Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menyatakan sejumlah kebijakan pemerintah membuktikan pelemahan upaya pemberantasan korupsi. Selain UU baru KPK, pemberian grasi bagi terpidana korupsi Gubernur Riau Annas Maamun dinilainya sangat mengabaikan prinsip keadilan dalam penegakan hukum terkait kasus korupsi.
"Pemberian grasi (ke Annas Maamun) itu hanya atas alasan kemanusiaan. Ingat, Pancasila ada lima sila yang mencakup keadilan," ujar Saut dalam diskusi 'Hentikan Diskon Hukuman Koruptor' di Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (8/12).
Ketimbang memberikan grasi, Saut menilai, seharusnya pemerintah menyediakan fasilitas kesehatan yang memadai bagi narapidana kasus korupsi. Dia menggarisbawahi pula bahwa perbaikan sistem dan instrumen hukum dalam pemberantasan korupsi harus dikelola dengan benar demi meningkatkan peringkat indeks persepsi korupsi Indonesia.
Saat ini, Indonesia mencetak indeks persepsi korupsi 38.
Senada dengan Saut, anggota Komisi III DPR RI dari Partai Keadilan Sejahtera Bukhori Yusuf memandang pemberian grasi bagi napi koruptor tidak berlandaskan logika hukum yang sehat.
Bukhori mencontohkan, perlakuan istimewa juga pernah diberlakukan terhadap mantan hakim konstitusi Patrialis Akbar selaku terpidana korupsi pada 2018. Kala itu, Patrialis Akbar mendapatkan fasilitas pengobatan gratis di sebuah rumah sakit di Singapura.
Menurut Bukhori, perlakuan istimewa seperti itu menunjukkan pemerintah tidak konsisten dalam mengelola pemberantasan korupsi.
"Kita jadi makin meragukan komitmen pemerintah. Ini bentuk keadilan yang subjektif terhadap terpidana korupsi," kata Bukhori.
Ada pun politikus dari Partai Gerindra Habiburokhman berpendapat, Perpu merupakan hak prerogatif presiden. Namun, badan legislatif dan masyarakat umum dapat turut serta mengawasi kinerja pemerintah dalam memberantas korupsi.
"Sebagai bangsa kita berhak melakukan check and balances. Kami sebagai anggota parlemen yang baru tetap bisa mempersoalkan hal-hal dalam UU KPK sebagai bentuk fungsi pengawasan," tutur Habiburokhman.