Bagi Novalia Tri Astuti, kurikulum Merdeka Belajar yang digagas Menteri Pendidikan, Kebudayaan Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim sama sekali tak bikin "merdeka". Sejak menjalankan kurikulum itu pada 2022, Novalia "ngos-ngosan" menuntaskan segunung beban administrasi sebagai guru SMKN 1 Banyuputih, Situbondo, Jawa Timur.
Novalia merasa program Merdeka Belajar hanya fokus pada membenahi sistem pembelajaran bagi para siswa. Beban administrasi bagi guru dan tenaga pendidik luput disederhanakan. Secara berkala, perempuan berusia 34 tahun itu harus menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang tidak ringkas, bahkan hingga berjilid-jilid.
"Dulu awal-awalnya ketika baru menjabat sebelum kurikulum merdeka itu bilangnya RPP hanya selembar, tidak usah banyak lembar seperti kurikulum 2013. Tetapi, kenyataan di lapangan, pengawas minta lampirannya banyak juga. Tidak ada bedanya," kata Novalia kepada Alinea.id, Jumat (4/5).
Untuk memenuhi sasaran kinerja pegawai, Novalia juga mesti rutin mengisi platform merdeka belajar (PPM). Supaya mendapat predikat kinerja baik, para guru harus punya nilai minimal 32 di PPM. Angka itu bisa diperoleh dengan rajin ikut pendidikan dan pelatihan (diklat) serta seminar terkait pendidikan.
"Cuman kan rasanya kayak pemaksaan, ya, ini. Wajib seluruh guru buat mengerjakan kegiatan pengembangan diri di PMM. Itu (predikat nilai) bisa dilakukan dari diklat yang dikuti, seminar, jadi kolaborator dan banyak lain pokoknya," ucap Novalia.
Beban administrasi yang rumit, kata Novalia, menjadi kontradiktif dengan jargon Merdeka Belajar: Guru Merdeka Belajar yang Membangun Kemandirian Belajar. Ia mengaku banyak rekan guru yang merasakan pengalaman sama seperti dirinya.
"Perlu dicatat pengembangan diri yang dilakukan itu juga berjenjang dan memakan waktu. Jadi, kita kesulitan di waktunya tersebut karena guru berlomba- lomba ikut diklat, seminar, mengerjakan aksi nyata, dan membagi wakti dengan mengajar. Ya, awal-awal banyak yang keteteran," ucap Novalia.
Sebelumnya, Mendikbudristek Nadiem Makarim berharap agar program Merdeka Belajar terus dilanjutkan oleh pemerintah. Ia meyakini program dan kurikulum Merdeka Belajar telah membawa perubahan positif di dunia pendidikan Indonesia.
Muhaimin, guru di SMKN 1 Bolo, Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) sepakat kurikulum Merdeka Belajar dilanjutkan. Namun, ia mengakui perlu ada pembenahan, terutama menyoal terkurasnya energi guru untuk tanggung jawab administrasi yang berat.
"Apalagi buat guru-guru yang kurang cakap secara digital. Mereka dibuat panik dengan kewajiban ini yang membuat fokus guru untuk mengajar juga tersita. Guru-guru juga diwajibkan mengikuti webinar online yang kadang dilakukan hanya untuk mendapatkan sertifikat sebagai bukti digital," ucap Muhaimin kepada Alinea.id.
Tak kalah penting, kata Muhaimin, pembenahan teknis serta sosialisasi lebih mendalam kepada para pemimpin sekolah. Karena berbasis aplikasi, menurut Muhaimin, banyak guru di daerah terpencil kesulitan untuk mengisi PPM karena tak punya koneksi internet.
"Karena begitu banyak sekolah tidak bisa maksimal melaksanakan Merdeka Belajar karena pemimpin sekolah masih tidak paham hakikat kurikulum Merdeka Belajar," ucap Muhaimin.
Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim mengatakan perlu ada evaluasi kepada program Merdeka Belajar. Ia membenarkan beban administrasi guru terlampau berat sehingga mengganggu proses belajar-mengajar.
"Meskipun sudah ada edaran dari Dirjen GTK (Guru dan Tenaga Pendidikan) Kemdikbud perihal ini, praktiknya di daerah, dinas pendidikan dan pengawas sekolah, masih mewajibkan guru mengikuti serangkaian kegiatan via PMM untuk mengejar sertifikat," ujar Satriawan kepada Alinea.id.
Satriawan berpendapat kurikulum Merdeke semestinya tak perlu berlaku merata di seluruh daerah. Pasalnya, masih ada wilayah yang belum terjangkau internet. Sebab, laporan e- kinerja SKP yang terintegrasi PPM menyulitkan guru di daerah yang tidak terkoneksi internet.
"Lalu masih banyak pemda yang juga mewajibkan agar guru ASN melaporkan e-kinerja SKP nya via platform yang dibuat pemda. Walhasil, guru harus mengisi double. Tentu ini kontraproduktif dan tampak antara pusat dan pemda tidak sinergis," ucap Satriawan.