close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Rapat gabungan pimpinan fraksi dan kelompok anggota DPD di ruang GBHN Gedung Nusantara V, Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (14/10)./ Antara Foto
icon caption
Rapat gabungan pimpinan fraksi dan kelompok anggota DPD di ruang GBHN Gedung Nusantara V, Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (14/10)./ Antara Foto
Nasional
Sabtu, 30 November 2019 15:36

GBHN dinilai penting untuk sinergisme pembangunan negara

Selama ini pembangunan pusat dan daerah dinilai tidak berlangsung selaras.
swipe

Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Siti Zuhro menyatakan Garis-garis Besar Haluan Negara atau GBHN penting untuk kembali dihidupkan. Wacana menghidupkan kembali GBHN muncul seiring dengan rencana amendemen UUD 1945.

Menurutnya, keberadaan haluan negara dibutuhkan agar terjadi sinergisme dalam pembangunan di tingkat pusat dan daerah. Siti mengatakan, sejak pemberlakuan otonomi daerah dan desentralisasi pada 2001, kepentingan nasional dan daerah tidak berlangsung dengan selaras. 

"Ini agaknya berbahaya. Jadi, masing-masing daerah dan pusat berjalan sendiri-sendiri, itu yang harus disinergikan," ujar Siti Zuhro dalam sebuah diskusi di Jakarta Pusat, Sabtu (30/11).

Hal senada disampaikan anggota MPR RI dari Fraksi PKS Nasir Djamil. Menurutnya, GBHN dibutuhkan dalam menentukan haluan penegakan hukum, HAM, hingga kedaulatan pangan. Karena itu, Badan Pengkajian MPR RI tengah mencari format GBHN yang selaras dalam kondisi saat ini.

"Seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang semuanya merujuknya. Itu induknya. Makanya, haluan negara itu kita harapkan menjadi payung besar untuk menghadirkan kedaulatan berbangsa dan bernegara," ujar Nasir.

Karena itu ia berharap agar masyarakat tidak menganggap upaya membangkitkan kembali GBHN akan membawa Indonesia kembali ke masa Orde Baru. GBHN, kata dia, juga tidak akan mengganggu sistem presidensial.

Di sisi lain, Guru Besar Hukum Tata Negara IPDN, Juanda, mengaku mengkhawatirkan hal tersebut. Hal ini lantaran MPR diberi mandat untuk kembali menjadi lembaga tertinggi.

"Ini akan kembali ke masa Orde Baru," ucapnya.

Namun jika GBHN dihidupkan, ia menyarankan agar ada sanksi hukum bagi presiden yang tidak menjalankan amanat GBHN.

"(Sebelumnya) tidak ada sanksi pidana. Harusnya ada sanksi hukum tata negara," ujar Juanda.

Siti juga menyatakan penolakan terhadap pengembalian mandat MPR menjadi lembaga tertinggi negara. Dia tak setuju pemilihan presiden dilakukan oleh MPR, apalagi jika masa jabatan presiden bertambah hingga tiga periode. Namun dia membuka opsi untuk menambah masa jabatan presiden, meski hanya berlaku dalam satu periode. 

"Menurut saya penting untuk kita pikirkan opsi untuk satu periode dengan lebih dari 5 tahun. Apakah dua periode tapi disela. Artinya, kalau sekarang katakan ada Presiden Nasir Djamil selesai 2021, tidak boleh lagi 2021 ada pilpres itu dia ikut. Nanti dulu, tunggu itu juga, supaya tidak ada nepotisme dan politik dinasti," kata Siti.

img
Manda Firmansyah
Reporter
img
Gema Trisna Yudha
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan