Rapat Paripurna DPR RI pada Selasa (5/12), mengesahkan RUU tentang Daerah Khusus Jakarta (DKJ) menjadi usul inisiatif DPR. Delapan fraksi menyetujui RUU DKJ untuk disahkan menjadi usul inisiatif DPR dengan catatan, sementara PKS menolak.
Seiring dengan penolakan PKS, RUU DKJ menjadi polemik di tengah masyarakat karena dalam salah satu pasalnya menyebutkan kalau gubernur dan wakil gubernur Jakarta ditunjuk presiden. Hal itu tertuang pada Pasal 10 ayat (1) yang menyebutkan, Provinsi DKJ dipimpin oleh gubernur dan dibantu oleh wakil gubernur. Ayat (2) kemudian menyebut, kalau gubernur dan wakil gubernur ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan presiden dengan memperhatikan usul atau pendapat DPRD.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N. Suparman mengatakan, RUU DKJ kontraproduktif dengan semangat otonomi daerah. Di mana, pelaksanaan otonomi daerah harus juga memperhatikan demokrasi. Dalam artian, dalam prosesnya perlu mengikutsertakan masyarakat. Mulai dalam perencanaan, penganggaran, hingga pemilihan kepala daerah dan kepala negara.
"Kita bisa belajar dalam dua tahun ini, ketika Pj Gubernur DKI dipilih presiden. Publik Jakarta tampak seperti antipati atas kehadiran pemimpin dari pusat. Karena itu, peran publik dalam menentukan pemimpin harus ditingkatkan. Bukan malah dihilangkan," ucap dia saat dihubungi Alinea.id, Rabu (6/12).
Dia juga mempertanyakan apakah dengan penunjukan langsung ini bakal meningkatkan dan mengefektifkan tata kelola suatu daerah. Karena hal itu sangat dipengaruhi oleh tingkat partisipasi publik. Partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan good governance dapat berupa partisipasi masyarakat dengan menggunakan hak nya dalam menyampaikan pendapat pada proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan masyarakat.
Begitu juga dengan logika aspek praktis dan finansial dalam pemilihan langsung di DKI Jakarta. Sebab, DKI Jakarta merupakan daerah otonom, bukan daerah administratif. Di mana, daerah otonom memiliki wewenang mengatur dirinya sendiri. Termasuk dalam memilih kepala daerah, bukan ditunjuk atau diangkat. Bila pengisian jabatan gubernur melalui ditunjuk/diangkat, problem konstitusional harus diatasi terlebih dahulu yaitu mengubah status provinsi bukan lagi sebagai daerah otonom. Sehingga logika yang dibangun DPR dinilainya kurang memiliki justifikasi.
Sementara juru bicara PKS Muhammad Iqbal menyebut, kalau usulan gubernur dan wakil gubernur di tunjuk oleh presiden pada RUU DKJ, adalah sebuah kebijakan yang berpotensi menjadi ajang kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN).
"Usulan ini tentu saja menjadi sebuah kemunduran bagi demokrasi, jumlah penduduk Jakarta yang mencapai 12 juta jiwa dengan APBD hampir Rp80 triliun harus dipimpin orang yang berkompeten dan memiliki legitimasi oleh rakyat, bila ditunjuk maka berpotensi menjadi ajang KKN.
“Bisa saja suatu saat presiden atau partai pemenang menunjuk keluarga, kerabat atau orang yang tidak memiliki kompetensi memimpin dan ini adalah sebuah celah terjadinya KKN yang melawan amanat reformasi,” tutur dia.
PKS dengan tegas menolak RUU ini karena dibuat secara terburu-buru tanpa kajian yang mendalam dan berpotensi merugikan warga Jakarta dan menurunkan kualitas demokrasi di Indonesia.
Namun pengamat tata negara dari Universitas Veteran Jakarta Wicipto Setiadi menyebutkan, kalau penentuan kepala daerah di Jakarta, harus menyesuaikan dengan konsep dari kekhususannya. Mengingat, di Indonesia juga ada Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang pemilihan kepala daerahnya menyesuaikan dengan kekhususan dari daerah tersebut.
Selain itu, amandemen ketiga UUD 1945 tepatnya di Pasal 18 ayat (4) juga menyebut, “gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”. Alias bukan melalui pemilu. Sehingga, apa yang tercantum di RUU DKJ soal penunjukan gubernur, tidak bertentangan dengan UUD 1945. Apalagi dalam prosesnya, presiden harus memperhatikan usul atau pendapat DPRD.
"Jadi ini buka masalah mudur atau tdak. Tetapi harus melihat kembali bagaimana konsep dari kekhususan Daerah Khusus Jakarta (DKJ). Apalagi sebenarnya pemilihan kepala daerah memang tidak harus melalui pemilihan langsung," ucap dia.