close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Aktivis Gerakan Untuk Indonesia Adil dan Demokratis (GIAD) saat dikusi publik di kantor Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, Senin (27/1)/Foto: Alinea.id/Rizki Febianto.
icon caption
Aktivis Gerakan Untuk Indonesia Adil dan Demokratis (GIAD) saat dikusi publik di kantor Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, Senin (27/1)/Foto: Alinea.id/Rizki Febianto.
Nasional
Senin, 27 Januari 2020 19:30

GIAD: Amandemen UUD 1945 berpotensi jadi 'bola liar'

Agenda amendemen terbatas berpotensi rusak tata negara.
swipe

Sejumlah aktivis yang tergabung dalam Gerakan Untuk Indonesia Adil dan Demokratis (GIAD) menilai agenda amendemen terbatas UUD 1945 hanya digunakan untuk menetapkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara, dengan kewenangan untuk menyusun Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).

"Ini berpotensi menjadi 'bola liar' yang dapat dimanfaatkan oleh elite politik, bukan hanya untuk menghidupkan GBHN, tetapi juga untuk merusak tata negara hanya demi pemenuhan ambisi kekuasaan," ujar salah satu anggota GIAD, Lucius Karus yang juga peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) dalam diskusi publik di Kantor Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) pada Senin (27/1).

Lucius menjelaskan, terdapat perbedaan besar antara amandemen yang sedang direncanakan ini dengan amandemen yang sudah pernah dilakukan di tahun-tahun sebelumnya. 

"Kalo yang sekarang keinginan amandemen itu datang dari elite, dipaksakan kepada masyarakat dan kelompok masyarakat untuk ikut mendukung, jelas itu dua hal yang berbeda," tutur Lucius. 

Lucius juga menolak keras terjadap wacana amandemen ini. Ia menyebut publik tidak memiliki alasan kuat untuk memberikan kepercayaan penuh pada DPR atau MPR terhadap amandemen ini. Terlebih anggota DPR dan MPR mayoritas berasal dari partai politik.

"Masalah kita saat ini yang real itu ada di partai politik, bagaimana kemudian rakyat memberikan kepercayaan penuh untuk merubah konstitusi, pada anggota partai politik yang hampir dalam semua partai politiknya tidak bisa dipercaya," ujar Lucius. 

Lucius menilai kontrol terhadap capaian dan anggaran pembangunan yang ingin dijalankan secara efektif, tidak bisa dijadikan alasan untuk penyusunan GBHN oleh MPR. 

"Melainkan optimalisasi mekanisme perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan. Melibatkan bukan hanya elemen negara tapi juga partisipasi publik," ujar Lucius. 

"Tujuan untuk mewujudkan pembangunan berkesinambungan juga bisa bukan lewat GBHN, tetapi melalui penguatan koordinasi antar lembaga, dan transfer kekuasaan antar-periode pemerintahan dengan memerhatikan SPPN (Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional)," tambah Lucius. 

Adapun agenda amandemen kelima UUD Tahun 1945 sejauh ini masih terus bergulir. MPR pun terus menggali aspirasi pemangku kepentingan dan berbagai elemen masyarakat termasuk organisasi keagamaan.

Beberapa aspirasi yang telah dihimpun, di antaranya yang pertama, amandemen terbatas, yaitu perubahan hanya terkait pembentukan pokok-pokok haluan negara atau pola pembangunan dengan model GBHN. 

Kedua, penyempurnaan terhadap UUD Tahun 1945 hasil amandemen sebelumnya. Ketiga, perubahan dan kajian menyeluruh dan mendalam terhadap UUD Tahun 1945 hasil amandemen I hingga amandemen IV.

Keempat, kembali ke UUD 1945 yang asli sesuai Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Kelima, kembali ke UUD 1945 yang asli. Yaitu, mengubah berbagai aspek hasil amandemen UUD 1945 kembali ke konstitusi yang pertama kali dibuat kemudian dilakukan perbaikan dan disempurnakan melalui adendum.

Yang keenam, tidak diperlukan adanya amandemen konstitusi kelima. Artinya, tetap pada UUD Tahun 1945 yang saat ini berlaku dan diterapkan.

img
Rizki Febianto
Reporter
img
Fathor Rasi
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan