HTI menolak mati: Bermutasi, menyebar, dan bergerak di bawah tanah
Dari luar, ruko tiga lantai di kawasan Kompleks Pertokoan Crown Palace, Tebet, Jakarta Selatan itu tampak sepi. Sebuah kain hitam hitam dibentangkan menutupi dinding kaca ruangan resepsionis di ruko itu. Tirai menutupi jendela-jendela lainnya.
Ruko itu seolah sedang "menutup diri". Mata-mata yang usil hanya bisa mengintip aktivitas di ruko itu lewat celah pintu gulung berbahan baja yang dibiarkan setengah terbuka. Sesekali, beberapa orang keluar masuk pintu itu dengan terburu-buru.
"Itu kantor Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang beberapa tahun lalu dilarang pemerintah," ujar Saebani, petugas keamanan Crown Palace, saat berbincang dengan Alinea.id, Selasa (4/2) siang.
Sejak resmi dicabut badan hukumnya oleh pemerintah, Saebani menuturkan, atribut HTI dilucuti dari ruko itu. Meski begitu, ruko itu masih jadi markas HTI. Sejumlah orang ditugaskan menjaga ruko yang mayoritas dicat warna krem itu.
"Kalau dulu mah banyak di depan situ suka pada ngumpul. Ngomongin khilafah. Suka masih pada datang kok. Kantor itu juga masih ada yang jaga," kata dia.
Ucapan Saebani dibenarkan Rohandi, sang penjaga ruko. Ia mengatakan, ruko itu masih jadi kantor pusat HTI. Selain jadi tempat singgah bagi anggota HTI dari daerah, ada kajian rutin yang diisi para petinggi HTI saban Senin di ruko itu.
"Tapi, kajian ini khusus bagi internal kami. Kami kan yang dibubarkan hanya status hukumnya saja. Tapi, aktivitas kami masih berjalan," tutur Rohandi.
Saat ditanya lebih jauh soal kondisi terbaru HTI, Rohandi tiba-tiba irit bicara. Ia menyebut hanya juru bicara HTI Ismail Yusanto yang boleh bicara soal itu. "Saat ini semua satu pintu ke Ustaz Ismail," ujarnya.
Alinea.id kemudian berulangkali menghubungi Ismail Yusanto. Namun, Ismail tak mau mengangkat telepon selulernya. Pesan singkat yang dikirimkan pun tak dibalas.
Gambaran mengenai aktivitas HTI pascadibubarkan didapat dari anggota HTI di Semarang, Feri Junia. Menurut Feri, sebagian besar anggota HTI masih rutin berdakwah. "Contohnya saya yang melakukan kajian-kajian di berbagai tempat," kata dia kepada Alinea.id.
Sebagian lainnya, lanjut Feri, menyebar ke ormas-ormas Islam besar semisal Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Itu dilakukan untuk memperluas jaringan. "Masing-masing mereka pun memainkan peranannya sendiri," imbuh mahasiswa Universitas Diponegoro itu.
Menyebarnya anggota HTI ke berbagai ormas Islam diamini anggota HTI Temanggung, Jawa Tengah, Mustaqim. Menurut pria berusia 55 tahun itu, penyebaran ke berbagai ormas sejalan dengan prinsip berdakwah tanpa kekerasan ala HTI.
"Itu disebabkan karena HTI berdakwah dengan pemikiran. HTI tidak menggunakan senjata dan kekerasan dalam menegakkan kembali daulah khilafah. HTI menjalin silaturahmi kepada siapa pun," kata dia saat dihubungi Alinea.id, Sabtu (8/2).
Mustaqim mengaku sudah 20 tahun berjubah HTI. Di Temanggung, ia ditugaskan elite-elite HTI pusat untuk menyebarluaskan dakwah soal negara khilafah.
Meski telah sah ditetapkan sebagai organisasi terlarang, Mustaqim menegaskan ideologi HTI tidak berubah. HTI, kata dia, bakal terus menolak sistem demokrasi dan memperjuangkan tegaknya khilafah di Indonesia.
"Hukum di negeri ini adalah produk politik. Bisa diubah dan diganti. HTI akan terus eksis selama menyerukan penerapan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan," ujar pria yang sehari-hari bekerja sebagai guru dan penulis propaganda di media milik HTI itu.
HTI dicabut badan hukumnya oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (KemenkumHAM) pada Juli 2017. Pencabutan badan hukum dilakukan sejalan dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Perubahan UU Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan atau Perppu Ormas.
Tak terima, HTI kemudian menggugat langkah KemenkumHAM ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Pada 2018, gugatan itu ditolak PTUN Jakarta. Gugatan serupa yang dilayangkan HTI ke Mahkamah Agung (MA) juga ditolak pada 2019. Alhasil, HTI resmi menjadi ormas terlarang.
Akibat keputusan itu, HTI kini tak mungkin lagi menggelar acara besar-besaran di ruang publik. Karena itu, menurut Mustaqim, HTI aktif berdakwah via Facebook, Instagram, Youtube, dan grup-grup WhatsApp.
"Forum HTI bisa ada di mana saja. Sekarang eranya mobile internet, forum tidak mesti fisik," jelasnya.
Menurut dia, forum-forum dunia maya ternyata efektif. Setelah dilarang, Mustaqin mengklaim pengikut dan simpatisan HTI justru terus bertambah karena kinerja dakwah di medsos.
"Coba saja masuk ke masjid-masjid. Bila di situ ada yang menyerukan penerapan syariat Islam, maka kemungkinan jemaah kami," ujarnya.
Kenapa HTI tak juga redup?
Ditemui di kawasan Cikutra, Bandung, Jawa Barat, pekan lalu, mantan anggota HTI Kurnia Widodo menilai wajar jika HTI tetap punya banyak pengikut meskipun sudah dicap sebagai ormas terlarang. Menurut dia, ada tiga faktor yang membuat HTI besar dan digandrungi.
Pertama, iming-iming kesejahteraan. Elite HTI, kata Kurnia, apik membingkai narasi bahwa negara khilafah merupakan konsep paling ideal untuk mengentaskan kemiskinan.
"Mereka memanfaatkan kebobrokan dari sistem ini, seperti banyaknya utang, kemiskinan, ketidakadilan dan lain sebagainya. Isu-isu ini dikelola mereka seakan mereka memiliki solusinya. Lalu, mereka menawarkan konsep khilafah sebagai jalan keluar," jelasnya.
Kedua, HTI piawai dalam menarik simpati kaum intelektual. Itu terlihat dari basis simpatisan HTI yang cukup besar di kalangan mahasiswa dan akademisi kampus.
"Mereka ini banyak bergerak di kampus sehingga para pengurus dakwah dan dainya banyak dari kalangan intelektual. Jadi, bahasanya dikemas dengan sangat baik. Jadi, banyak dari kalangan muda-mudi seperti mahasiswi itu tergiur," ujarnya.
Terakhir, agen-agen HTI dilatih agar piawai menarik simpati tokoh-tokoh lokal. "Kami di lingkungan itu harus menjadi tokoh atau pentolan atau rujukan masyarakat. Tujuannya, agar wacana soal khilafah itu hidup, baik di kampus maupun ditengah-tengah masyarakat," tutur Kurnia.
Selain itu, menurut Kurnia, dana yang mengalir ke kantong HTI untuk kegiatan operasional juga cukup besar. "Buktinya mereka bisa menggelar konferensi khilafah internasional," kata dia.
Kurnia mengenal HTI sejak kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 1999. Selama kurang lebih tujuh tahun, Kurnia tercatat sebagai anggota HTI sebelum akhirnya diajak bergabung ke Tauhid Wal Jihad pimpinan pentolan teroris Aman Abdurrahman pada 2007.
Di organisasi itu, Kurnia terlibat dalam aksi terorisme Bom Cibiru pada 2010, tertangkap, terbukti bersalah, dan mendekam di penjara. Pada 2015, ia bebas bersyarat dan sempat diajak kembali bergabung dengan HTI.
Ajakan itu ditolak Kurnia. "Saya merasa konsep mereka sudah tidak cocok dengan saya. Saya melihat HTI antikritik dan dalam perjalanan sejarah gerakan ini di berbagai negara tak ada yang berhasil," ujar dia.
Meski begitu, Kurnia masih berhubungan baik dengan pentolan-pentolan HTI. Dari mereka, Kurnia tahu Universitas Padjadjaran (Unpad) menjadi salah satu basis massa HTI di Bandung. "Di (kampus Unpad) di Jatinangor itu banyak orang HTI. Lalu, ITB dan Kampus Telkom dan beberapa masjid di Bandung," ujarnya.
Setelah resmi dilarang, menurut Kurnia, HTI cenderung bergerak di bawah tanah. Organ-organ HTI juga sengaja berganti nama untuk menyamarkan identitas. "Misalnya saja buletin Al-Islam berubah jadi Kaffah. Kini mereka juga lebih aktif di media sosial," ungkapnya.
Tantangan untuk NU dan Muhammadiyah
Peneliti gerakan Islam dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Zaki Mubarak mengatakan, khilafah sudah jadi semacam ideologi bagi para pengikut HTI. Karena itu, tak aneh jika aktivitas dakwah tetap dijalankan anggota HTI meskipun organisasinya sudah bubar.
"Ideologi itu sulit. Orang-orang yang terpapar ideologi saja perlu waktu lama untuk meyakini sebuah konsep apalagi untuk meninggalkannya. Begitu pun dengan orang-orang HTI. Konsep khilafah itu sudah berakar di mereka," ucapnya kepada Alinea.id, Rabu (5/2).
Zaki pun sepakat media sosial punya andil yang besar dalam menyebarkan ide-ide khilafah yang diusung HTI. Apalagi, ide-ide tersebut dikemas dengan sangat menarik oleh para pengikut HTI dan disesuaikan dengan isu-isu terkini untuk menarik simpati umat Muslim.
"Mereka mempunyai strategi dakwah yang lebih baik ketimbang kelompok Islam moderat. Banyak masjid dan forum-forum saat ini dikuasai mereka. Kajian salafi pun makin populer dan mampu menarik anak muda karena pembawaanya yang lebih gaul dan interaktif," jelas Zaki.
Zaki menyarankan NU dan Muhammadiyah beradaptasi dengan perkembangan terbaru itu. Sebagai representasi kalangan Islam moderat, NU dan Muhammadiyah harus mencari cara-cara yang lebih atraktif untuk memenangkan pertarungan ide di ruang publik.
Pernyataan serupa diutarakan Direktur Eksekutif Indonesian Muslim Crisis Center Robi Sugara. Menurut Robi, HTI kini justru kian andal meraup simpati umat.
"Semakin luas jangkauan mereka. Rata-rata dari mereka beroperasi di YouTube dan sosial media. Beberapa dari mereka ada yang membuat entitas baru meskipun tidak ada embel-embel khilafahnya," kata dia.
HTI, lanjut Robi, juga kian piawai memainkan isu sebagai bentuk resistensi terhadap kebijakan pemerintah. Ia mencontohkan beragam aksi protes yang digelar HTI menolak Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
Alih-alih mengebiri HTI, Robi memandang, pemerintah justru blunder ketika menetapkan ormas itu sebagai ormas terlarang. "Buah dari kebijakan itu membuat kelompok ini justru tidak terlokalisir. Jadi, ke mana-mana. Ini menjadi problem baru," kata dia.
Kepada Alinea.id, Direktur Ormas Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Lutfi mengatakan pemerintah tetap mengawasi aktivitas jemaah HTI meskipun organisasi itu telah dibubarkan. "Aktivis mereka tetap dipantau," kata dia.