Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) Institut Pertanian Bogor (IPB) Rachmat Pambudy menyatakan, Indonesia memerlukan penataan ulang terhadap kebijakan dan strategi dalam pemenuhan kebutuhan pangan, terutama produksi beras. Menurutnya, Indonesia tidak bisa mengejar target swasembada beras seperti yang pernah tercapai pada 1984 karena perbedaan tantangan dan kendala yang ada saat ini dengan Indonesia di masa lampau.
Indonesia sejak merdeka sudah menjadikan sektor pangan sebagai perhatian utama. Ini terbukti dari pernyataan Presiden Soekarno, yang menurut Rachmat pada 27 April 1952 menyatakan, pangan adalah hidup dan mati Indonesia, sehingga di saat itu Indonesia menjadi pengimpor beras terbesar di dunia untuk memenuhi kebutuhan penduduknya. Ia juga menyebutkan Indonesia selalu berhasil survive dalam menghadapi kelangkaan dan persoalan pangan.
“Penduduk kita pada saat itu baru 70 juta tetapi sudah mengimpor 700 ribu ton, dan beras sangat sulit didapatkan saat itu. Tetapi berbagai upaya terus dilakukan sampai pemerintah berhasil tangani permasalahan beras saat itu,” jelas Rachmat pada pemaparannya dalam diskusi daring “Menjaga Stok Beras atau Gabah Pemerintah, Menjaga Nasib Petani” bersama Ditjen Tanaman Pangan, Senin (19/12).
Pada tahapan pemenuhan pangan, diuraikan Rachmat antara lain mulai dari tahap scarcity (kelangkaan), kemudian shortage (kekurangan), lalu mencapai pada self sufficient (pemenuhan swasembada), naik menjadi security (keamanan), lalu terakhir mencapai sovereignty (kedaulatan).
“Indonesia pernah mengalami semua tahap itu, tetapi tidak semuanya tercapai dengan baik karena persoalan pangan pada negara kita cukup kompleks,” tutur Rachmat.
Dalam keberhasilan Indonesia melakukan swasembada beras di 1984 dan berhasil ekspor beras, sebelumnya melewati masa yang cukup lama yaitu sejak 1950 hingga 1960-an. Keberhasilan tersebut juga melibatkan kebijakan ekonomi makro dan mikro dari sistem agribisnis di hulu hingga hilir.
“Pada masa itu ada kerja keras yang besar dan melibatkan banyak pihak. Banyak ekonom, peneliti, pengamat, yang tidak percaya Indonesia bisa swasembada beras saat itu, tapi ternyata Indonesia berhasil. Sayangnya itu tidak berlangsung lama,” sambungnya.
Kondisi global saat ini menjadikan ketersediaan beras dan bahan pangan lainnya, menurut Rachmat, menjadi terkendala, juga terdapat beberapa tekanan seiring modernisasi saat ini, sedangkan food security ke depan akan menjadi hal yang sangat penting. Tekanan yang dimaksud Rachmat yaitu penambahan jumlah penduduk Indonesia yang terus naik, jumlah lahan yang semakin sempit, beras dianggap sebagai komoditas yang sangat tidak ramah lingkungan karena memerlukan lahan yang sangat luas, air yang sangat banyak, dan input produksi yang besar. Pemupukan yang dilakukan di lahan pertanian padi juga berisiko meningkatkan pencemaran lingkungan dan udara.
“Tekanan-tekanan tersebut seharusnya kita tanggapi dengan arif dan bijaksana dengan melihat bahwa swasembada beras akan membuat kita kesulitan sendiri, karena setiap era memiliki strategi dan kebijakan sendiri dalam memenuhi kebutuhan pangannya,” ujar Rachmat.
Oleh karena itu, ia menyarankan perlunya alternatif mengganti kebijakan swasembada beras dengan diubah menjadi swasembada karbohidrat. Alasannya, saat ini sudah banyak komoditas untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat selain beras. Meski demikian, pemerintah juga diminta untuk bisa membuat strategi dan paradigma baru yang di dalamnya bisa memenuhi kebutuhan karbohidrat nasional sekaligus memenuhi pendapatan petani agar tetap sejahtera.
“Jadi sudah waktunya kita memikirkan beras yang harus dipenuhi untuk masyarakat kelompok atas, dan kita juga harus memikirkan beras seperti apa yang dibutuhkan masyarakat bawah. Jadi kita bisa membuat strategi beras seperti apa yang bisa dibuat, sehingga keterkaitan antara produksi beras, peningkatan pendapatan petani, sekaligus memenuhi kebutuhan konsumennya. Kalau ini bisa terjadi, kita akan punya strategi dan kebijakan serta program baru tentang perberasan agar kita tidak terjebak pada swasembada beras,” tandasnya.