Hewan yang telantar dan kepedulian kita
Blendy, seekor kucing asuh di rumah singgah Cat Lovers in the World (Clow), Parung, Bogor, Jawa Barat melangkah pelan menuju ember kecil berisi air. Dengan kedua matanya yang buta, kucing berumur 1,5 tahun itu terlihat hati-hati melangkah di salah satu sudut ruangan seluas 6 kali 4 meter.
Menurut salah seorang pengurus rumah singgah Clow, Jamalludin Barkah, Blendy sudah mengalami kebutaan sejak berusia dua bulan. Kucing malang itu telantar dan ditemukan seorang tukang ojek. Lantas, kucing itu diselamatkan dan menjadi penghuni di rumah singgah Clow.
Hewan telantar
Selain Blendy, di rumah singgah Clow ada tujuh ekor kucing lainnya yang mengalami kebutaan, tiga cacat, dan satu terinfeksi virus Feline infectious peritonitis atau radang selaput rongga perut dan dada.
“Pokoknya (kucing) di sini korban kekejaman manusia enggak bertanggung jawab,” ujar Jamal saat ditemui Alinea.id di rumah singgah Clow, Rabu (13/10).
Di samping kondisi cacat, Jamal juga tak jarang mendapat titipan kucing yang baru lahir, tanpa ada induknya. Ia pun kerap mendapat bayi kucing yang telantar di pinggir jalan.
“Alhamdulillah, ada aja (kucing betina) mau (menyusui). Di situ hati gue tenang,” kata pria berusia 25 tahun itu.
“Makanya gue suka sedih. Orang-orang kenapa sih buang kucing? Enggak punya rasa kasihan. Padahal kan kucing atau hewan lain sama-sama makhluk hidup.”
Pandemi Covid-19 pun ikut membuat kasus penelantaran binatang cukup tinggi. Menurut pendiri rumah singgah Clow, Wahyu Winono, angka hewan asuhan yang masuk ke rumah singgah Clow meningkat pesat, nyaris mencapai 100 ekor dalam sebulan. Padahal, sebelum pandemi, untuk kucing saja, rumah singgah Clow selalu menerima di bawah 50 ekor per bulan.
“Sejak pandemi Covid-19, orang yang bawa kucing sakit (ke rumah singgah Clow) meningkat 50%,” ujar pria yang akrab disapa Bimbim, Rabu (13/10).
Akumulasi hewan yang diasuh di rumah singgah Clow mencapai 898 ekor. Terdiri dari 800 kucing, 90 anjing, lima monyet, seekor musang, dan dua dragon atau kadal.
“Banyak kucing atau hewan yang mengalami kekerasan dan kelaparan di jalan,” kata Bimbim.
Melihat kondisi ini, Bimbim merasa iba. Ia berharap, warga dapat membantu menolong hewan yang telantar. Terutama kucing, yang banyak dianggap sebagai hewan pengganggu. Bila warga bisa mengadopsi hewan yang telantar, menurutnya, hal itu membantu rumah singgah Clow, yang memiliki tujuan memastikan hak keselamatan satwa.
“Untuk mencegah over population, mari kita aktif steril kucing-kucing dan kampanye setop kekerasan pada hewan, khususnya kucing,” kata dia.
Apa yang terjadi di rumah singgah Clow adalah contoh kecil bagaimana nasib hewan-hewan telantar. Pendiri komunitas Jakarta Animal Aid Network (JAAN) Femke den Haas pun merasa prihatin terhadap hewan telantar.
Menurutnya, Indonesia juga merupakan negara yang paling banyak memproduksi konten penyiksaan satwa di media sosial. Fakta itu terpotret dari hasil pantauan Social Media Animal Cruelty Coalition (SMACC).
Laporan SMACC menunjukkan, ada 5.480 video penyiksaan hewan dari seluruh dunia di media sosial. Dari jumlah tersebut, video penyiksaan hewan mayoritas berasal dari indonesia, sebanyak 1.626 konten.
“Jujur, ini sangat frustasi lah bagi kami,” ujar dokter hewan liar asal Belanda itu ketika dihubungi, Rabu (13/10).
Regulasi dan kepedulian kita
Di sisi lain, tingkat kejahatan terhadap satwa menunjukkan tren meningkat dalam enam tahun terakhir. Berdasarkan data kasus kejahatan tumbuhan dan satwa liar yang ditangani Direktorat Penegakan Hukum Pidana Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), setidaknya ada 301 kasus dalam periode 2015-2020.
Tingginya kasus itu menempatkan kejahatan kekerasan hewan paling banyak dilakukan, setelah tindak pidana narkotika dan perdagangan orang. Melihat tingginya angka kasus kejahatan satwa liar itu, anggota Komisi IV DPR Daniel Johan menganggap, perlu menghadirkan regulasi khusus untuk perlindungan hewan.
“Berarti sudah sangat serius dan sepatutnya diambil langkah hukum, termasuk pengesahan undang-undang perlindungan hewan yang baru dan sesuai dengan kondisi saat ini,” kata Johan saat dihubungi, Kamis (14/10).
“Bukan lagi RUU atau UU terhadap perlindungan satwa yang masih mengacu pada masa kolonialisme.”
Indonesia memiliki dua regulasi terkait kejahatan terhadap hewan. Pertama, Pasal 302 KUHP. Pasal 302 ayat (1) menyebut, siapa saja yang tanpa tujuan atau melampaui batas, dengan sengaja menyakiti atau melukai hewan atau merugikan kesehatannya; dengan sengaja tidak memberi makanan kepada hewan yang menjadi kepunyaannya dan ada di bawah pengawasannya atau kepada hewan yang wajib dipeliharanya diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak Rp4.500.
Pasal 302 ayat (2) berbunyi, jika perbuatan itu mengakibatkan sakit lebih dari seminggu atau cacat atau menderita luka berat atau mati, yang bersalah diancam pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak Rp300.
Lalu, ada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Di dalam pasal 66A ayat (1) undang-undang itu disebutkan, setiap orang dilarang menganiaya dan atau menyalahgunakan hewan yang mengakibatkan cacat dan atau tidak produktif.
Sanksinya terdapat dalam pasal 91B ayat (1), yakni berupa pidana penjara paling singkat sebulan dan paling lama enam bulan, dan denda paling sedikit Rp1.000.000 dan paling banyak Rp5.000.000.
Namun, Johan menyebut, penerapan sanksi dan sosialisasi regulasi perlindungan hewan di Pasal 302 KUHP dan Pasal 66A UU 41/2014 belum maksimal dijalankan. Hal itu dianggap Johan sebagai akar dari tingginya kasus kejahatan hewan.
“Pembahasan RUU perlindungan hewan masih belum jelas, yang pasti harus segera masuk dalam perumusan final agar dapat segera disahkan dan disosialisasikan,” ucap Johan.
Johan pun merasa perlu jika sanksi pidana dan denda ditambah. Tujuannya, agar pelaku penyiksa satwa jera. Guna menekan angka kasus kejahatan terhadap hewan, Johan meminta warga lebih aktif melaporkan kepada aparat keamanan.
“Pemerintah harus bersama-sama dengan masyarakat meningkatkan kesejahteraan hewan dan perlindungan terhadap satwa, baik domestik, liar, dan dilindungi,” tutur Johan.
Sementara itu, Famke mengingatkan, warga dapat segera sadar akan pentingnya memberi kasih sayang terhadap hewan. Langkah itu bisa dimulai dari individu yang memberikan pendidikan bagi anak-anak untuk lebih peduli terhadap binatang. Contoh konkretnya, tak memelihara satwa liar, apalagi yang terancam punah.
“Sekecil apa pun makhluk hidup itu, semua punya hak untuk hidup bebas dari rasa sakit,” ujarnya.
Bagi Famke, memberikan kebebasan kepada satwa liar merupakan salah satu bentuk menghormati hak asasi hewan. Jika rasa hormat itu diabaikan, kata dia, akan ada dampak terhadap manusia, baik langsung maupun tak langsung.
“Kalau dia (hewan) tidak sejahtera, dia muncul penyakit. Manusia bisa tertular,” kata Famke.
“Monyet dirantai saja, dia akan mencret. Penyakit ini juga bisa mengakibatkan manusia sakit. (Monyet) stres juga bisa melindungi diri dengan gigit orang.”
Tak hanya terhadap manusia, ia menyebut, ekosistem di alam juga akan terganggu bila satwa liar tak mendapat kesejahteraan dalam hidupnya. Pasalnya, ia percaya, keberadaan satwa memiliki peran yang cukup penting menjaga ekosistem kehidupan alam.
“Jadi kalau satwa tidak sejahtera, tidak ada keseimbangan di ekosistem, alam tidak akan seimbang. Karena kalau kita ambil satwa dari alam, otomatis ada dampak besar bagi alam,” tutut Femke.