close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Seminar pembahasan Perma Nomor 3 Tahun 2017. (Robi/Alinea)
icon caption
Seminar pembahasan Perma Nomor 3 Tahun 2017. (Robi/Alinea)
Nasional
Kamis, 08 Maret 2018 17:03

Hadiah Perma Nomor 3 Tahun 2017 untuk Hari Perempuan Internasional

Konstitusi menjamin kesetaraan dan keadilan gender, namun praktiknya belum terealisasi hingga kini. Setumpuk persoalan pun masih membayangi.
swipe

Hari perempuan internasional yang jatuh hari ini, Kamis (8/3) menyisakan setumpuk persoalan yang tak kunjung selesai. Misalnya kerancuan tafsir hukum tentang warisan perempuan yang umumnya lebih sedikit dibanding laki-laki, tak peduli anak keberapa ia. Bahkan perempuan kerap tak menerima warisan karena status gendernya. Beberapa peraturan daerah juga menempatkan perempuan dalam posisi domestik. Tak hanya itu, beberapa waktu di Aceh Besar, perempuan dipersekusi karena kedapatan berduaan dengan laki-laki. Ia disiram dengan air comberan dan dijadikan tontonan warga.

Realitas itu yang mendorong Mahkamah Agung, yang didukung Masyarakat Pemantauan Peradilan Indonesia (MaPPI) FHUI, serta Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2), menggagas pembangunan sistem peradilan yang menjamin hak perempuan. Tujuannya antara lain agar perempuan juga mendapatkan akses keadilan yang setara.

Gagasan tersebut didengungkan dalam seminar yang digelar hari ini di Jakarta. Seminar terutama membahas Peraturan MA Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Perma ini sendiri disusun sebagai wujud komitmen MA dalam memberikan perlindungan terhadap perempuan, atas akses keadilan yang bebas dari diskriminasi.

Hakim Agung Desnayeti mengatakan, dalam ranah pidana, sering didapati situasi di mana perempuan jadi korban kekerasan seksual. Namun dalam tiap kasus, pihak perempuanlah yang disalahkan karena cara berpakaian, bahasa tubuh, cara ia berelasi sosial, status perkawinan, pekerjaan, atau karena keberadaannya pada sebuah waktu atau lokasi tertentu.

Di samping itu, perilaku aparat penegak hukum dalam menangani perkara perempuan di tingkat penyidikan, penuntutan, hingga pemeriksaan di persidangan juga kerap diwarnai laku tak sensitif. Alhasil, penyintas perempuan justru makin terluka karenanya.

"Menyikapi hal ini maka pada 11 Juli 2017, Mahkamah Agung berinisiatif menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum yang mulai berlaku pada tanggal 4 Agustus 2017," katanya pada Alinea.

Perma tersebut dimaksudkan sebagai panduan bagi hakim dalam mengadili perkara perempuan baik dalam kapasitas mereka sebagai pelaku, penyintas, maupun saksi. Ini berlaku dalam urusan pidana, perdata, dan tata usaha negara. Selain itu, tujuan dari Perma ini adalah agar hakim menerapkannya asas-asas yang harus dijadikan pedoman di pengadilan.

Ketua Kamar Peradilan Agama MA RI, Amran Suadi memaparkan, Perma ini bisa membawa angin perubahan. “Saya berharap adanya perubahan. Saya terinspirasi dalam rancangan UU pidana, bagaimana orang-orang yang tidak mau mematuhi putusan pengadilan akibat perceraian, bisa dipidana penjara langsung. Hal ini sudah berlaku di Yordania, Australia, atau Malaysia,” terangnya. Tentu ini membutuhkan intervensi dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan kementerian lainnya yang terkait.

Sebagai informasi, Perma Nomor 3 Tahun 2017 terdiri dari 3 tiga hal yaitu, pertama, pedoman hakim dalam memeriksa perkara perempuan yang berhadapan dengan hukum di persidangan. Kedua, pedoman dalam menjatuhkan putusan. Terakhir, pedoman dalam penerapan prinsip keadilan restoratif.

img
Robi Ardianto
Reporter
img
Purnama Ayu Rizky
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan