Mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Ekuin) Kwik Kian Gie telah memberikan kesaksianya kepada tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ihwal perkara megakorupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Dari Kwik, tim penyidik KPK mendalami peran tersangka konglomerat suami-istri Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim untuk memperkuat bukti dugaan korupsi dalam penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI untuk obligor Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, pihaknya akan mencermati beberapa hal yang menjadi fokus untuk menindak tersangka bos PT Gajah Tunggal Tbk. (GJTL) itu dari keterangan eks Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK).
"Misalnya seperti pembentukan dan hubungan kerja KKSK dengan BPPN, aset dan sisa utang BDNI, hasil laporan audit dari kantor akuntan mengenai kondisi utang petambak, tanggung jawab unsustainable debt pada Sjamsul Nursalim, dan informasi lain yang relevan," kata Febri, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (11/7).
Lebih lanjut, Febri menyebutkan, sebanyak 26 saksi telah dimintai keterangan oleh tim penyidik komisi antirasuah. Saksi tersebut terdiri dari berbagai unsur, mulai dari pihak Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), KKSK, mantan menteri, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), hingga unsur swasta.
"Pemeriksaan sejumlah saksi masih akan terus dilakukan dalam penanganan perkara BLBI ini. KPK fokus pada perbuatan yang dilakukan oleh tersangka SJN dan ITN serta unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain dalam perkara ini," ujar Febri.
Dalam perkara ini, Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim diduga telah melakukan misrepresentasi terkait dengan piutang petani petambak sebesar Rp4,8 triliun. Misrepresentasi tersebut mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun. Pasalnya, saat dilakukan Financial Due Dilligence (FDD) dan Legal Due Dilligence (LDD) disimpulkan bahwa aset tersebut tergolong macet dan hanya memiliki hak tagih sebesar Rp220 miliar.
Atas perbuatan tersebut, SJN dan ITN disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.