Perokok anak dipengaruhi oleh iklan yang mereka tonton. Mereka cenderung terpapar oleh iklan rokok yang terbiasa mereka tonton di televisi.
Hasil penelitian terbaru Yayasan Lentera Anak dan Emancipate Indonesia menemukan, dari 533 anak yang disurvei, sebesar 94,4% anak sudah menjadi perokok. Sebesar 64,35% dari responden itu masih duduk di bangku sekolah. Hal ini tentu berpengaruh pada pendapatan dari perusahaan rokok.
“Yang paling mencengangkan adalah, pengeluaran rokok anak ternyata bisa sampai Rp10.000 hingga Rp30.000 per hari,“ papar Program Manager Yayasan Lentera Anak Nahla Jovial Nisa dalam webinar yang berjudul ‘Diseminasi Industri Rokok: Meraup Keuntungan ganda dari Anak’, pada Selasa (24/8).
Dalam penelitiannya, Nahla menemukan bahwa dari 180 responden yang ditanyai secara langsung, 77,09% dari mereka terpapar iklan rokok lebih dari satu kali sehari. Dari data itu, ditunjukkan bahwa PT HM Sampoerna memperoleh poin tertinggi untuk iklan rokok yang diingat oleh perokok anak. Diikuti oleh PT Djarum, PT Gudang Garam, dan terakhir PT BAT.
Setelah ditanyai mengenai iklan rokok yang mereka ingat, perokok anak ini ditanyai mengenai rokok apa yang mereka pilih. Hasilnya, merk rokok yang mereka pilih kebanyakan sama dengan iklan rokok yang mereka tonton atau lihat. Jadi, hasil penelitian itu adalah, ternyata ada hubungan antara jenis merk rokok yang dipilih dengan iklan yang diingat.
Menanggapi kasus ini, Anggota IYCTC dan Co-Director Girls, Peace, and Security Gustika Jusuf-Hatta mengatakan, ada beberapa poin yang perlu diketahui dalam kasus perokok anak dan pekerja anak.
Ia mengatakan bahwa ladang-ladang tembakau itu belum tentu milik orang tua anak tersebut, mungkin milik korporasi. Dan anak-anak itu hanya menemani orang tua mereka ke ladang dan dipekerjakan. Tentu ini merupakan praktik pekerja anak di bawah umur. Meski kadang dianggap lumrah oleh sekitar, namun belum tentu hal itu lumrah untuk anak kecil mengoperasikan alat berat yang seharusnya dikerjakan oleh orang tua. Tentunya, hal itu tidak baik untuk kesehatan anak-anak. Oleh karena itu, harus diketahui ancaman-ancaman dalam bekerja di ladang tembakau terhadap kesehatan anak-anak.
Poin berikutnya, Gustika melihat saat ini, di film dan layanan streaming masih banyak menayangkan adegan perokok atau anak merokok. Menurut periset ini, perokok Amerika pada medio 1960-1970 memang diagung-agungkan. Di mana pada 1960-an, rokok dianggap sangat keren. Banyak kota yang tumbuh karena hasil dari industri rokok. Namun, saat ini persepsi rokok semakin menurun. Hal ini berhasil dilakukan karena pemerintah meregulasi industri rokok. Meskipun popularitas rokok menurun, perusahaan tidak kehabisan akal, mereka tetap berinovasi dalam menargetkan konsumen.
"Di sini bukan perokok yang dilawan, tetapi memang kita harus memiliki regulasi karena ini permasalahan yang dari dulu hingga sekarang belum selesai yang seharusnya diselesaikan, tetapi kurang ada iktikad baik. Misalkan saja regulasi yang lebih kuat dari CSR untuk mengatur perusahaan rokok. Kita perlu negara yang bisa ‘memonopoli’ regulasi aturan untuk ikut campur tangan," ujar Gustika