close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Penyidik KPK, Novel Baswedan (tengah), selaku korban menjadi saksi dalam sidang lanjutan kasus penyiraman air keras terhadapnya dengan terdakwa Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette di PN Jakarta Utara, Kamis (30/4/2020). Foto Antara/Aprillio Akbar
icon caption
Penyidik KPK, Novel Baswedan (tengah), selaku korban menjadi saksi dalam sidang lanjutan kasus penyiraman air keras terhadapnya dengan terdakwa Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette di PN Jakarta Utara, Kamis (30/4/2020). Foto Antara/Aprillio Akbar
Nasional
Jumat, 12 Juni 2020 14:17

Hakim perkara Novel Baswedan diminta abaikan tuntutan jaksa

JPU menuntut kedua terdakwa dengan hukuman minimum.
swipe

Majelis hakim dianggap dapat mengabaikan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) kepada dua terdakwa kasus penyiraman penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan, Ronny Bugis dan Rahmat Kadir.

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, Giri Ahmad Taufik, menyatakan, majelis hakim dapat memberi hukuman maksimal berdasarkan penilaian fakta persidangan dengan merujuk dakwaan kedua terdakwa.

"PSHK meminta hakim untuk mempertimbangkan fakta dan hukum secara cermat dengan mengabaikan tuntutan jaksa dan menghukum pelaku dengan Pasal 355 ayat (1) dengan ancaman pidana 12 tahun penjara yang tercantum dalam dakwaan pertama jaksa penuntut umum," paparnya dalam keterangan resmi yang diterima Alinea.id, Jumat (12/6).

Saat sidang tuntutan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut) pada Kamis (11/6), JPU menuntut Ronny dan Rahmat satu tahun penjara. Dalihnya, tidak pernah menginginkan melakukan penganiayaan berat, melainkan hanya akan memberikan pelajaran dengan menyiram air keras ke badan dan akhirnya mengenai kepala Novel Baswedan.

Sementara, kedua terdakwa penyiraman air keras terhadap Novel didakwa melakukan penganiayaan berat dan dianggap melanggar pasal berlapis. Pasal 353 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Mereka terancam hukuman maksimal 12 tahun penjara.

Giri menilai, tuntutan JPU tak mencerminkan prinsip negara hukum yang baik dan peradilan sehat. Tuntutan itu justru memberikan preseden kontraproduktif terhadap perlindungan aparat penegak hukum Indonesia, terkhusus pegawai KPK.

Kemudian, dasar JPU memberikan tuntutan minimum dengan berlandaskan pelaku tidak sengaja menyiram air keras merupakan penghinaan terhadap akal sehat dan doktrin hukum pidana universal terkait kesengajaan, yang telah dikembangkan dan diajarkan di Fakultas Hukum.

"Kesengajaan seharusnya dibuktikan dengan unsur mengetahui dan menghendaki. Adanya unsur perencanaan dalam proses tindak pidana dan pengunaan air keras telah mengindikasikan adanya kesadaran dari pelaku, bahwa menyiramkan air keras kepada seseorang pasti akan menyebabkan luka berat pada tubuh," paparnya.

Karenanya, PSHK juga mendesak Jaksa Agung mengevaluasi JPU beserta materi tuntutan yang terindikasi keliru secara konsep hukum pidana. Selain itu, menuntut Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengevaluasi kinerja "Korps Adhyaksa" dan kepolisian.

"Mendesak Presiden RI untuk mengevaluasi kinerja kejaksaan dan kepolisian yang terkait dengan praktik pemberian tuntutan minimal yang berpotensi melemahkan perlindungan terhadap aparat penegak hukum dan upaya penegakan hukum secara umum, terutama terhadap kasus-kasus tindak pidana korupsi yang melibatkan para pejabat di institusi pemerintah," tuturnya.

Dalam pertimbangan yang memberatkan para pelaku, menurut JPU, perbuatan keduanya mencederai kehormatan Polri. Mengabdi selama dasawarsa di "Korps Bhayangkara" dan kooperatif dalam persidangan, pertimbangan yang meringankan.

img
Achmad Al Fiqri
Reporter
img
Fatah Hidayat Sidiq
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan