Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, memastikan pengelolaan air di ibu kota akan kembali diambil alih Pemerintah provinsi DKI Jakarta. Anies menugaskan tim tata kelola air, untuk mendampingi dan mengawal proses pengambilalihan dari pihak swasta.
Menurut Anies, kebijakan ini merupakan rekomendasi atas polemik pengelolaan air yang terjadi. "Rekomendasi yang diberikan oleh Tim Evaluasi Tata Kelola Air adalah melalui pengambilalihan pengelolaan air dari swasta," kata Anies di Balaikota DKI Jakarta, Senin (11/2).
Pengambilalihan pengelolaan air dari pihak swasta akan segera dilakukan, mengingat kebutuhan air bersih menjadi hak dasar warga. Ini juga dilakukan guna mendukung tercapainya target percepatan perluasan cakupan layanan air bersih.
Pengambilalihan pengelolaan air ini dinilai amat penting untuk mengoreksi perjanjian yang dibuat pada 1997 dengan pihak swasta. Pasalnya, pengelolaan air yang dilakukan swasta selama 20 tahun terakhir, tidak berkembang sesuai harapan.
Saat swastanisasi pengelolaan air dimulai pada 1998, cakupan layanan air bersih di Jakarta mencapai 44,5%. Saat ini, cakupannya hanya meningkat 14,9% menjadi 59,4%, dari target 82% yang ditetapkan.
Dengan demikian, pihak swasta harus memenuhi kekurangan cakupan layanan air sebesar 20% dari target, dalam empat tahun kontrak tersisa. Padahal selama 20 tahun, pihak swasta hanya berhasil melakukan peningkatan sebesar 15%.
Selain target cakupan layanan yang tak tercapai, tingkat kebocoran air selama dipegang swasta mencapai 44,3%. Hal ini, menurut Anies, membuat Jakarta menjadi salah satu kota metropolitan dengan tingkat kebocoran air tertinggi di dunia.
"Sementara disisi lain, pihak swasta diberikan jaminan keuntungan yang terus bertambah jumlahnya setiap tahun. Ketidakadilan perjanjian ini merupakan perhatian kami," kata Anies.
Perjanjian tersebut memberikan hak eksklusif pada pihak swasta. Seluruh aspek pengelolaan dimulai dari air baku, pengelolaan, pengolahan, distribusi, hingga pelayanan, berada di pihak swasta. Bahkan investasi terkait pengelolaan air pun harus dilakukan atas seizin pihak swasta.
"Ini yang problematik. Negara di dalam perjanjian itu memberikan jaminan keuntungan 22%. Targetnya tidak tercapai, tapi keuntungannya wajib dibayarkan oleh negara," kata Anies.
Dia menjelaskan, Tim Evaluasi Tata Kelola Air akan mendampingi dan mengawal proses pengambilalihan tata kelola air dari pihak swasta. Tim ini telah dibentuk enam bulan lalu, dengan berisi kalangan profesional, aktivis, serta birokrat. Adapun eksekusinya akan dilakukan oleh Perusahaan Air Minum (PAM) Jaya, sebagai pihak yang menjalin kerja sama dengan pihak swasta.
Keputusan untuk menghentikan swastanisasi air di Jakarta, merupakan pelaksanaan putusan Mahkamah Agung (MA) nomor nomor 31 K/Pdt/2017 tanggal 10 April 2017. Putusan MA ini sekaligus membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 588/PDT/2015/PT DKI tanggal 12 Januari 2016 yang membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 527/PDT.G/2012/PNJKT.PST., tanggal 24 Maret 2015. (Ant)