Guru Besar Sosiologi Universitas Sriwijaya (Unsri) Alfitri menyebut, perilaku konsumtif jelang Lebaran bagian dari upaya masyarakat membentuk hierarki sosial, dengan secara sadar menimbulkan derajat-derajat atau kasta.
"Kecenderungan konsumtif itu timbul atas asumsi bahwa Idulfitri adalah momen sakral. Kebanyakan muslim ingin mempersiapkan segala sesuatu dengan sempurna, jadi semua pendanaan ekonomi keluarga yang sudah dikumpulkan selama satu tahun, akan ditumpahkan saat Lebaran," kata Alfitri, Senin (3/6).
Ia mengatakan, perilaku tersebut memiliki sisi positif dan negatif. Bisa jadi menguntungkan, namun pada saat bersamaan dapat membahayakan masyarakat itu sendiri.
Sisi positifnya, perilaku konsumtif berhasil menggerakkan aspek ekonomi, sosial, dan budaya secara bersamaan. Wilayah desa paling diuntungkan karena peredaran uang dari kota-kota terbagi ke pedesaan.
Selain itu, mobilitas sosial semakin terjalin antarmasyarakat, baik level individu maupun kelompok-kelompok. Keberlanjutan hubungan sosial inilah yang membuat tingkat kekerabatan di Indonesia masih tinggi.
Dua faktor tersebut mendorong kecenderungan konsumtif. Mayoritas masyarakat masih mementingkan simbolisme pada saat Lebaran, sehingga muncul perilaku mubazir lantaran ada barang yang sebenarnya tidak diperlukan, tetapi tetap dibeli.
"Karena ingin sempurna semua dibeli, makanan disediakan banyak-banyak, baju pasti beli baru, ada juga yang beli motor, mobil sampai rumah baru. Ada dorongan ingin menampilkan kesuksesan, karena hari raya adalah dianggap momen yang tepat memperlihatkan kesuksesan," kata Alfitri.
Dorongan lain munculnya perilaku konsumtif disebabkan adanya tunjangan hari raya (THR). Indonesia, kata Alfitri, merupakan satu dari sedikit negara yang menerapkan kebijakan THR, peredarannya memang diharap menggerakkan ekonomi negara.
Namun, adanya THR justru membuat masyarakat harus bisa menyeimbangkan antara pengeluaran dan penghematan.
"Lebaran ini terjadi setiap tahun, semestinya ada pembelajaran mengenai pentingnya kerangka penghematan. Memperingati hari besar cukup dengan hal-hal sederhana saja, karena intinya silaturahmi tetap jalan," ujar Alfitri.
Kerangka penghematan selaras dengan kerangka penyeimbangan antara penerimaan dan pemberian. Adanya THR menambah pendapatan rumah tangga, akan imbang jika sebagiannya dibagi-bagi kepada masyarakat prasejahtera.
Itulah adanya konsep zakat fitrah di penghujung Ramadan. Dalam hukum Islam, zakat fitrah merupakan kewajiban, sedangkan hakikatnya ialah untuk memantik Muslim Indonesia agar mau berbagi.
Jika sikap berbagi hanya sebatas zakat fitrah, konsep keseimbangan penerimaan dan pemberian tidak akan berjalan maksimal, tetapi bila umat melebihkannya dalam bentuk sedekah, infak, dan wakaf, maka efeknya dapat mengurangi angka kemiskinan.
"Pertanyaanya apakah para Muslim sudah konsisten dengan keseimbangan ini? Mana yang didahulukan? Belanja kebutuhan Lebaran atau membaginya dulu dengan kaum dhuafa? Oleh karena itu, konsep resiproritas perlu diterapkan," ujarnya.
Secara sederhana, resiprositas diartikan sebagai pertukaran timbal balik antarindividu atau antarkelompok, proses pertukaran resiprositas dapat memakan waktu lama, bukan sekejap seperti proses jual-beli.
Proses tersebut bisa berlangsung sepanjang hidup seseorang, bahkan mungkin sampai diteruskan anak keturunannya, seperti tradisi sumbang-menyumbang dalam acara pernikahan, ada proses pengulangan pada momen yang sama.
"Sayangnya masyarakat belum ada kesadaran menerapkannya, masih cenderung untuk kesombongan tapi uangnya tidak terbagi. Padahal harusnya dinamika Lebaran punya efek menurunkan kemiskinan, bukan membentuk hierarki-hierarki," kata dia. (Ant).