Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) membeberkan secara lengkap hasil investigasi yang menjadi penyebab jatuhnya pesawat Lion Air PK-LQP dengan nomor penerbangan JT-610. Terdapat sembilan faktor yang saling berkaitan, sehingga mengakibatkan jatuhnya pesawat Boeing 737-8 MAX itu di perairan Tanjung Pakis, Karawang, Jawa Barat.
Kesembilan faktor hasil investigasi KNKT, yang dianggap berkontribusi mengakibatkan kecelakaan tersebut antara lain, pertama, KNKT menyimpulkan asumsi reaksi pilot yang dibuat pada saat proses desain dan sertifikasi pesawat Boeing 737-8 (MAX), meskipun sudah sesuai referensi, ternyata tidak tepat.
Kedua, mengacu asumsi yang dibuat atas reaksi pilot dan kurang lengkapnya kajian terkait efek-efek yang dapat terjadi di cockpit, sensor tunggal yang diandalkan untuk Maneuvering Characteristics Augmentation System (MCAS) dianggap cukup dan memenuhi ketentuan sertifikasi.
Ketiga, desain Maneuvering Characteristics Augmentation System (MCAS) yang mengandalkan satu sensor rentan terhadap kesalahan. Keempat, pilot mengalami kesulitan melakukan respons yang tepat terhadap pergerakan MCAS. Sebab, tidak ada petunjuk dalam buku panduan dan pelatihan.
Kelima, indikator Angle of Attack (AOA) Disagree tidak tersedia di pesawat Boeing 737-8 (MAX) PK-LQP. Akibatnya, informasi tidak muncul pada saat penerbangan dengan penunjukan sudut AOA yang berbeda antara kiri dan kanan. Perbedaan ini kemudian tidak dapat dicatatkan oleh pilot. Teknisi pun tidak dapat mengidentifikasi kerusakan AOA sensor.
Keenam, AOA sensor pengganti mengalami kesalahan kalibrasi yang tidak terdeteksi pada saat perbaikan sebelumnya. Ketujuh, investigasi tidak dapat menentukan pengujian AOA sensor setelah terpasang pada pesawat yang mengalami kecelakaan meski pemasangan dilakukan dengan benar, sehingga kesalahan kalibrasi tidak terdeteksi.
Kedelapan, informasi mengenai stick shaker dan penggunaan prosedur non-normal Runaway Stabilizer pada penerbangan sebelumnya tidak tercatat pada buku catatan penerbangan dan perawatan pesawat. Ini mengakibatkan baik pilot maupun teknisi tidak dapat mengambil tindakan yang tepat.
Terakhir, beberapa peringatan dan berulangnya aktifasi MCAS dan padatnya komunikasi dengan ATC tidak terkelola dengan efektif. Hal ini diakibatkan karena kondisi yang sulit dan kemampuan mengendalikan pesawat, pelaksanaan prosedur non-normal, dan komunikasi antar pilot.
Akibatnya, berdampak pada ketidakefektifan koordinasi antar pilot dan pengelolaan beban kerja. Kondisi ini telah teridentifikasi pada saat pelatihan. Kemudian muncul kembali pada saat penerbangan dari Bandara Soekarno Hatta menuju Tanjung Pinang.
Menurut Kepala Sub Komite Kecelakaan Penerbangan KNKT, Nurcahyo Utomo, bila saja pilot dan co-pilot mampu menghindari salah satu dari sembilan faktor tersebut, kecelakaan kemungkinan bisa saja dihindari.
"Kalau salah satunya saja bisa diatasi, kecelakaan mungkin tidak terjadi atau setidaknya dampaknya tidak terlampau parah," ujar Nurcahyo ditemui di Gedung KNKT, Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta Pusat, Jumat (25/10).
Nurcahyo menegaskan, faktor-faktor tersebut telah dirunut oleh KNKT sebagai bagian dari kronologis kerusakan pesawat hingga mengakibatkan terjadinya kecelakaan. Dengan demikian, tidak bisa dikategorikan mana faktor yang paling besar dampaknya pada kejadiaan nahas tersebut.
"Tidak ada yang paling dominan, semua saling mempengaruhi," katanya.
Seperti diketahui, pesawat Boeing 737-8 (MAX) rute Jakarta-Pangkal Pinang ini tercatat mengalami kecelakaan pada 29 Oktober 2018. Kejadiaan nahas itu menewaskan seluruh awak pesawat dan 178 penumpang termasuk satu penumpang anak-anak dan dua penumpang yang masih bayi.