Anggota Komisi VIII DPR, Bukhori, menyayangkan pelibatan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam program sertifkasi penceramah yang diinisiasi Kementerian Agama (Kemenag). Alasannya, berpotensi menimbulkan stigma negatif terhadap para pendakwah.
"Pelibatan BNPT menimbulkan kesan seolah para penceramah ini membawa bibit radikalisme dan berpotensi menimbulkan stigma negatif kepada para dai/penceramah," katanya dalam keterangan resminya, Selasa (8/9).
Menurutnya, terminologi radikalisme dan radikal perlu diluruskan. Dalam pandangannya, radikalisme merupakan tindakan yang bermuara kepada pembubaran negara atau merebut kekuasaan atau kepemimpinan yang sah.
Sedangkan radikal, kata Bukhori, berkaitan dengan diskursus akademik, kemampuan memikirkan sesuatu sampai ke akarnya sehingga menghasilkan pengetahuan yang kuat dan pemahaman mendalam.
"Alhasil, apabila orang yang berpikir radikal dianggap sebagai kelompok yang bertentangan dengan bangsa dan negara, bahkan dinilai intoleran. Maka, ada yang salah dengan cara berpikir negara," paparnya.
Kemenag segera menyelenggarakan program sertifikasi untuk penceramah. Sejumlah instansi dilibatkan, yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI), BNPT, Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP), dan beberapa ormas keagamaan.
Program ini diklaim untuk meningkatkan kompetensi penceramah yang berwawasan agama mendalam serta berlandaskan komitmen falsafah kebangsaan. Namun, disebut tidak bersifat wajib dan mengikat.
Sebesar 8.200 penceramah dari seluruh agama yang diakui ditargetkan mengikuti program tersebut pada 2020. Sebanyak 8.000 di antaranya berasal dari 34 provinsi dan sisanya dari pusat.