Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang mempertanyakan konsistensi lembaga antirasuah pascaditolaknya uji material Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2019 oleh Mahkamah Konstitusi. Menurut Saut, di tengah pelemahan KPK ini, banyak oknum penyelenggara negara sudah pernah berhadapan dengan hukum.
"Nah, aparat penegak hukum ini kan punya persoalan yang sangat mendasar. Ini semua pernah jadi pasien penindakan, sudah juga ikut dalam pencegahan tata kelola," kata Saut dalam diskusi virtual, Sabtu (15/5).
Saut mengatakan, salah satu alasan lahirnya KPK adalah kondisi penegak hukum dan penyelenggara negara yang bermasalah. Baik dari Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Polri, Kejaksaan, inspektorat hingga badan-badan audit seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Selain ada oknum yang bermasalah, KPK juga kerap direpotkan ketika berhadapan dengan penyelenggara negara. Misalnya menunggu hasil audit atas kerugian sebuah negara dalam sebuah kasus.
"EKTP (korupsi KTP elektronik) saja kalau kita menunggu hasil audit ini sangat, berapa lama ya. Bahkan kasus yang kita lihat di Garuda, bagaimana kerugian negara, kemudian juga BPK/BPKD, walaupun KPK bisa audit sendiri," jelas dia.
Menurut Saut, persoalan penyelenggara negara tidak saja berkaitan dengan hukum, tapi juga persoalan kode etik yang tidak berjalan. Saut dalam hal ini mencontohkan kasus suap Wali Kota Tanjungbalai, M. Syahrial terhadap penyidik KPK dari unsur Polri, AKP Stefanus Robin Pattuju.
Bukan hanya perkara suap, namun kasus ini juga menyeret nama Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin yang diduga menjadi aktor pertemuan Syahrial dengan Stefanus agar dapat membantu menghentikan perkara kasus dI Tanjungbalai.
"Kasus Tanjungbalai yang melibatkan seseorang yang ternyata orang sederhana tapi merembes ke orang ke level cukup tinggi. Penyelenggara negara di daerah juga menjadi pasien dalam penindakan," jelasnya.
Di internal KPK sendiri, lanjut Saut, lembaga antirasuah memiliki persoalan. Mulai dari rekrutmen KPK sesuai amanat UU 9/2019 yang mengharuskan pegawai menjadi aparatur sipil negara (ASN) hingga konflik interest pimpinan KPK. Saut menyebut, kondisi ini muncul tak lain karena UU KPK yang baru.
"Dan pelemahan ini masih relevan sampai hari ini. Di antaranya posisi pimpinan itu bukan penyidik dan penuntut. Jadi dia enggak tanda tangan surat penyidikan. Sehingga ini kontroversi dengan kolektif kolegial. Sehingga tidak heran ada seseorang yang dominan," ungkap Saut.
Menurut Saut, isu pelemahan KPK melalui UU KPK bukan isapan jempol belaka. Hadirnya UU KPK yang baru justru membuat lembaga antirasuah tak lagi egaliter. "Bagaimana mereka bekerja dengan prinsip egalitarian yang sudah berjalan selama ini? Sebelum UU baru, sangat egaliter dan hirarki lebih rendah. Bagaimana (prinsip) egaliter dan operasional bisa jalan, sehingga kita bisa lihat kemarin bagaimana penyidik bisa dipengaruhi oleh orang lain, ini juga jadi persoalan," pungkasnya.