnya sudah diidentifikasi tidak boleh digunakan untuk makanan,” ujar dia.
“Padahal di Amerika dianggap cukup berbahaya untuk dikonsumsi. Jadi, artinya memang ada cela kosong di BPOM.”
Andai perusahaan farmasi mengubah komposisi kandungan DEG dan EG dari izin awal ke BPOM, menurut dia, jelas itu melanggar. “Kalau mau mengubah komposisi obat, mereka harus mengajukan izin kembali ke BPOM," kata Masdalina.
Polri, kata dia, bisa menelusuri melalui data Kementerian Perdagangan untuk mengetahui perubahan mana yang banyak menggunakan kandungan DEG dan EG di campuran obat dan makanan. "Itu kan industri besar. Dari situ kan ketahuan siapa yang menggunakan,” ucapnya.
Di sisi lain, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi memandang, BPOM harus bertanggung jawab atas beredarnya obat anak yang mengandung DEG dan EG melebihi ambang batas aman.
“Kami mendesak mengusut tuntas kasus tersebut dari hulu hingga hilir, dari pasokan bahan baku obat, proses produksi, hingga pemasarannya,” kata Tulus, Selasa (25/10).
“Kasus masif ini membuktikan bahwa mekanisme pengawasan pada aspek pre market control dan post market control yang dilakukan BPOM tidak efektif.”
Semestinya, kata Tulus, BPOM rutin melakukan pengawasan berkala terhadap produsen obat untuk mencegah terjadinya perubahan komposisi obat, yang memungkinkan zat berbahaya beredar di masyarakat. Bukan tidak mungkin, ujarnya, produsen berani mengubah komposisi obat lantaran pengawasan BPOM lemah.
"Selain itu, (harus ada) pengawasan oleh produsen dalam proses produksinya, sebab proses pembuatan obat mestinya mengacu pada aspek CPOB (cara pembuatan obat yang baik),” katanya.
“Terjadinya cemaran itu juga membuktikan bahwa quality control di internal manajemen produsen obat tidak dilakukan.”
Tulus mengaku siap memfasilitasi keluarga korban yang anak-anaknya terkena gagal ginjal akut untuk melakukan gugatan publik. Sebab, hal itu merupakan mandat dari Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
"Bagi konsumen atau keluarga konsumen (korban) yang akan berinisiatif melakukan class action, silakan mulai melakukan formulasi kerugian yang dialami, baik kerugian materiil dan kerugian imateriil,"ujar Tulus.