Galau dan galabah peternak kecil di tengah wabah PMK
Dunia Arifin seakan runtuh saat tiga sapinya mati lantaran terinfeksi penyakit mulut dan kuku (PMK), akhir Mei lalu. Perasaan sedih membekap hati peternak sapi perah asal Probolinggo, Jawa Timur itu. Karena stres, ia bahkan sempat jatuh sakit.
“Badan sampai meriang. Memang sapi yang kena itu kan sapi kesayangan. Sampai sekarang, ya, saya tetap keingetan. Saya tahu rencana Allah itu indah bagi umatnya,” ucap Arifin saat berbincang dengan Alinea.id, Kamis (16/6).
Menurut Arifin, tragedi yang dia alami berlangsung sangat cepat. Pada mulanya, dari empat sapi perah yang ia punya, hanya satu sapi yang menunjukkan gejala PMK. Tak lama berselang, tiga sapi lainnya turut mengeluarkan lendir dan luka-luka pada bagian mulut.
Di tengah kepanikan, ia sempat berupaya mengobati sapinya dengan rempah-rempah yang diracik sendiri. “Saya juga laporan ke dokter dan dikasih obat. Alhamdulillah, luka mulutnya membaik. Tetapi, sehabis itu (lukanya) pindah ke kaki. Saya kasih cairan kimia gitu,” ungkap Arifin.
Meski rutin mengonsumsi obat, keempat sapi tak kunjung sembuh. Produksi susu mereka pun merosot tajam. Arifin bahkan sempat tidak memerah susu sapi-sapinya selama sepekan.
“(Produksi susu) habis, langsung turun drastis. Saya putar otak untuk cari uang buat belanja (kebutuhan rumah tangga) karena kalau (penghasilan dari) susu itu kan untuk belanja setiap hari,” tutur Arifin.
Sapi jenis simental milik Arifin akhirnya mati. Dari sapinya, Arifin hanya melego daging segar seberat lima kuintal ke tetangganya. Uang yang didapa tak sebanding dengan modal yang telah ia keluarkan untuk memelihara sapi-sapi itu. “Daripada enggak dapat apa-apa," imbuh dia.
Hingga kini, Arifin masih merasakan galabah karena kehilangan sapi-sapi kesayangannya. Seandainya waktu bisa diulang, ia ingin mengasuh kembali ternak-ternaknya itu. “Mungkin sekarang sedang diuji. Ya, sudah. Enggak apa-apalah. Sabar aja. Toh, dari dulu sudah nikmati penghasilan dari sapi," kata dia.
Berbeda nasib dengan Arifin, Usman, peternak sapi potong asal Jagakarsa, Jakarta Selatan, berhasil menyelamatkan 15 sapi yang ia pelihara dari kematian. Saat mendapati sapi-sapinya sakit, pekan lalu, Usman langsung melapor ke Pusat Pelayanan Kesehatan Hewan Dan Peternakan.
“Awalnya, mulutnya berbusa sama kukunya pada copot. Terus, mereka enggak mau makan sama sekali. Saat itu bapak enggak tahu sama sekali kalau ada PMK. Terus lapor ke dokter dan kementerian,” tutur Usman saat ditemui Alinea.id di peternakannya di Jagakarsa, Jakarta Selatan, Kamis (16/6).
Oleh dokter, sapi-sapi milik Usman langsung disuntik vitamin. Ia pun dianjurkan membersihkan kandang ternaknya menggunakan cairan disinfektan tiga kali dalam sehari. Dokter juga memberikan resep jamu yang dipercayai sebagai obat PMK.
“Sama kementerian, melalui dokter hewan, disuruh bikin jamu. Bahan jamunya ada kunyit, sereh, temulawak, lengkuas. Semua dicampur. Setiap hari dikasih ini, dicampur ke pakan atau minumnya. Alhamdulillah, yang sakit sudah sembuh. Kena (PMK) empat hari saja,” jelas Usman.
Meski begitu, Usman masih gundah. Ia khawatir sapi-sapinya bakal kembali kena PMK. Apalagi, belum ada kejelasan kapan sapi-sapinya bakal mendapat vaksin. “Sekarang juga sudah musim kurban. Saya takut kalau ada yang kena lagi malah enggak ada yang beli,” jelas dia.
Berdasarkan data Direktorat Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementerian Pertanian (Kementan), PMK telah menyebar di 19 provinsi dan 199 kabupaten atau kota. Per Sabtu (18/6), setidaknya 184.646 ekor hewan dinyatakan terjangkit PMK. Dari jumlah itu, sebanyak 56.822 ekor sembuh, 1.394 ekor potong bersyarat, 921 ekor mati, dan 125.509 ekor belum sembuh.
Hancurkan ekonomi
Ketua Umum Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) Dedi Setiadi menegaskan wabah PMK terutama paling keras menghantam perekonomian peternak sapi perah. Menurut dia, produksi susu sapi perah yang terkena PMK bisa anjlok hingga 80%. Proses pemulihan juga memakan waktu yang tak sedikit.
“Ini sudah darurat karena memang produksi susu di Jawa Barat dan Jawa Timur itu sudah hilang 30%. Padahal baru dua bulan, ya, kena. Jadi, memang ini penyakit menyerang ekonomi juga sehingga penyakit ini sangat berbahaya,” ujar Dedi, saat dihubungi Alinea.id, Kamis (16/6).
Berbasis data yang ia miliki, Dedi menyebut tingkat kematian sapi perah akibat PMK tergolong tinggi, yakni mencapai 20%. Pada anak sapi, tingkat kematian karena PMK bahkan bisa mencapai 50%. Ia khawatir populasi sapi perah bakal turun drastis setelah wabah PMK mereda.
"Dampak besar dari penyakit itu bisa menghambat kegiatan ekspor, seperti susu, daging, dan produk lain yang berasal dari hewan ternak. Nanti bagaimana recovery-nya? Harus impor kita. Impor kan mahal,” terang Dedi.
Wabah PMK, lanjut Dedi, kini telah memicu fenomena panic selling di kalangan peternak sapi. Fenomena itu sudah dilihat Dedi di sejumlah daerah yang paling parah terkena wabah, seperti di Jawa Timur dan Jawa Barat.
“Ada hewannya yang masih hidup terus dipotong paksa. Ada yang mati terus dipotong paksa juga. Yang membuat kita resah sapi yang dipotong ini harganya murah karena over-supply. Di Jawa Timur itu, harganya ada Rp2,5 juta bahkan ada yang Rp1,5 juta. Mengerikan,” kata dia.
Dedi meminta pemerintah bergerak kilat menangani wabah PMK. Ia terutama berharap vaksinasi hewan ternak bisa dikebut. Di lain sisi, Dedi juga mendorong pemerintah untuk mengulurkan bantuan dana tunai bagi peternak yang terdampak PMK.
“Kemarin, kita sudah sampaikan ke Menteri Koperasi dan UMKM bahwa harus ada relaksasi untuk kredit, baik itu kredit bank maupun kredit LPDB (lembaga pengelola dana bergulir). Karena peternak enggak bisa bayar, harus ada relaksasi. Entah itu penundaan bayar atau apa pun itu,” jelas Dedi.
Ketua Himpunan Peternak Domba Kambing Indonesia (HPDKI) Yudi Guntara Noor menilai wabah PMK merebak lantaran kelalaian pemerintah. Ia menyebut penyakit tersebut bisa masuk ke Indonesia karena pemerintah membuka keran impor ternak dari negara-negara yang belum bebas PMK.
“Berarti kita melonggarkan daripada kehati-hatian, ya. Tetapi pelonggaran itu tidak diikuti dengan mitigasi atau contingency plan-nya. Contoh, saat penyakit ini muncul, ketersediaan vaksin tidak ada,” ujar Yudi saat dihubungi Alinea.id, Kamis (16/8).
Respons pemeritah, kata Yudi, terkesan serampangan dalam menangani wabah PMK. Ia mencontohkan dirilisnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 32 tahun 2022 tentang Hukum dan Panduan Pelaksanaan Ibadah Kurban Saat Kondisi Wabah PMK.
“Fatwa MUI kan masih memperbolehkan hewan ternak yang terinfeksi PMK tidak parah itu tetap dipotong. Padahal, itu punya potensi menularkan terhadap ternak lain yang sehat. Fatwa itu untuk memitigasi masalah lain seperti sosial-ekonominya karena jika dihentikan pasti akan bermasalah,” jelas dia.
Keberadaan fatwa itu, lanjut Yudi, bakal mendorong para peternak menjual ternaknya. Padahal, ternak-ternak seharusnya diisolasi di dalam kandang selama wabah PMK masih merebak. Transaksi ternak seharusnya tidak diperbolehkan.
“Masalahnya itu tidak ada ganti rugi. Kalau ada ganti ruginya, mungkin peternak akan menahan hewannya di kandang saja dan dimusnahkan. Kan peternak dibayar sama pemerintah,” ucap Wakil Ketua Komite Tetap Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Bidang Peternakan itu.
Tanpa keterlibatan semua pemangku kepentingan, Yudi pesimistis wabah bisa segera mereda. Secara khusus, ia menyebut pemerintah bakal kesulitan mengadakan vaksin untuk memutus mata rantai penularan PMK. Pasalnya, selama Indonesia bukan negara pelanggan vaksin PMK.
"Kalau secara khusus memesan vaksin, kita harus nunggu tiga bulan. Sebulan saja, kita sudah seperti ini (lonjakan kasus PMK), Bayangkan kalau tiga bulan harus nunggu. Perlu waktu, perlu koordinasi antarpemerintah karena infrastruktur regulasinya juga tidak ada untuk penyakit ini," terang dia.
Vaksinasi bertahap
Dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi IV DPR di Gedung DPR, Senayak, Jakarta, Senin (13/6) lalu, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementerian Pertanian (Kementan) Nasrullah mengatakan butuh anggaran sekitar Rp100 miliar untuk mengadakan 2,2 juta dosis vaksin PMK.
Saat ini, Kementan baru bisa mengimpor 800 ribu dosis vaksin. Ampul-ampul vaksin telah didistribusikan ke sejumlah daerah. Adapun realokasi mata anggaran eksternal sebesar Rp100 miliar, kata Nasrullah, belum mendapat persetujuan dari Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan. “Yang Rp100 miliar belum,” kata dia.
Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementan Kuntoro Boga Andri mengatakan pemerintah telah mengagendakan imunisasi jutaan ternak. Target utama vaksinasi ialah ternak di zona merah dan zona kuning wabah PMK. Setiap hewan yang sehat akan mendapat jatah dua kali penyuntikan.
"Dan, seperti halnya pada Covid-19, vaksin ketiga dapat diberikan sebagai booster pada tahun berikutnya untuk menjaga level imunitasnya baik dan aman," kata Kuntoro saat dihubungi Alinea.id di Jakarta, Jumat (17/6).
Untuk membeli 3 juta dosis vaksin, Kementan butuh setidaknya Rp180,78 miliar. Dana sebesar itu, saat ini tengah diupayakan melakui skema recofusing anggaran di Kementan, semisal memotek anggaran Dirjen PKH sebesar Rp80,78 miliar, dari Sekretaris Jenderal Kementan sebesar Rp13 miliar dan dari Ditjen Tanam Pangan Kementan sebesar Rp20 miliar.
Kementan, lanjut Kuntoro, juga tengah berupaya mendapatkan anggaran vaksin dari skema hibah atau bantuan dari luar negeri. Ia berharap industri peternakan atau swasta juga turut serta membantu penanggulangan wabah PMK dengan menggelar vaksinasi mandiri.
"Tentu pemerintah mempunyai keterbatasan anggaran, sehingga opsi pengadaan vaksin oleh pihak lain dipersilakan. Tentu tetap melalui prosedur dan rekomendasi komisi obat hewan yang ada di Kementan supaya mutu dan keamanan vaksin terjaga," kata dia.
Vaksinasi PMK perdana telah digelar di Sidoarjo, Jawa Timur, Selasa (14/6). Namun demikian, dosis vaksin telah didistribusikan ke sejumlah koperasi unit desa (KUD) sapi perah di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat, Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak Baturaden, Balai Embrio Transfer Cipelang, Balai Inseminasi Buatan Lembang, dan Balai Inseminasi Buatan Singosari.
Terkait rencana vaksinasi, Yudi berharap pemerintah memprioritaskan sapi perah sebagai penerima vaksin tahap awal. "Selanjutnya ke sapi potong dan domba atau kambing,” ucap dia.