Indonesia Corruption Watch (ICW) mempertanyakan putusan peninjauan kembali (PK) Mahkamah Agung (MA) yang memangkas hukuman terpidana suap Kepala Lapas Sukamiskin Wahid Husein, Fahmi Darmawansyah. Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana mengatakan, putusan itu tidak masuk akal.
Pasalnya, argumentasi permohonan PK diterima MA dianggap janggal. Pertama, menyebut warga binaan lain juga mendapat fasilitas sama. Padahal, praktik lancung Fahmi diusut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan laporan masyarakat.
"Jika laporan masyarakat tersebut berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Fahmi Darmawansyah, bagaimana mungkin KPK dapat menindak pihak lain? Lagi pula KPK bertindak melandaskan pada kecukupan alat bukti," ujarnya secara tertulis, Jumat (11/12).
Kedua, majelis hakim menyebut pemberian mobil kepada Wahid adalah sifat kedermawanan Fahmi. Menurut Kurnia, argumentasi itu sangat fatal.
"Bagaimana mungkin pemberian barang terhadap Kepala Lembaga Pemasyarakatan yang dilakukan oleh warga binaan dianggap sebagai sifat kedermawanan? Tindakan tersebut secara terang benderang merupakan tindak pidana suap atau setidak-tidaknya dikategorikan sebagai gratifikasi," ucapnya.
Berdasarkan penjelasan tersebut, imbuh Kurnia, ICW mendesak MA menjelaskan logika dalam putusan PK Fahmi.
"Jika tidak, maka putusan ini amat mencoreng rasa keadilan di tengah masyarakat dan semakin menurunkan derajat kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan itu sendiri," ujarnya.
Sebelumnya, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung menyatakan Fahmi bersalah telah menyuap Wahid. Atas perbuatannya, dia divonis 3,5 tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider 4 bulan kurungan.
Akan tetapi, berdasarkan putusan PK MA, hukumannya dipangkas menjadi 1,5 tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan.