close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah. Dokumentasi Pemprov Bengkulu
icon caption
Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah. Dokumentasi Pemprov Bengkulu
Nasional
Senin, 18 Januari 2021 19:55

Gubernur Bengkulu bantah terlibat suap ekspor lobster

KPK juga sempat memanggil Bupati Kaur, Gusril Pausi, dalam mendalami kasus korupsi yang melibatkan bekas Menteri KP, Edhy Prabowo.
swipe

Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah, membantah terlibat kasus dugaan suap perizinan tambak, usaha, dan/atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya tahun 2020. Dalihnya, tidak berperan dalam penunjukan atau rekanan yang diduga ikut dalam ekspor benih lobster atau benur.

"Oh, tidak ada sama sekali. Kita terkait dengan bagaimana kewenangan perizinan dan proses," katanya usai diperiksa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Senin (18/1).

Rohidin juga membantah tentang adanya pemberian uang dari PT Dua Putra Perkasa (DPP) untuk perizinan. Klaimnya, sudah memastikan tidak ada pejabat di pemerintahannya yang mengambil duit dari praktik lancung itu.

"Enggak ada (yang terima uang)," singkatnya.

Bersama Bupati Kaur, Bengkulu, Gusril Pausi, Rohidin dipanggil penyidik komisi antisuap. Keduanya dimintai keterangan sebagai saksi dalam perkara dugaan suap izin ekspor benih lobster.

Pada Jumat (15/1), penyidik memeriksa Direktur PT DPP, Suharjito (SJT), sebagai saksi untuk tersangka bekas Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo (EP). Di sisi lain, dia juga diperiksa dalam kapasitasnya sebagai tersangka.

"Didalami adanya dugaan pemberian sejumlah uang kepada pihak-pihak tertentu di beberapa wilayah di Indonesia untuk memperlancar usaha saksi sebagai eksportir benur," jelas Pelaksana tugas Juru Bicara bidang Penindakan KPK Ali Fikri.

KPK menetapkan tujuh tersangka dalam kasus tersebut. Selain Suharjito dan Edhy, ada Staf Khusus Menteri KP, Safri (SAF) dan Andreau Pribadi Misanta (APM); pengurus PT Aero Citra Kargo (ACK), Siswadi (SWD); staf istri Menteri KP, Ainul Faqih (AF); dan swasta, Amiril Mukminin (AM).

Dalam kasusnya, Edhy disangkakan menerima Rp3,4 miliar dari beberapa perusahaan eksportir benur yang sebelumnya diduga ditampung PT ACK dan US$100.000 dari Suharjito melalui Safri dan Amiril sekitar Mei 2020. Uang diterka dipergunakan untuk belanja di Amerika Serikat, 21-23 November 2020.

Di sisi lain, KPK menduga Safri dan Andreau juga menerima uang yang total Rp436 juta dari Ainul pada Agustus 2020.

Para penerima, Edhy, Safri, Siswadi, Ainul, Amiril, dan Andreau, disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Sedangkan pemberi, Suharjito, disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

img
Akbar Ridwan
Reporter
img
Fatah Hidayat Sidiq
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan