Gamang peneliti dalam "kawin paksa" BRIN-lembaga riset
Sejak proses integrasi lembaga riset kementerian dan Badan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bergulir, Risna--bukan nama sebenarnya--gamang. Peneliti yang sudah tiga belas tahun bekerja di bawah naungan Badan Riset dan Sumber Daya Manusia (BRSDM) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) itu berulang kali berganti pilihan.
Mulanya, Risna sempat memutuskan untuk pindah ke badan riset pimpinan Laksana Tri Handoko tersebut. Dengan begitu, ia berharap bisa tetap menjadi peneliti fungsional. Pasalnya, unit-unit penelitian di BRSDM KKP direncanakan bubar usai proses integrasi dengan BRIN rampung.
“Sebenarnya sih, kalau harus pindah (dari KKP) karena tidak ada pilihan lain, saya agak sedih juga,” tutur Risna saat berbincang dengan Alinea.id, Jumat (28/1).
Dalam proses integrasi, BRIN memang diberi kewenangan untuk mengakuisisi aset dan periset yang bertugas di lembaga litbang kementerian dan lembaga. Itu tecermin dalam bunyi Pasal 4 huruf d Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 78 tahun 2021 tentang BRIN.
Menurut Risna, ia dan para peneliti di BRSDM KKP diberi tiga opsi oleh BRIN. Pertama, beralih menjadi peneliti di BRIN. Kedua, bertahan di instasi lama, tapi tidak lagi menjadi peneliti. Terakhir, dimutasi ke instasi lain.
Risna sempat mencoba peruntungan di opsi terakhir. Sebagai anak asli ibu kota, Risna mencoba melamar pekerjaan di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi DKI Jakarta. Lewat pesan singkat via media sosial, ia sempat mengutarakan niatnya bergabung ke Nasruddin Djoko Surjono, Kepala Bappeda DKI Jakarta.
Risna mengungkapkan Nasruddin menyarankan agar dia berkirim surat secara resmi ke Bappeda. "Setelah mendapat respons, saya langsung mengutarakan maksud saya untuk mutasi ke atasan (di KKP). Katanya, ‘Silakan kalau mau (pindah)'. Memang diberikan tiga opsi itu,” ucap Risna.
Namun, rencana Risna pindah kerja ke Bappeda DKI Jakarta buyar. Surat mutasi Risna tak kunjung diteken oleh atasannya. Bos Risna beralasan masih menunggu kepastian mekanisme peralihan BRIN. Seiring waktu, Risna pasrah dan mulai membulatkan tekad untuk beralih menjadi peneliti BRIN.
Oktober lalu, rencana pindah kerja ke BRIN itu ia urungkan. Karena sempat sakit-sakitan hingga harus dioperasi, Risna berpikir tak mungkin memaksa untuk pindah kerja. Ia pesimistis bisa memenuhi capaian keluaran kinerja minimal (KKM) yang dipatok BRIN, yakni merilis hasil sebuah riset di jurnal internasional.
“Biar saya enggak terbebani beban kerja yang menyerang psikis dan pikiran karena harus menyiapkan proposal untuk mendapat dana riset dan lain hal, akhirnya saya memutuskan untuk bertahan di KKP. Memang sebagian besar peneliti saat itu memutuskan untuk bertahan di KKP karena KKM itu," tutur dia.
Belakangan, Risna kembali gamang. Pasalnya, ia khawatir tak akan mendapat tempat jika bertahan di KKP. Ia mendengar kabar para peneliti fungsional seperti Risna bakal dialihkan posisinya ke jabatan fungsional tertentu (JFT).
“Dilematis juga. Jadi, sedih sih sebetulnya. Kita dari nol lagi (kalau bertahan di KKP). Jadi, kami (para peneliti yang) sudah usia empat puluhan, bahkan sudah mau umur lima puluh tahun, seperti harus melamar kerja baru lagi,” imbuhnya.
Di tengah kegamangan itu, Risna mulai mencari tahu posisi JFT yang lowong di KKP dan seluk-beluk tugas JFT. Berbasis informasi yang ia dapat dari rekan-rekan kerjanya, ia menyimpulkan pemegang JFT rawan ditempatkan di luar daerah.
"Itu yang bikin saya khawatir. Katanya, jabatan fungsional ingin (ditempatkan) di banyak daerah. Ya, mungkin saya mendapat informasi enggak utuh, ya. Terus saya konsultasi lagi ke kepala kantor dan saya mengubah pilihan saya awal minggu ini untuk bergabung kembali dengan BRIN,” ucap Risna.
Risna tak sepenuhnya lega dengan pilihannya tersebut. Ia masih merasa berat meninggalkan sejawatnya di KKP yang telah ia kenal belasan tahun. "Kegalauan saya itu masih ada. Mereka (peneliti) yang bertahan di kementerian itu juga sampai sekarang masih galau," imbuh dia.
Kepala BRSDM KKP Kusdiantoro membenarkan banyak anak buahnya yang galau menghadapi proses integrasi BRIN. Itu salah satunya disebabkan karena kesimpangsiuran informasi yang disampaikan BRIN dalam beragam sosialisasi.
"Dulu, misalnya, hanya yang dari BRSDM yang harus pindah. Ternyata sekarang, semua harus pindah, termasuk perekayasa. Kedua, dulu mau terima semua pegawai. Bukan hanya JF (jabatan fungsional), tapi administrasi, pegawai kontrak, diangkut semua. Ternyata, enggak jadi. Itu yang bikin gamang," kata Kusdiantoro saat berbincang dengan Alinea.id di kantornya di Jakarta Pusat, belum lama ini.
Termasuk yang berada di bawah naungan BRSDM, total ada sekitar 1.100 peneliti dan perekayasa yang tersebar di berbagai direktorat jenderal di KKP. Dari angka itu, menurut Kusdiantoro, yang memutuskan pindah ke BRIN kurang dari 50%.
Khusus untuk mereka yang bertahan, Kusdiantoro, membenarkan akan terjadi alih fungsi tugas-tugas peneliti. "Semisal jadi analis kebijakan. Tapi, kita berharap yang sudah pindah ke BRIN bisa jadi lebih baik. Kalau jadi terpuruk, ya sayang aja," kata dia.
Tak terwadahi
Kegalauan serupa juga dirasakan para peneliti Kementerian Pertanian (Kementan) yang telah memutuskan bergabung dengan BRIN. Salah satunya ialah Prama Yufdy, peneliti utama di Puslitbang Holtikultura Kementan.
Seperti di KKP, menurut Prama, para peneliti Kementan juga diberikan opsi untuk bertahan di instansi lama. Peneliti yang bertahan akan dialihkan ke jabatan fungsional, seperti penyuluh dan analis kebijakan.
“Cuma yang jadi tanda tanya saat itu, kalau semua (peneliti) pindah menjadi perekayasa, formasinya ada enggak? Pimpinan tidak menjelaskan, ada atau tidak formasinya,” terang Prama saat berbincang secara virtual dengan Alinea.id, Kamis (27/1).
Dari total sekitar 1.500 peneliti, tercatat ada 1.183 peneliti yang telah memutuskan bakal bergabung dengan BRIN. Bagi yang bertahan, Kementan tengah mempersiapkan institusi baru yakni Badan Pengelola Sistem Pertanian (BPSP). Menurut Prama, sebagian besar peneliti bergabung dengan BRIN lantaran ingin tetap menekuni kegiatan riset.
“Saya memilih BRIN karena passion saya memang sebagai peneliti dan umur yang sudah tidak memungkinkan saya memilih jabatan fungsional lain. Peneliti yang memilih pindah ke BRIN dasarnya adalah memang passion mereka peneliti dan sebagian karena tidak adanya kepastian terbentuknya badan baru sebagai pengganti Balitbangtan serta ketidakjelasan tersedianya formasi pada jabatan fungsional lain,” imbuhnya.
Faktor lainnya ialah usia. Prama, misalnya, kini genap berusia 62 tahun. “Saya tidak ada pilihan lain, harus pindah. Kalau tetap jadi peneliti, harus ke BRIN. Masalahnya, kalau saya tetap di Kementan, harus pensiun. Sebenarnya, dari hati kecil ingin tetap di Kementan,” tutur dia.
Dengan beralih ke BRIN, secara otomatis jabatan periset tetap melekat pada Prama. Ia masih punya masa pengabdian hingga usia 70 tahun. Seperti Risna, Prama mengaku khawatir kepakarannya bakal tak terpakai jika ia harus bertahan di Kementan.
“Kalau pindah ke perekayasa atau fungsional lain, kan, harus mulai dari awal lagi. Sementara di depan mata saya, jabatan peneliti ini sudah tidak ada lagi. Itu yang membuat saya memutuskan, ya, sudah saya pindah ke BRIN,” tutur Prama.
Prama juga masih bingung dengan KKM yang ditetapkan BRIN. Menurut dia, KKM peneliti BRIN serupa dengan yang ditetapkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) saat masih dipimpin Laksana Tri Handoko, yakni menerbitkan setidaknya satu publikasi di jurnal internasional.
Ia berpendapat ukuran kinerja itu tidak tepat jika diterapkan kepada peneliti-peneliti asal kementerian dan lembaga. Di Kementan, misalnya, hasil riset litbang lazimnya digunakan untuk memberikan rekomendasi bagi menteri dalam mengeluarkan kebijakan. Tak ada kewajiban untuk mencatatkan nama di jurnal internasional.
“Semua kami (periset litbang) menghadapi dilema yang sama. Itu tadi, pola penelitian yang dilakukan di BRIN seperti mengadopsi pola LIPI. Nah, itu kita harapkan BRIN bisa adopsi pola kerja yang sudah kita lakukan selama ini,” terangnya.
Senada, Kepala Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian Kementan, Erizal Jamal mengatakan pola dan orientasi riset di BRIN lebih condong seperti LPNK riset, terkhusus LIPI. Adapun baromoter utamanya harus menghasilkan publikasi jurnal internasional.
Menurutnya, gaya riset tersebut berbeda dengan penelitian litbang di kementerian yang berorientasi untuk menyelesaikan masalah. Hasil akhir riset juga diperuntukkan sebagai rekomendasi kebijakan.
Orientasi riset di BRIN yang lebih mengembangkan pengetahuan, kata Erizal, bakal menyulitkan kementerian dan lembaga yang selama ini basis kebijakannya adalah riset, seperti Kementan.
Karena itu, Erizal menilai wajar bila ada kelompok penolak dari Kementan. Apalagi, bila hasil riset BRIN tidak terkait upaya-upaya langsung untuk mendukung program pembangunan pertanian.
“Di BRIN itu, nuansanya LIPI banget dengan orientasi riset pada international publication. Sementara kita di litbang kementerian itu, lebih pada problem solving yang dialami petani. Beda,” tutur Erizal, saat berbincang secara virtual dengan Alinea.id, Kamis (27/1).
Penolakan terkait orientasi riset itu, lanjut Erizal, sempat ia tumpahkan dalam pertemuan dengan salah satu organisasi riset (OR) BRIN pada Rabu (26/1).
“Saya sempat gugat tentang orientasi utama riset harus publikasi di jurnal internasional ini, teman-teman di BRIN menyatakan keberadaan BRIN untuk pengembangan keilmuan dan pengetahuan, sehingga jurnal internasional itu jadi utama, atau istilah teman-teman ekasila dari orientasi riset,” tuturnya.
Erizal juga mempersoalkan terbatasnya pusat riset yang bakal dinaungi Organisasi Riset (OR) Pertanian BRIN. Menurut dia, akan ada enam pusat riset yang dibawahi OR Pertanian BRIN. Tiga di antaranya untuk mengakomodasi kepakaran periset Kementan, dua untuk LIPI, dan satu untuk periset eks BPPT.
Untuk peneliti Kementan, menurut dia, saat ini telah dibentuk pusat riset holtikultura, pusat riset perkebunan, dan pusat riset tanaman pangan. Jenis pusat riset itu tak sepenuhnya mewadahi ragam kepakaran para peneliti Kementan.
"Periset yang berasal dari Balitbang Kementan merasa kesulitan karena beberapa bidang keahlian dan minat tidak terlihat ada rumahnya. Menurut informasi dari BRIN, pembentukan Organisasi riset dan pusat riset itu sudah final. Itu juga yang membuat resah sebagian peneliti yang akan pindah ke BRIN,” terang dia.
Erizal adalah profesor riset di bidang ekonomi pertanian. Meskipun belum menentukan akan bergabung di pusat riset apa, dia memilih berpindah ke BRIN. Jika bertahan di tempat lama, ia harus pindah fungsional lain yang non-penelitian.
"Itu berarti saya harus uji kompetensi lagi dan belajar bidang baru lagi. Selain itu, karena gelar profesor riset hanya ada di peneliti, maka kalau saya pindah ke fungsional lain otomatis profesor riset dicabut," kata pria yang punya waktu mengabdi hingga usia 70 tahun itu.
Terlunta-lunta?
Kepada Alinea.id, seorang eks perekayasa BPPT membenarkan kemungkinan kepakaran para peneliti dan perekayasa tak terwadahi di pusat-pusat riset BRIN. Pasalnya, banyak pusat riset dan balai penelitian di BPPT yang tidak masuk dalam daftar pusat-pusat riset baru yang dibentuk BRIN.
"Misalnya, Pusat Teknologi Industri Pertahanan dan Keamanan (PTIPK), Pusat Teknologi Rekayasa Industri Maritim (PRIM), Balai Besar Teknologi Aerodinamika, Aeroelastika dan Aeroakustika, itu enggak ada. Tetapi, ini kan belum muncul secara resmi. Kita masih menunggu,” ucap pria yang enggan disebut identitasnya itu, Sabtu (29/1).
Meski sudah berseragam BRIN sejak sebulan lalu, sang perekayasa hingga kini masih belum memilih bergabung ke salah satu pusat riset yang telah dibentuk BRIN. Ia khawatir kepakarannya di bidang industri pertahanan dan keamanan yang ia dalami sejak 2016 tak terpakai jika salah memilih satuan kerja.
“Saya juga bingung, ya, artinya nanti harus memilih yang ada. Paling nanti saya memilih yang paling dekat (bidang kelimuwan dengan pusat riset) aja dan juga paling dekat lokasi kerjanya dari rumah," kata sumber Alinea.id di BRIN itu.
Selain soal terbatasnya pilihan pusat riset, ia juga mempersoalkan mekanisme kerja para peneliti dan perekayasa yang belum terbentuk di BRIN. Menurut dia, banyak peneliti dan perekayasa yang terlunta-lunta karena belum mendapat "tugas resmi" dari BRIN.
"Sampai akhir Januari, belum (menjadi pegawai) definitif. Proses bisnisnya juga belum jelas, programnya juga belum jelas, nanti target kinerja 2022 juga belum jelas. Yang penting itu kan programnya. Mau di unit apa saja, kalau programnya belum jelas, ya, susah," kata dia.
Hingga pertengahan Januari 2022, tercatat sudah ada 33 eks LPNK dan lembaga riset K/L yang bergabung dengan BRIN. Enam balitbang kementerian masih belum dilebur, yakni "milik" KKP, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KKLH), Kementerian Kesehatan (Kemkes), Kementerian Perindustrian (Kemenperin), serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Kepala BRIN Laksana Tri Handoko menegaskan proses integrasi BRIN dan semua litbang K/L harus rampung pada akhir Januari 2021. Itu sesuai kesepakatan BRIN dengan Presiden Joko Widodo dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo.
"Kalau mutasi-mutasi reguler, yah, mungkin masih ada," ujar Handoko di sela-sela kunjungannya di Sentra Percontohan Pengolahan Mineral Puslitbang Tekmira Kementerian ESDM di Cipatat, Bandung Barat, Jawa Barat, Kamis (27/1).
Handoko mengakui banyak peneliti dan periset yang gamang saat menghadapi proses integrasi yang terbilang kilat. Namun, ia menegaskan integrasi litbang K/L dan BRIN merupakan upaya krusial dalam memperkuat atmosfer riset di Indonesia. “Saya pastikan memang tujuan dan niatnya itu baik,” kata dia.