Gelisah guru honorer di tengah rencana pengangkatan sejuta PPPK
Dua kali gagal tes calon pegawai negeri sipil (CPNS) tak membuat Margareta patah arang. Guru honorer berusia 53 tahun itu masih memupuk impian jadi PNS. Kini, Margareta membidik lolos seleksi pegawai pemerintahan dengan perjanjian kerja (PPPK).
"Saya sudah cek, nama saya sudah ada di Dapodik (Data Pokok Pendidikan Kemendikbud)). Akhirnya, saya bisa ikut tes PPPK," kata Margareta saat berbincang dengan Alinea.id, Jumat (9/1) malam.
Margareta sudah 25 tahun menjadi guru honorer. Pekerjaan itu ia lakoni semenjak tahun 1996. Setelah beberapa kali ganti sekolah dan beralih pekerjaan, Margareta kini berkerja di sebuah yayasan swasta di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Sebelum diterima sebagai guru di tempat kerja terakhirnya, Margareta mengaku hanya mengantongi honor sebesar Rp500 ribu per bulan. "Gaji sudah naik semenjak jadi pegawai tetap. Kalau ingat sebelum diterima di yayasan ini, gaji saya sangat kecil," imbuh dia.
Meski sudah berstatus pegawai tetap, Margareta mengaku hidupnya masih serba sulit. Apalagi, dia punya tiga anak yang masih bersekolah. Gabungan gaji dan penghasilan suaminya dari toko kelontong mereka tidak mampu menutup pengeluaran keluarga setiap bulan.
"Gali lubang tutup lubang. Kalau gaji turun, biasanya (dipakai) bayar cicilan koperasi untuk pendidikan anak-anak dan keperluan-keperluan lainnya. Untuk makan sehari-hari, kami andalkan dari warung," tutur Margareta.
Meski lega namanya sudah terdaftar di Dapodik, Margareta masih gamang menghadapi masa depan. Ia khawatir tak lolos seleksi PPPK dan diberhentikan sebagai guru honorer.
Jika lolos pun, ia mengaku masih belum paham mengenai status PPPK yang hanya pegawai kontrak. Selain itu, ia mendengar setiap pelamar PPPK harus mendapat rekomendasi dari Pemkab Manggarai Barat.
"Karena katanya cuma dikontrak satu tahun kemudian diperpanjang. Terus kalau tidak diperpanjang, nasib kami bagaimana? Sama saja kan? Yayasan pasti mengeluarkan saya kalau tidak lulus PPPK," kata dia.
Cerita senada diungkap Adiva Nur Sartina, guru honorer di sebuah sekolah dasar di Desa Pamarayan, Kecamatan Serang, Banten. Adiva sudah 15 tahun berprofesi sebagai guru kontrak.
"Gaji saya sih sesuai UMR (upah minimum regional). Dicukup-cukupin saja," kata ujar Adiva saat berbincang dengan Alinea.id, Kamis (7/1).
Sebelum menjadi guru honorer, Adiva bekerja di sebuah pabrik plastik di wilayah Serang. Setelah enam tahun bekerja, dia memutuskan untuk mengambil jurusan keguruan di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).
Lulus dari UPI, ia langsung diterima bekerja sebagai guru honorer pada 2006. "Saya dulunya kerja pabrik untuk kumpul biaya. Sejak kecil saya memang cita-citanya jadi guru," jelas perempuan berusia 50 tahun tersebut.
Adiva mengaku sudah mengikuti seleksi PPPK pada Desember 2020 lalu. Dia berharap kehidupannya lebih sejahtera sehingga bisa bisa memberikan pendidikan terbaik bagi kedua anaknya. "Anak saya dua. Satu sedang kuliah, satunya lagi masih SMA kelas 1," kata dia.
Peluang mendongkrak kesejahteraan
Rencana pemerintah mengangkat guru honorer menjadi PPPK diungkap Mendikbud Nadiem Makarim, November, tahun lalu. Dengan anggaran sekitar Rp19,4 triliun, Kemendikbud menyiapkan satu juta kuota untuk calon guru PPPK.
Rekrutmen digelar di 548 pemerintah daerah. Berbeda dengan seleksi CPNS, peserta seleksi PPPK bisa berusia lebih dari 35 tahun. Ada tiga kriteria guru yang boleh mendaftar, yakni mereka yang namanya ada di Dapodik Kemendikbud, tercatat dalam pangkalan data guru honorer kategori II (THK2), dan yang telah memiliki sertifikasi guru.
Tes seleksi PPPK, kata Nadiem, digelar secara daring. Kemendikbud membuka kesempatan bagi para peserta yang gagal untuk kembali mengikuti seleksi pada tahun yang sama.
"Jika gagal pada kesempatan pertama, dapat belajar dan mengulang ujian hingga dua kali lagi di tahun yang sama atau tahun berikutnya," kata Nadiem seperti dikutip dari Antara.
Total ada sekitar 700 ribu guru honorer di Indonesia. Menurut Nadiem, para guru honorer rata-rata digaji dengan sangat rendah, yakni Rp100 ribu hingga Rp300 ribu per bulan. "Seleksi ini merupakan angin segar bagi guru honorer untuk dapat meningkatkan kesejahteraan mereka," kata pendiri GoJek itu.
Meski Nadiem sudah menjanjikan gaji PPPK ditanggung pemerintah pusat, jumlah peserta seleksi yang diusulkan pemerintah daerah masih jauh dari kuota.
Hingga proses pendaftaran ditutup pada 31 Desember 2020, menurut anggota Komisi X DPR RI Andreas Hugo Pareira, jumlah peserta yang tercatat di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) belum sampai 100 ribu orang.
"Karena itu tadi, kepala daerah lebih pikir kepentingan politik di masing-masing daerah. Sayang kan? Kasian nasib guru terkatung-katung. Mungkin karena ada guru honorer yang tidak dukung mereka di pilkada, lalu mereka tidak kirim ke Kemendagri," kata Andreas kepada Alinea.id, Kamis (7/1).
Andreas meminta agar pemerintah daerah tidak mencampur-adukkan urusan seleksi PPPK dengan politik. Ia berharap tidak ada lagi pendidik berstatus guru honorer di masa depan. "Jadi, orang masuk itu sebagai PNS atau PPPK," kata politikus PDI-Perjuangan ini.
Meskipun berstatus kontrak, guru PPPK bakal memperoleh gaji dan tunjangan dengan besaran yang sama seperti PNS sebagaimana isi Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2020 tentang Gaji dan Tunjangan PPPK. Guru PPPK juga memperoleh jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja dan bantuan hukum layaknya PNS.
"Dalam rapat terakhir, saya juga meminta agar pemerintah mempertimbangkan untuk adanya jaminan hari tua, jaminan pascakerja bagi guru PPPK ini," kata Andreas.
Utamakan guru honorer yang puluhan tahun mengabdi
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji pesimistis seleksi PPPK 2021 bakal berjalan mulus. Ia berkaca dari nasib 53.041 tenaga honorer kategori 2 (K2) yang dinyatakan lolos seleksi pada 2019.
Meski BKN sudah berjanji mengeluarkan surat keterangan (SK) per 1 Januari 2021, menurut Ubaid, sejauh ini belum terdengar jelas kelanjutannya.
"Tahun kemarin, sudah banyak yang ikut tes segala macam. Tetapi, selanjutnya apa? Itu enggak jelas lagi. Pada (era) menteri-menteri sebelumnya (juga) sudah ada PPPK. Akan tetapi, bagaimana kebijakan ini dieksekusi? Butuh kebijakan yang tegas," kata Ubaid melalui sambungan telepon kepada Alinea.id, Jumat (9/1).
Selain SK yang tak kunjung diterbiktan, menurut Ubaid, JPPI juga menerima banyak laporan mengenai buruknya seleksi PPPK pada tahun-tahun sebelumnya. Ia menyebut banyak guru honorer tidak mendapat informasi mengenai jadwal dan proses seleksi PPPK serta pemalsuan data peserta supaya lulus seleksi.
"Karena itu, saya tidak setuju (pengusulan nama peserta guru PPPK) melalui pemda. Tapi, dengan mekanisme online berbasis bukti menjadi penting. Kalau melalui pemda, bisa manipulasi data, bisa tebang pilih sehingga muncul kecemburuan, 'Saya sekian tahun (jadi guru) honorer (tidak) diterima. Yang baru setahun, diterima'," jelasnya.
Ubaid juga mempersoalkan persyaratan seleksi yang terbuka bagi semua guru honorer, termasuk mereka yang baru lulus pendidikan guru. Menurut dia, kebijakan tersebut tidak adil bagi guru honorer yang telah puluhan tahun mengabdi.
"Mereka sudah memiliki track record mengabdi yang panjang, yang statusnya tidak jelas, ya, segera diangkat. Ini PNS juga enggak, PPPK juga enggak, di-PHP (pemberi harapan palsu)," kata dia.
Untuk mereka yang baru lulus pendidikan guru dan baru mengajar, Ubaid menyarankan, agar pemerintah membuka jalur seleksi CPNS seperti biasa. "Jadi, dua cara ini tetap ada. Jangan kemudian hanya (seleksi) PPPK saja," ujar dia.
Pelaksana tugas Deputi Bidang SDM Aparatur KemenPAN dan Reformasi Birokrasi Teguh Widjinarko mengatakan masa kerja guru PPK paling pendek selama setahun. Ia mengakui kontrak guru PPK bisa diputus kapan saja jika kinerjanya buruk.
"Bisa diperpanjang 3-5 tahun, dievaluasi, dan bisa diperpanjang lagi. Tergantung kinerjanya. Menurut peraturannya begitu," kata Teguh saat dihubungi Alinea.id, Minggu (10/1).
Sejauh ini belum ada skema lebih lanjut terkait nasib guru honorer yang tidak lulus seleksi PPPK. Namun demikian, menurut Teguh, setiap guru honorer yang direkomendasikan daerah diberikan hingga tiga kali kesempatan untuk mengikuti seleksi PPP.
"Dalam rangka tes tersebut, Kemendikbud memberikan fasilitas untuk belajar agar mereka bisa lulus. Jika tidak lulus dalam tiga kali tes, dipersilakan mengikuti tes PPPK dengan jalur reguler pada kesempatan pembukaan berikutnya," kata dia.