Keluarga korban kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 sampai saat ini terus meminta ganti rugi terhadap manajemen maskapai penerbangan Lion Air. Namun, proses ganti rugi dinilai berbelit-belit meski seluruh dokumen yang diperlukan sudah lengkap. Karena itu, pemerintah diminta menutup Lion Air jika tak kunjung memberikan ganti rugi tersebut.
Kuasa Hukum korban kecelakaan Lion Air JT-610, Denny Kalimang, mengatakan pihaknya meminta pemerintah menutup maskapai Lion Air. Pasalnya, pihak Lion Air terus berkilah dan mempersulit pembayaran kompensasi untuk keluarga korban Lion Air. Padahal, seharusnya pembayaran ganti rugi untuk korban wajib diselesaikan tanpa syarat apapun.
"Kalau tidak (membayar ganti rugi) kami minta pemerintah tegas saja terhadap Lion Air. Kalau perlu ditutup saja," kata Denny Kailimang di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (8/4).
Denny mengungkapkan, dirinya bersama kuasa hukum korban Lion Air sempat beberapa kali menemui Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi untuk mendiskusikan ganti rugi korban Lion Air. Bahkan, dia juga telah memberikan penjelasan kepada Presiden Jokowi agar dapat turun tangan membantu menyelesaikan masalah pembayaran kompensasi tersebut.
“Pihak keluarga korban kecelakaang pesawat Lion Air JT-610 sudah sengsara menanti pemenuhan haknya. Kami berharap presiden turun tangan, jangan sampai rakyat dipermainkan,” ucap Denny.
Sementara Merdian Agustin, salah satu keluarga korban kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 atas nama Eka Suganda, mengaku kesulitan untuk mengurus ganti rugi kecelakaan tersebut. Sebelum kasus ini ditangani oleh kuasa hukumnya, lebih kurang empat bulan dirinya berjuang sendiri untuk memperoleh haknya itu.
Merdian menuturkan sempat bolak-balik mengurus semua dokumen untuk menuntut haknya. Namun ironis saat semua berkas sudah dilengkapi, dia dimita menandatangani release and discharge sebagai syarat memperoleh ganti rugi.
Adapun Release and Discharge itu merupakan dokumen yang mewajibkan bagi keluarga dan ahli waris untuk melepaskan hak menuntut kepada pihak-pihak yang dianggap bertanggung jawab atas kecelakaan itu.
Padahal Pasal 3 huruf a Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77/2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara menyebutkan, penumpang yang meninggal dunia akibat kecelakaan pesawat udara diberikan ganti rugi sebesar Rp1,25 miliar. Hak atas ganti rugi ini dipertegas dengan Pasal 23 yang menyatakan besaran kerugian tidak menutup kesempatan bagi ahli waris menuntut ke pengadilan.
"Ya, saya merasa terintimidasi dengan perlakuan itu. Kan itu hak bagi korban untuk ganti rugi. Waktu sudah lengkap saya diminta tanda tangani release and discharge, tapi saya tidak mau," ujar Merdian.
Merdian merasa bingung frustasi dan kecewa dengan situasi seperti ini. Pasalnya, anggota keluarganya tewas dengan cara yang mengenaskan. Tapi tanggung jawab dari pihak maskapai dan produsen pesawat tidak ada kejelasan sampai sekarang.
Merdian berharap permintaan maaf dari CEO Boeing Dennis Muilenburg atas kematian 346 orang dalam kecelakaan Boeing 737 MAX 8 di Indonesia dan Ethiopia pada 4 April lalu, dapat menjadi momentum percepatan pembayaran ganti rugi baik dari pihak maskapai maupun produsen.
"Pernyataan CEO Boeing adalah bukti bahwa kematian anggota keluarga kami karena buruknya pesawat 737 MAX 8 yang digunakan Lion Air. Kami yakin banyak anggota keluarga korban yang sangat butuh biaya untuk melanjutkan hidup. Jika ganti rugi terus disandera, berarti maskapai merampas hak ahli waris korban," tutur Merdian.