Gantikan Anwar Usman, mampukah Suhartoyo perbaiki citra MK?
Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) menetapkan Suhartoyo sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Ia menggantikan Anwar Usman, yang dicopot karena terbukti melakukan pelanggaran etik berat dan berpihak dalam memutus Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Diketahui, MK menerima sebagian permohonan Perkara Nomor 90. Akibatnya, keponakan Anwar sekaligus putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka, berhak maju pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 lantaran pernah menjadi kepala daerah, yakni wali kota Surakarta (Solo).
RPH, yang pelaksanaannya merujuk Putusan Mahkamah Kehormatan MK (MKMK) Nomor 2/MKMK/L/11/2023, diikuti sembilan hakim konstitusi. Namun, muncul dua nama calon pengganti Anwar yang disepakati, yakni Saldi Isra dan Suhartoyo. Keduanya lantas berdiskusi untuk menentukan siapa ketua.
"Dengan semangat untuk memperbaiki Mahkamah Konstitusi, kami berdua sampai pada keputusan, yang disepakati untuk menjadi Ketua MK ke depan adalah Bapak Suhartoyo dan saya tetap menjalankan tugas sebagai Wakil Ketua MK," kata Saldi Isra memaparkan hasil RPH dalam jumpa pers di Gedung MK, Jakarta, pada Kamis (9/11).
Ia menyampaikan, pemilihan dilakukan secara musyawarah mufakat. Ada beberapa faktor yang menjadikan Suhartoyo menjadi Ketua MK, salah satunya pengalaman.
"Yang Mulia Suhartoyo sudah 8 tahun di MK, ya, saya 6,5 tahun. Itu pertimbangan yang kita baca kenapa tadi 7 orang lain itu memunculkan nama kami berdua," bebernya.
Pada kesempatan sama, Suhartoyo mengungkapkan, bersedia memimpin MK lantaran ada panggilan dan diberikan kepercayaan. Ia pun berjanji akan mengembalikan kepercayaan publik (public trust) kepada MK, yang runtuh menyusul dikabulkannya sebagian Putusan 90 karena dinilai menyuburkan nepotisme hingga menguatnya opini dinasti politik Jokowi.
"Secara faktual, memang nama ini hanya berdua. Sehingga, kalau beliau-beliau sudah memberikan kepercayaan, kemudian kami berdua juga kemudian menolak, sementara ada di hadapan mata kita MK ini ada sesuatu yang harus kita bangkitkan kembali kepercayaan publik," tuturnya.
"Berdasarkan pertimbangan itu, tentunya kepada siapa lagi kalau kemudian permintaan itu kemudian tidak kami sanggupi?" sambung Suhartoyo.
Tanggapan Istana
Wakil Presiden Ma'ruf Amin mau Suhartoyo membawa MK menjadi lebih baik dan sesuai harapan masyarakat. Selain itu, tidak melahirkan gonjang-ganjing dan kegaduhan terkait putusan krusial oleh MK.
"Tidak ada lagi gonjang-ganjing lagi, masalah-masalah yang putusan MK yang krusial ke depan. Semua kita mengharapkan itu," katanya, menukil kanal YouTube Wapres RI.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, berharap Suhartoyo tak berubah, mampu memimpin, dan menjaga muruah MK. Mahfud dan Suhartoyo merupakan teman sejak kuliah di Universitas Islam Indonesia (UII).
"Saya berharap dia tetap baik-baik seperti yang dululah, ketika bermain-main dengan saya ketika di kampus," ucapnya.
Penanganan Perkara Nomor 141/PUU-XXI/2023 tentang uji materiel Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan sengketa hasil pemilu menjadi 2 agenda krusial yang akan dihadapi MK. Mampukah Suhartoyo memperbaiki citra MK yang diluluhlantakkan Anwar?
Rusak susu sebelanga
Terpisah, Direktur Eksekutif Demos Institute, Ade Reza Hariyadi, menilai, Suhartoyo dkk takkan mampu mengembalikan kepercayaan publik. Pangkalnya, putusan MKMK secara eksplisit menegaskan terjadinya pelanggaran kode etik, kepatutan, kepantasan, dan kesopanan oleh seluruh hakim MK.
"[Putusan] itu kolektif terhadap seluruh hakim MK. Kalau kepercayaan publik mau balik, ya, [hakim] MK harus ganti semua. Sudah terlanjur ada cedera dan publik terlanjur memberikan penilaian seluruh anggota secara kolektif punya problem etik. Analoginya, karena nila setitik, rusak susu sebelanga," terangnya.
Merosotnya kepercayaan publik terhadap MK juga diakibatkan penolakan atas uji materiel UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker). Gugatan disampaikan 5 pemohon dan teregister dalam Perkara Nomor 54/PUU-XXI/2023.
"Yang turut memperburuk [citra MK] ada pelanggaran kolektif sekalipun dikenai sanksi berupa teguran lisan. Kepercayan publik terlanjur cedera. Saya sudah tidak punya optimisme terhadap MK," sambung Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Krisnadwipayana (FIA Unkris) ini.
Reza melanjutkan, kekecewaan publik terhadap lembaga negara bukan hanya kepada MK. Ini tecermin tidak lagi ada pembelaan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kala komisionernya, Firli Bahuri, diduga melakukan pemerasan terhadap eks Menteri Pertanian (Mentan), Syahrul Yasin Limpo, dan kasusnya ditangani Polda Metro Jaya.
Berbeda dengan sebelum-sebelumnya. Ketika ada komisioner KPK berurusan dengan hukum dan ditangani kepolisian atau "Cicak versus Buaya", publik berbondong-bondong memberikan dukungan.
Ia membenarkan bahwa ambruknya citra MK ini mengakumulasi kekecewaan publik terhadap institusi negara. Akibatnya, ada 2 hal yang mungkin terjadi ke depannya.
"Pertama, gelombang kekecawaan publik yang diekspresikan secara radikal dalam berbagai bentuk penolakan karena adanya ketidaksesuaian dengan aspirasi publik melalui kegiatan ekstraparlemen. Kedua, jadi skeptis. Karena tidak ada saluran efektif untuk memperjuangkan aspirasi publik, ntah kepemiluan, penegakan hukum, ekonomi, sehingga publik menjadi tak acuh terhadap berbagai kebijakan. 'Terserahlah, silakan terjadi apa yang terjadi. Yang penting kebutuhan dasar dapat terpenuhi,'" urainya.
Ketika itu terjadi, Reza mengingatkan, syarat demokrasi tidak lagi terpenuhi lantaran keberlangsungan checks and balances tak terjadi. Karenanya, pemerintah disarankan harus mengambil langkah serius dengan membuka keran aspirasi publik seluas-luasnya.
"Tidak perlu defensif-risau atas munculnya suara-suara alternatif di publik. Kan, sekarang ini mulai muncul gerakan pembungkaman terhadap suara kritis dan sebagainya," ucapnya.
"Kalau [suara kritis] dibungkam atau dibatasi dengan berbagai macam pendekatan, maka kita akan sulit menghadapkan proses politik berjalan dengan baik, termasuk pemilu menghasilkan kepuasan masyarakat," sambungnya.
"Ini menjadi ujian bagi pemerintah untuk menunjukkan transisi politik secara demokratis. Bukan hanya aturan, tetapi partisipatif dan legitimate dengan dengan publik. Kalau melihat gejala selama ini, perlu effort yang kuat."